Efektivitas BMAI Sebagai Bagian dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi
Kolom

Efektivitas BMAI Sebagai Bagian dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi

“Kehadiran small claim court akan menjadi kompetitor yang tidak ringan bagi BMAI mengingat jangkauan Pengadilan Negeri jauh lebih luas dari jangkauan BMAI”

Bacaan 2 Menit
Ricardo Simanjuntak. Foto: KOLEKSI PRIBADI
Ricardo Simanjuntak. Foto: KOLEKSI PRIBADI
Pendahuluan
Asuransi merupakaninstrumen hukum  yang memastikan representasi kewajiban dari perusahaan asuransi dalam memberikan perlindungan terhadap setiap tertanggungnya. Caranya, dengan mengambil alih   resiko kerugian yang mungkin akan dihadapi oleh tertanggung pada suatu waktu di masa yang akan datang (yang tidak dapat ditentukan kapan terjadinya), termasuk juga kerugian akibat dari meninggal ataupun hidupnya tertanggung hingga pada waktu tertentu. Pengambilalihan resiko ini adalah konsekuensi dari pemenuhan prestasi tertanggung, yaitu membayar premi pada jumlah dan waktu yang telah disepakatikepada perusahaan asuransi.

Secara teori, hubungan hukum asuransi haruslah didasarkan atas pemenuhan 3 prinsip utama, yaitu: prinsipindemnity, prinsip insurable interest,dan prinsip the utmost good faith. Artinya, seorang tertanggung tidak berhak untuk diganti rugi bila tidak memiliki insurable interest terhadap objek pertanggungan yang mengalami resiko kerugian, ataupun bila klaim asuransi tersebut ternyata lebih besar dari kerugian senyatanya. Semua ketentuan tersebut merupakan bagian yang harus dipastikan kebenarannya berdasarkan the utmost good faith. Tidak hanya oleh tertanggung, tetapi juga oleh perusahaan asuransi sebagai penanggung.

Selain sengketa yang timbul dari kewajiban pembayaran premi, tuduhan atau dugaan pelanggaran terhadap salah satu prinsip tersebut di atas sangat sering menjadi alasan pemicu timbulnya sengketa antara perusahaan asuransi dan tertanggungnya. Jika tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, akan membuat sengketa tersebut harus diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase.

Yang menjadi permasalahan adalah ketika klaim asuransi yang dipersengketakan jumlahnya kecil. Kondisi ini membuat sangat sulit memungkinkan secara komersial bagi tertanggung untuk menyelesaikannya melalui pengadilan - apalagi harus menggunakan jasa profesi advokat. Ini juga mengakibatkan tidak sedikit sengketa asuransi yang lahir akibat dari penolakan klaim asuransi dengan nilai kecil yang tidak terselesaikan dengan seharusnya. Keadaan tersebut sangat berpotensi menimbulkan 'omelan' yang berakumulasi menjadi 'dengungan rumor'' yang suka atau tidak suka akan lebih diterjemahkan publik sebagai ketidakpastian perlindungan dan bahkan tindakan penelantaran terhadap hak-hak konsumen asuransi di Indonesia.

Inilah yang menjadi salah satu dasar berfikir dari industri asuransi Indonesia ketika menggagas berdirinya Biro Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) pada tahun 2006. BMAI dihadirkan industri asuransi sebagai fasilitas alternatif penyelesaian sengketa ketika pemegang polis bernilai kecil tersebut tidak dapat menerima penolakan klaim asuransi yang diajukannya kepada penanggungnya.

BMAI Sebagai Fasilitas Alternatif
Dikatakan sebagai fasilitas, karena memang tujuan utama dari BMAI adalah untuk lebih memberikan ruang kepada tertanggung untuk membuktikan apakah tindakan dari perusahaan asuransi dalam menolak klaim asuransi yang dipermasalahkan tersebut telah benar atau tidak.

Artinya, jika dalam pemeriksaan ajudikasi dibuktikan bahwa tindakan penolakan klaim oleh perusahaan asuransi ternyata tidak berdasar hukum, maka perusahaan asuransi yang melakukan penolakan (i) dihukum untuk wajib tunduk terhadap putusan dari BMAI serta membatalkan penolakan klaim asuransi tersebut, dan (ii) tidak dapat melakukan perlawanan hukum terhadap putusan BMAI ke pengadilan ataupun arbitrase.

