Pakar: Belum Ada Aturan Ganti Rugi Soal Sudah Dipidana Ternyata Tak Bersalah
Utama

Pakar: Belum Ada Aturan Ganti Rugi Soal Sudah Dipidana Ternyata Tak Bersalah

Seharusnya, KUHAP mengatur soal mekanisme ganti rugi ketika orang sudah menjalankan pidana, tapi kemudian terbukti bukan tidak melakukan kesalahan.

Oleh:
Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Sejatinya, ada 14 narapidana yang dieksekusi mati oleh Pemerintah Indonesia pada Jumat (29/7) lalu. Namun, dengan berbagai pertimbangan pemerintah hanya mengeksekusi empat narapidana pada eksekusi yang dikenal dengan Eksekusi Gelombang Mati Jilid III. Mereka adalah Michael Titus Igweh (Nigeria), Freddy Budiman (WNI), Seck Osmani (Senegal), dan Humprey Eijeke (Nigeria). Sementara sisanya, belum jelas kapan akan dieksekusi.

Bicara soal hukuman mati, beberapa eksekusi hukuman mati di berbagai negara sempat menjadi kisah yang tragis. Seperti yang diderita oleh seorang penderita polio di daerah South Wales, Timhoty Evans, misalnya. Dia meregang nyawa di tiang gantungan. Namun kemudian, dia diketahui tidak bersalah dan keluarga Evans mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah Inggris. Lantas, apakah hal itu berlaku juga di Indonesia, bila ke depan ada terpidana yang sudah dieksekusi tapi ternyata tidak terbukti melakukan kesalahan?   

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Prof. Topo Santoso, menjelaskan sampai saat ini Indonesia belum memiliki instrumen hukum yang mengatur mengenai upaya hukum lanjutan ketika seseorang sudah mendapatkan putusan berkekuatan hokum, tetapi ternyata dirinya tidak bersalah. (Baca Juga: Tragis, Sudah Dihukum Mati Ternyata Terbukti Tak Bersalah)

“Sampai saat ini belum ada sejarahnya di Indonesia, seseorang dinyatakan tidak bersalah setelah adanya eksekusi mati,” kata Prof. Topo kepada hukumonline, Senin (1/8).

Dia menceritakan, yang pernah terjadi di Indonesia adalah ketika seseorang sudah dipenjara untuk waktu yang lama, kemudian ada bukti yang menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Contohnya ialah pada kasus Very Idham Henyansyah alias Ryan Jombang. Kasus lainnya adalah Sekon dan Karta.

“Saat ini belum ada yang mengatur mengenai mekanismenya (ketika sudah dieksekusi, namun dinyatkan tidak besalah -red). Selama ini dengan prosedur yang sudah tersedia, misalnya dengan banding, dengan kasasi, PK dan juga mengajukan grasi. Semua proses hukumnya terangkum dalam hukum acara pidana dan undang-undang,” jelas Prof. Topo.

Dia menjelaskan peraturan ganti kerugian yang selama ini ada hanya bersifat terbatas, sehingga seharusnya ke depan KUHAP harus mengatur mengenai ganti rugi ketika orang sudah menjalankan pidana, kemudian bukan dia dinyatakan terbukti tidak besalah.

“Kalau dulu ada peninjauan kembali, itu yang harus dirumuskan orang yang sudah dihukum dahulu, kemudian dia bisa mengajukan PK lagi. KUHAP juga mesti mengatur ganti rugi ketika orang sudah menjalankan pidana kemudian bukan dia yang salah. Selama ini ganti rugi di kuhap memang ada batasanya, bukan setelah menerima putusan BHT (berkekuatan hukum tetap),” tambahnya. (Baca Juga: Curhat Istri Terpidana Mati: Semoga Eksekusi Ini Terakhir di Indonesia)

Lebih jauh, Prof. Topo mengaku lebih setuju dengan hukuman seumur hidup dibanding hukuman mati karena ada kemungkinan terpidana tidak bersalah.  “Itulah keberatan saya terhadap hukuman mati karena bisa saja terpidan terbukti tidak bersalah,” ujarnya.

Alasan lain Prof. Topo tidak sepakat dengan hukuman mati adalah bisa saja terjadi kesalahan dalam proses peradilan. Apalagi, saat ini penegak hukum belum benar-benar bersih. “Kalau menurut saya bisa terjadinya kesalahan di dalam proses peradilan. Sekarang ini sekretaris MA sedang diteliti keterlibatannya. Juga terjadinya korupsi dikalangan pengadilan. Praktik untuk mengubah dakwaan juga ada, judicial corruption, untuk mengubah tuntutan. Sehingga tidak adil dong, dia bisa mengubah,” jelasnya.

Dia kemudian menjelaskan, di Amerika ada 123 terpidana yang batal dieksekusi mati. Hal ini dikarenakan adanya peran universitas yang memiliki klinik hukum khusus yang membidangi death penalty yang bernama innocent project. Proyek ini dilakukan oleh orang-orang pencari kebenaran bahwa mereka yang dihukum mati itu belum tentu bersalah.

“Mereka bekerja dalam waktu yang cukup panjang, mencari bukti-bukti bahwa mereka para terpidana mati belum tentu besalah,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait