Pasutri Terpidana Mati Minta Pembatalan Putusan MA
Berita

Pasutri Terpidana Mati Minta Pembatalan Putusan MA

Terkait kasus pembunuhan satu keluarga di Bali. Hakim diminta mempertimbangkan ketentuan UU tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights.

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Pasangan suami-istri (pasutri), Heru Hendriyanto dan Putu Anita Sukra Dewi yang menjadi terpidana mati atas pembunuhan satu keluarga di Kampial Kabupaten Badung, Bali pada 2012, meminta pembatalan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait hukuman yang dijatuhkan.

Dalam agenda sidang pembacaan memo Peninjauan Kembali (PK) yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Gde Ginarsa, di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (8/8), kuasa hukum terpidana mati Edy Hartaka menilai upaya pembatalan putusan PK itu merupakan hak hidup manusia yang melekat pada dirinya.

"Untuk itu saya memohon majelis hakim PK Mahkamah Agung menerima permohonan peninjauan kembali terpidana," ujar Edy Hartaka yang dalam sidang itu juga dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wiraguna Wiradharma. (Baca Juga: Menyoal Hukuman Pencabut Nyawa)

Dalam kesimpulan PK tersebut, Edy mengatakan penerapan hukum tingkat kasasi (Judex Juris) telah khilaf atau melakukan kekeliruan yang nyata, karena tidak pernah mempertimbangkan ketentuan UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Kemudian, Judex Juris telah khilaf dan tidak mempertimbangkan ketentuan UUD 1945 yang secara tegas mengatur hak untuk hidup bagi seluruh hidup umat manusia. (Baca Juga: Curhat Istri Terpidana Mati: Semoga Eksekusi Ini Terakhir di Indonesia)

Selanjutnya, Judex Juris telah keliru karena menggunakan kesaksian dari terdakwa lain sebagai dasar putusan, sehingga mengandung kelemahan yang mengakibatkan terjadinya keterangan palsu dari saksi (yang juga merupakan terdakwa) keterangan saksi yang memberatkan atau meringankan sesama terdakwa.

"Judex Juris juga keliru, karena tidak mempertimbangkan filosofi pemidanaan di Indonesia yakni hukuman pidana sebagai proses pertobatan bagi narapidana, di mana pemohon PK telah menyesali perbuatannya," ujar Edy lagi.

Usai membacakan memo PK itu, hakim memutuskan sidang dilanjutkan pada Selasa (16/8) dengan agenda tangapan JPU. Setelah hakim mengetok palu sidang, salah satu keluarga korban sempat melakukan interupsi kepada hakim agar hukuman mati tetap dilanjutkan kepada kedua terpidana pasutri itu. (Baca Juga: Tragis, Sudah Dihukum Mati Ternyata Terbukti Tak Bersalah)

"Saya mohon hakim tetap menjatuhkan hukuman mati terhadap terpidana," ujar keluarga korban. Namun, hakim memberikan penjelasan bahwa proses hukum peradilan di Indonesia memang seperti ini, dan pihak keluarga diminta bersabar hingga putusan PK berakhir.

Sebelumnya, Heru dan istrinya berperan sebagai dalang pembunuhan Purnabawa dan keluarganya yang tinggal di perumahan Kampial, Badung. Heru mengajak tiga terdakwa lainnya untuk membunuh korban pada 16 Februari 2012.

Saat itu, satu keluarga yang terdiri dari I Made Purnabawa (28), istrinya Ni Luh Ayu Sri Mahayoni (27), dan anak perempuannya Ni Wayan Risna Ayu Dewi (9) sempat dinyatakan hilang misterius.

Namun, akhirnya terungkap kalau keluarga tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di hutan di Jembrana, sekitar 150 kilometer dari rumah mereka, 20 Februari 2012.

Tags:

Berita Terkait