Akan tetapi sebaliknya, ketika putusan BMAI menyatakan bahwa tindakan penolakan dari perusahaan asuransi secara hukum dapat dibenarkan, maka industri asuransi masih memberikan kebebasan(hak)  kepada termohon untuk tidak tunduk kepada putusan BMAI, atau dapat menempuh langkah hukum lainnya, misalnya gugatan kePengadilan atau permohonan Arbitrase.

Perbedaan terhadap keberlakuan putusan BMAI tersebut, pada satu sisi, menimbulkan kesan yang tidak adil ataupun tidak seimbang bagi perusahaan asuransi. Timbul keraguan bahwa keadaan tersebut hanya akan mengekspose perusahaan asuransi pada posisi yang tidak menguntungkan, padahal biaya pembangunan dan operasional BMAI dibebankan kepada industri perasuransian.

Walaupun pada satu sisi keraguan tersebut dapat dipahami, akan tetapi bila dihubungkan dengan tujuan pendirian BMAI, dapat dipahami mengapa industri asuransi bersedia memberikan hak bagi tertanggung untuk tidak terikat terhadap setiap produk atau putusan BMAI. Sebagai fasilitas, BMAI ingin memastikan kemandiriannya terhadap kualitas penanganan sengketa klaim-klaim kecil tersebut.

Pemberian kewenangan kepada tertanggung untuk tidak harus tunduk terhadap putusan BMAI merupakan salah satu bukti yang paling kasat mata untuk meyakinkan tertanggung bahwa BMAI akan bertindak profesional, jujur dan tidak akan bertindak memihak kepada perusahaan asuransi walaupun sumber kehidupannya dibiayai oleh para penanggung tersebut.

Keberanian dari industri asuransi untuk memberlakukan perbedaan tersebut, memang bukan didasarkan oleh karena ingin 'gagah-gagahan', akan tetapi lebih didorong oleh niat untuk melakukan perbaikan pelayanan terhadap seluruh konsumennya (consumer protection), sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan perusahaan yang baik (good corporate governance).

Dengan kalimat lain, sebagai klaim asuransi bernilai kecil yang pada umumnya lahir dari suatu kesepakatan penutupan resiko pertanggungan yang lebih sederhana, ketertiban administrasi dan dokumen ketika melakukan penutupan resiko asuransi tersebut, serta juga kekuatan dari tim internal penanganan klaim asuransi, ketika akan memutuskan menerima atau menolak klaim asuransi yang diajukan kepadanya, merupakan kunci dari maksimalisasi perlindungan hak-hak tertanggung. Ini diwujudkan melalui prinsip kejujuran dan kehati-hatian dalam proses penanganan klaim tersebut pada tim internal penyelesian sengketa asuransi.

Artinya, apabila langkah-langkah tersebut dilakukan dengan benar dan sepatutnya, maka jumlah tertanggung yang akan mempermasalahkan ketika penolakan klaim tersebut dilakukan oleh perusahaan asuransi akan minim. Andaipun tertanggung tetap membawanya ke BMAI, secara teori terdapat kecenderungan bahwa perusahaan asuransi dapat membuktikan kebenarannya ketika melakukan penolakan klaim tersebut. Akan tetapi apabila dibuktikan sebaliknya, maka perusahaan asuransi tersebut wajib untuk melakukan perbaikan pada kualitas pelayanannya.

Modal Kepercayaan
Pada awal-awal pendirian BMAI, jumlah 'sengketa klaim asuransi kecil' menjadi salah satu perdebatan yang tidak mudah untuk menyimpulkannya. Dengan kalimat lain, bahwa tidak mudah untuk mendefinisikan pada nilai klaim asuransi berapa sebenarnya, yang tidak layak bagi tertanggung untuk mempermasalahkannya melalui pengadilan atau melalui arbitrase.

Karena misalnya, pada nilai klaim asuransi sebesar Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) akan memberi arti yang berbeda, pada tertanggung yang tinggal di Jakarta dan tertanggung yang tinggal di daerah. Sehingga memang nilai ini akan tetap membuka alasan bagi tertanggung untuk tidak memilih BMAI, atau tidak patuh terhadap putusan BMAI, mengingat secara komersial tertanggung tetap masih dapat membawanya ke pengadilan.

Sehingga ketika BMAI menetapkan pada nilai yang jauh lebih besar, yaitu Rp500.000.000,- bagi asuransi jiwa dan Rp750.000.000,- bagi asuransi umum, memberikan tantangan yang lebih kuat lagi bagi BMAI untuk harus membuktikan kinerja profesionalitasnya. Jika tidak, BMAI akan mengalami kesulitan memastikan tertanggung untuk tunduk pada putusannya. Misalnya, ketika BMAI membuktikan bahwa penolakan klaim yang dilakukan oleh perusahaan asuransi telah benar, karena pada jumlah klaim asuransi di atas Rp300.000.000 selalu terbuka secara komersial bagi tertanggung untuk mencari keadilan melalui pengadilan, khususnya pasca diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Perma small claim court (SCC) ini yang mengembangkan fasilitas persidangan sangat sederhana dan singkat dan bersifat final dengan biaya murah (dan bahkan dapat gratis) untuk nilai klaim maksimum sebesar Rp200.000.000.

Kehadiran small claim court akan menjadi kompetitor yang tidak ringan bagi BMAI mengingat jangkauan Pengadilan Negeri jauh lebih luas dari jangkauan BMAI yang cenderung lebih terfokus di Jakarta. Belum lagi dihadapkan pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang juga merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh tertanggung.

Artinya, karena jumlah klaim tidak lagi menjadi alasan utama dari tertanggung untuk memilih BMAI, maka BMAI harus benar-benar mampu menyingkirkan pamor dari pesaingnya, yaitu; BPSK dan SCC yang pendiriannya sama sekali tidak dibiayai oleh industri asuransi.

Dari Biro Menjadi Badan
Langkah dari BMAI untuk mengembangkan bentuk pelayanannya saat ini, tidak lagi hanya terbatas kepada alternatif penyelesaian melalui Mediasi dan Adjudikasi, akan tetapi telah meluas kepada alternatif penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sebagai pengembangan dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Usaha Jasa Keuangan (LAPS) yang digagas oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014.

Dengan pengembangan pelayanan tersebut, semakin menguat bahwa persoalan mendasar bagi pihak pemegang polis  yang bersengketa untuk membawa langkah penyelesaiannya ke LAPS-BMAI, tidak lagi semata-mata didasarkan pada pertimbangan klaim kecil, akan tetapi sudah hampir meliputi seluruh jenis dan nilai dari sengketa asuransi yang timbul.

Secara kontraktual, memasukkan fasilitas alternatif penyelesaian sengketa antara perusahaan asuransi dengan tertanggungnya melalui LAPS-BMAIyang ditetapkan oleh OJK, merupakan suatu kesepakatan yang tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepatutan, karena langkah penyelesaian melalui tahap mediasi ataupun adjudikasi yang akan dilakukan tersebut pada dasarnya tidak memberikan akibat yang mengikat Tertanggung akan tetapi hanya mengikat penanggung.

Selain itu, pada tahap alternatife penyelesaian sengketa melalui mediasi dan adjudikasi, pihak yang mengajukannya adalah Tertanggung, sehingga walaupun kesepakatan penyelesaian sengketa melalui LAPS tersebut telah disepakati dalam Polis, pelaksanaan dari ketentuan tersebut merupakan hak ekslusif dari tertanggung. Dengan pengertian lain, tertanggung memiliki kewenangan penuh untuk menggunakannya atau tidak, dan juga memiliki kewenangan penuh untuk mematuhinya atau tidak.

Hal tersebut berbeda dengan ketentuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pilihan penyelesaian sengketamelalui Arbitrase  merupakan ketentuan yang harus secara tegas dipilih oleh kedua pihak penanggung dan tertanggung dalam polis asuransi, tidak cukup hanya dengan menyepakati langkah penyelesaian sengketa melalui BMAI seperti yang sebelumnya, ketika Arbitrase belum berupakan bagian dari fasilitas alternatif penyelesaian sengketa di BMAI.Artinya, jika pemilihan penyelesaian sengketa hanya mencantumkan LAPS-BMAI, maka pemilihan alternatif penyelesaian sengketa tersebut hanya mengikat untuk alternatif penyelesaian melalui Mediasi dan Adjudikasi, tidak secara otomatis meliputi penyelesaian melalui Arbitrase.

Selain itu, kesepakatan alternatif penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, bukan semata-mata hak dari tertanggung untuk mengajukannya, akan tetapi juga merupakan hak dari penanggung. Berbeda dengan putusan Adjudikasi, putusan dari Arbitrase BMAI haruslah merupakan putusan yang mengikat kedua belah pihak, tidak dapat hanya mengikat pelaku asuransi semata, seperti yang terjadi pada putusan adjudikasi.Oleh karenanya penyelesaian melalui Arbitrase harus secara jelas dan tegas disepakati dalam perjanjian (polis) ketika merupakan bagian penyelesaian melalui LAPS-BMAI tersebut.

