Kasus Montara, Tim Advokasi Minta Pemerintah Bekukan Izin PTTEP
Berita

Kasus Montara, Tim Advokasi Minta Pemerintah Bekukan Izin PTTEP

Dengan alasan apapun, kepentingan nasional bangsa dan rakyat Indonesia harus lebih diutamakan di atas kepentingan lainnya.

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
id.wikipedia.org
id.wikipedia.org
Ketua tim advokasi petani rumput laut Indonesia dari Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni, mendesak tim sengketa kasus Montara bentukan Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya untuk segera membekukan izin operasi PTTEP Australasia di Indonesia.

"Tindakan (pembekuan izin operasi) ini sangat penting untuk mendukung langkah hukum yang dilakukan para petani rumput laut Indonesia asal Nusa Tenggara Timur melalui gugatan class action di Pengadilan Federal Australia di Sydney," kata Ketua YPTB Ferdi Tanoni, Kamis (4/8).

Tanoni yang juga pemerhati masalah Laut Timor dan mantan agen imigrasi Australia mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal harapannya terhadap Pemerintah Indonesia guna mendukung langkah hukum para petani rumput laut NTT melalui gugatan class action di Pengadilan Federal Australia di Sydney, Rabu (3/8). (Baca Juga: Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Blok Montara)

Peraih Civil Justice Award 2013 dari Aliansi Pengacara Australia (ALA) itu mengatakan, tindakan Pemerintah Indonesia untuk membekukan izin operasi PTTEP Australasia yang ada di Indonesia merupakan pilihan paling tepat untuk mendukung langkah hukum yang sedang diadvokasinya saat ini.

"Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya RI kan sudah membentuk tim sengketa penyelesaian tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada 2009. Kita harap tim ini segera mengambil langkah tegas dengan membekukan izin dan aset perusahaan pencemar itu di Indonesia," katanya.

Penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta" itu mengatakan, tim sengketa penyelesaian tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang dipimpin Havas Oegroseno (Deputi I Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya) perlu segera mengambil tindakan tegas atas perusahaan pencemar PTTEP Australasia yang masih beroperasi di Indonesia. (Baca Juga: Pengadilan Australia Terima Gugatan Petani Rumput Laut Indonesia)

"Dengan alasan apapun, kepentingan nasional bangsa dan rakyat Indonesia harus lebih diutamakan di atas kepentingan lainnya. Kami tidak mau harkat dan martabat bangsa Indonesia diinjak-injak oleh perusahaan tersebut," katanya menegaskan.

Ia menambahkan tindakan class action yang diambil para petani rumput laut NTT yang diadvokasi oleh YPTB tersebut, karena Pemerintah Indonesia dinilainya terlalu lamban dalam upaya menuntaskan petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang sudah berjalan lebih dari tujuh tahun itu. (Baca Juga: Perusahaan Australia Gantung Ganti Rugi Montara)

"Sebagai anak bangsa, kami merasa terhina dengan sebuah tindakan perusahaan kecil dari Thailand yang mampu mempermalukan bangsa Indonesia yang besar dan bermartabat ini," ujarnya.

Tanoni juga meminta pemerintah Federal Australia tidak seenaknya mendikte rakyat Indonesia yang ada di Timor bagian barat, Nusa Tenggara Timur. "Kami menghormati kerja sama bilateral antara kedua negara, namun masing-masing pihak juga harus saling menghormati dan menghargai. Jangan kami dipandang remeh dan merendahkan begitu saja," demikian Ferdi Tanoni.

Sekadar mengingatkan, pada 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara milik PTTEP Australasia (Ashmore Cartier) Pty Ltd (PTTEP-AA) meledak. Kemudian, pada 9 November 2009 kebocoran dapat diatasi. Namun, selama rentang waktu tersebut, kebocoran telah menimbulkan pencemaran yang melintasi wilayah perairan Indonesia, tepatnya di sekitar wilayah perairan Laut Timor. Akibatnya, warga khususnya nelayan yang tinggal di sekitar perairan laut timor menderita kerugian baik moril dan materiil.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat itu (tahun 2009) melansir, 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang, NTT. Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT.

Tags:

Berita Terkait