PP 29/2016 ‘Simpangi’ Besaran Modal Dasar Pendirian Perseroan Terbatas
Utama

PP 29/2016 ‘Simpangi’ Besaran Modal Dasar Pendirian Perseroan Terbatas

Akan ada dua potensi masalah, pertama, isu perlindungan terhadap pihak ketiga. Kedua, isu ‘tertariknya’ harta pribadi ketika ada sengketa.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas (PP 29/2016). Lewat aturan terbaru ini, ketentuan modal dasar perseroan terbatas (PT) yang semula ditentukan paling sedikit Rp50 juta menjadi diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan para pendiri PT.

“Besaran modal dasar Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri Perseroan Terbatas,” demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) PP 29/2016.

Sementara, Pasal 1 ayat (1) aturan tersebut sebatas mengatur kewajiban setiap PT untuk memiliki modal dasar. Pada ayat selanjutnya, hanya mengamanatkan bahwa modal dasar PT harus dituangkan dalam anggaran dasar yang dimuat dalam akta pendirian PT. Sementara, mengenai besaran minimal modal dasar, aturan yang telah berlaku sejak 14 Juli 2016 lalu itu sama sekali tidak mengatur secara tegas sebagaimana diatur sebelumnya melalui UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Sekedar mengingatkan, Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 tegas menyatakan, modal dasar perseroan paling sedikit Rp50 juta. Namun, lewat aturan terbaru ini agaknya aturan besaran minimal modal dasar perseroan ‘disimpangi’ dan diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan para pendiri PT. Yang menjadi pertanyaan adalah apa sebetulnya alasan yang melatarbelakangi perubahan ketentuan besaran modal dasar perseroan?

Ternyata, alasan pemerintah menyerahkan penentuan besaran modal dasar perseroan murni kepada para pendiri PT dilatarbelakangi kondisi yang dialami oleh dunia usaha, khususnya bagi pengusaha pemula untuk mendirikan suatu PT. Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan berusaha serta menjamin ketertiban dunia usaha dalam investasi dengan mengubah besaran modal dasar yang dirasakan masih sangat memberatkan para pengusaha pemula (start-up).

“Peraturan ini dibentuk dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pelaku pembangunan ekonomi nasional khususnya dalam memulai usaha,” begitu bunyi Penjelasan Umum PP 29/2016.

Selain alasan tersebut, hal lainnya yang menjadi pertimbangan bagi pemerintah akhirnya ‘mengesampingkan’ UU Nomor 40 Tahun 2007 berkenaan dengan upaya penghormatan terhadap asas kebebasan berkontrak dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian dalam mendirikan PT berdasarkan ketentuan dalam hukum perdata. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan investasi yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). (Baca Juga: Pendirian Badan Hukum PT Bagi UMKM Dipermudah)

Jika ditelaah kembali, sebetulnya Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2007 memang ‘membuka peluang’ untuk mengubah besaran modal dasar Rp50 juta tersebut lewat peraturan pemerintah. Ketentuan itu dibuat untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian yang dinamis. Sempat disinggung diatas mengenai alasan dibalik perubahan ketentuan besaran modal dasar, agaknya ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2007 menjadi ‘cantolan’ yang cukup kuat perubahan kebijakan besaran modal dasar perseroan.

Dimintai tanggapannya, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Adi Sulistiyono, mengatakan bahwa pemerintah luput memperhatikan aspek perlindungan terhadap pihak ketiga atas perubahan ketentuan permodalan suatu perseroan. Pada awalnya, pengaturan modal dasar perseroan minimal Rp50 juta agar pihak ketiga terlindungi ketika melakukan kerjasama atau bermitra dengan suatu PT.

Menurutnya, jika modal dasar minimal itu saat ini malah ‘dikesampingkan’, lantas bagaimana nantinya perlindungan bagi pihak ketiga? “Buat apa kita paksakan modal dasar PT diturunkan? Ini akan ada masalah perlindungan pihak ketiga,” kata Adi kepada hukumonline, Rabu (3/7).

Di samping muncul isu mengenai perlindungan terhadap pihak ketiga, potensi lain yang menjadi isu lanjutan adalah mengenai melebarnya pertanggungjawaban hingga ke harta pribadi. Adi mencontohkan suatu kondisi dimana pihak A dan B sepakat mendirikan PT dengan modal Rp5 juta. Suatu ketika, ada sengketa dengan pihak ketiga tetapi aset perusahaan tidak menutupi utang dengan pihak ketiga. Akhirnya, untuk menutupi utang itu sampai harus terbawa hingga harta pribadi meskipun pertanggungjawaban PT normalnya hanya sebatas modal yang ditanamkan.