Dengan pengertian lain, berdasarkan Pasal 2 POJK.07/2014 , menunjuk alternatif penyelesaian sengketamelalui LAPS-BMAtidak secara otomatis memasukkan kewenangan pilihan penyelesaian melalui Arbitrase, dimana terhadap pilihan tersebut harus secara tegas disepakati dalam polis asuransi, atau setelah sengketa terjadi, termasuk terhadap ketundukan kepada peraturan ArbitraseLAPS-BMAI sebagai hukum acara yang berlaku.

Tantangan untuk pemilihan LAPS-BMAI sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase, tidak secara otomatis menghilangkan kewenangan dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang selama ini, menjadi lembaga penyelesaian sengketa asuransi yang dipilih, diluar dari penyelesaian Arbitrase secara Ad Hoc, apalagi dalam implementasi maksud dari prinsip kebebasan berkontrak, tertanggung sebagai konsumen memiliki ataupun keleluasaan (exclusive choice of forum) untuk menentukan apakah lembaga arbitrase yang akan digunakan nantinya adalah lembaga Arbitrase  LAPS-BMAI atau BANI.  Artinya LAPS-BMAI harus dapat mengalahkan reputasi yang telah dibangun oleh BANI selama ini, untuk dapat memastikan kepercayaan dari para konsumen ataupun pelaku asuransi memillih LAPS-BMAI dalam menyelesaikan penanganan sengketa-sengketa Asuransi.

Harapan Terhadap LAPS
Sebaiknya lembaga alternatif penyelesaian sengketa usaha jasa keuangan dikonsolidasikan menjadi satu tubuh, yaitu LAPS yang berisikan 7 sub pelayanan alternatif penyelesaian sengketa usaha jasa keuangan indonesia.

Mengingat tujuan yang paling mendasar bagi pelaku usaha jasa keuangan adalah untuk meningkatkan kepercayaan dari setiap nasabah ataupun konsumennya terhadap nilai keadilan dan kualitas penyelesaian sengketa yang di berikan oleh LAPS, maka LAPS haruslah dilihat secara mutlak sebagai 'fasilitas' dari industri jasa keuangan untuk menjangkau dan melayani seluruh jenis konsumen dari Lembaha Usaha Jasa Keuangan, khususnya ketika sengketa dengan pelaku usaha jasa keuangan tidak dapat dihindari.

Mengambil contoh LAPS-BMAI sebagai lembaga yang paling senior yang telah mengimplementasikan tujuan baik dari industri asuransi tersebut, ternyata masih memiliki keterbatasan jangkauan pelayanan akibat dari keterbatasan dana dan sumber daya manusia.

Oleh karena itu, mendirikan 7 LAPS yang masing-masing mewakili industri usaha jasa keuangan mengakibatkan munculnya 7 kekuatan yang masing-masing berkonsentrasi pada upaya pelayanan bidang usahanya masing-masing. Sementara, biaya pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan jangkauan pelayanan, kualitas sumber daya, professional code of conducts and code of ethics yang berkualitas dan terkonsolidasi, sangat sulit dimungkinkan jika daya dukung dari anggota industritidak dapat diperoleh secara maksimal.

Sementara, memberikan kewajiban kepada negara untuk membiayai ke 7 LAPS tersebut, akan semakin mengecilkan maksud dari kehadiran LAPS sebagai fasilitas yang memang benar-benar disediakan oleh pelaku usaha jasa keuangan untuk memberikan kedewasaan dan kepercayaan pasar yang maksimal terhadap industri jasa keuangan.

Sehingga oleh karena itu, menggabungkan ketujuh LAPS UJKtersebut, merupakan suatu tindakan yang sangat bijak, karena hanya akan ada satu LAPS dengan kekuatan dari 7 industri jasa keuangan, dimana didalamnya akan dibangun sub LAPS yang akan melakukan penanganan masing-masing sengketa yang dimbul yang kewenangannya ditujukan kepadanya. Hal ini juga dilakukan oleh The Financial Industry Disputes Resolution Centre (FIDReC) Singapura.

Dengan satu LAPS konsolidasi maka akan semakin kuat daya jangkau dan kualitas pelayanan, karena didukung oleh seluruh kekuatan dari PUJK Indonesia. Artinya, BMAI akan berada di dalam LAPS (LAPS-BMAI) bersama 6 lembaga alternatif penyelesaian sengketa UJK lainnya untuk memberikan yang terbaik bagi Indonesia.
-------
*) Penulis adalah pengamat hukum bisnis. Tulisan ini berasal dari presentasi di BMAI pada 4 April 2016. Sudah mengalami revisi di beberapa bagian.
Tags:

Berita Terkait