Selain itu, mesti diingat bahwa secara tata urutan perundang-undangan norma yang diatur dalam PP seharusnya sejalan dengan norma yang diatur dengan undang-undang di atasnya, dalam hal ini UU Nomor 40 Tahun 2007. Jika keadaanya seperti ini, Adi menilai kondisi tersebut justru tidak memberikan sama sekali kepastian hukum bagi setiap pihak. Oleh karenanya, jika secara permodalan belum tercapai angka minimal Rp50 juta, baiknya memilih jenis wadah hukum lain yang sesuai dengan aset yang dimiliki.

“Kita menetapakan modal, itu untuk harus berinteraksi dengan pihak ketiga yang dilindungi dengan jumlah minimal. Kalau sekarang logikanya diturunkan, terus apa artinya perkembangan badan usaha?Kalau masih kecil, persekutuan perdata, kemudian naik jadi firma, lalu jadikan CV dan cari sekutu komanditer. Kalau meningkat besar lagi, jadikan PT,” jelasnya.

Untuk diketahui, PP Nomor 29 Tahun 2016 mencabut sejumlah ketentuan yang diatur sebelumnya dalam PP Nomor 7 Tahun 2016. Salah satu substansi penting yang dulu diatur, yakni ketentuan tambahan yang menyatakan apabila salah satu atau semua pihak pendiri PT memiliki kekayaan bersih sesuai kriteria UMKM dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, maka besaran modal dasar ditentukan berdasarkan kesepaktan para pendiri. Artinya, para pendiri PT dapat mengabaikan syarat modal minimum Rp 50 juta sepanjang sesuai dengan kriteria kekayaan bersih untuk UMKM.
Jenis UsahaKekayaan BersihJumlah Penjualan Tahunan
Mikro Rp50 juta Rp300 juta
Kecil Antara Rp50 juta– Rp500 juta Rp300 – Rp2,5 ,miliar
Menengah Antara Rp500 juta – Rp10 miliar Rp2,5 miliar – Rp50 miliar

Selebihnya, antara PP Nomor 29 Tahun 2016 dan PP Nomor 7 Tahun 2016 tak mengatur hal yang berbeda jauh dengan UU Nomor 40 Tahun 2007. Misalnya, paling sedikit 25 persen dari total modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Selain itu, bukti penyetoran yang sah wajib disampaikan secara elektronik kepada Menteri Hukum dan HAM paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal akta pendirian PT ditandatangani. (Baca Juga: Alasan di Balik Perubahan Modal Dasar Perseroan)

Revisi UU PT
Pemerintah sempat memberikan sinyal keinginan merevisi UU Nomor 40 Tahun 2007 sekira akhir Januari 2016 silam. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly menyinggung pentingnya mengubah regulasi yang menghambat pembangunan ekonomi. Terkait UU Nomor 40 Tahun 2007, struktur permodalan perseroan menjadi fokus yang telah lama ia soroti. Secara sepintas, Yasonna mengungkapkan akan menghapus ketentuan mengenai modal disetor sebagaimana menjadi struktur permodalan.

Sebelumnya, Dirjen AHU Freddy Harris ketika masih menjabat sebagai Sekretaris Ditjen AHU juga menyebutkan bahwa revisi UU Nomor 40 Tahun 2007 tak cuma menyangkut modal perseroan. Setidaknya, ada 20-an Daftar Isian Masalah (DIM) yang sudah dibuat dan menunggu proses pembahasan di Senayan. (Baca Juga: Demi Kemudahan Berusaha, UU Perseroan Akan Diubah)

Menanggapi secara singkat, Adi berpendapat mestinya aturan permodalan saat revisi UU Nomor 40 Tahun 2007 selain berfokus pada upaya perlindungan terhadap pihak ketiga melihat juga bagaimana perkembangan dunia usaha kedepannya. Bila dibandingkan saja misalnya, saat undang-undang yang masih berlaku disahkan diatur modal dasar minimum Rp50 juta. Secara logika, mestinya saat nanti dilakukan revisi besaran modal minimum bukan malah semakin rendah atau turun.

“Filosofi awal Rp50 juta itu minimal dan itu kecil. Tujuannya agar pihak ketiga itu terlindungi,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait