Menanti Komitmen Komisi Kejaksaan Tangani 4 Aduan Eksekusi Mati
Utama

Menanti Komitmen Komisi Kejaksaan Tangani 4 Aduan Eksekusi Mati

Langkah awal. Komisi Kejaksaan akan membentuk tim khusus yang akan ditetapkan dalam rapat pleno besok Kamis, 11 Agustus 2016.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati saat bertemu Komisi Kejaksaan. Foto: NNP
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati saat bertemu Komisi Kejaksaan. Foto: NNP
Komisi Kejaksaan telah menerima empat laporan berkenaan temuan adanya pelanggaran dan tindakan tidak profesional dalam pelaksanaan eksekusi mati yang digelar pada tanggal 29 Juli 2016 yang lalu. Anggota Komisioner Komisi Kejaksaan, Indro Sugianto, mengatakan bahwa Komisi Kejaksaan sepakat untuk segera membentuk tim khusus yang akan menelaah setiap laporan yang diterima.

“Kita melihat ini perlu dibentuk tim, akhirnya disepakati untuk dibentuk tim pada rapat pleno hari Senin (8 Agustus 2016) kemarin,” ujar Indro di kantor Komisi Kejaksaan usai menerima laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (HATI), Rabu (8/10).

Hari ini, lanjut Indro, Komisi Kejaksaan telah menerima empat laporan atau pengaduan berkaitan dengan eksekusi mati gelombang tiga dari empat pihak yang berbeda. Pertama, laporan dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengenai eksekusi mati atas nama Seck Osmane dan Humprey Ejike, pada Jumat tanggal 5 Agustus 2016. Kebetulan, laporan itu diterima sendiri oleh Indro yang saat itu tengah bertugas menjadi komisioner ‘piket’.

Dalam aduannya, Boyamin menduga ada pelanggaran hukum lantaran keduanya baru saja mengajukan permohonan grasi. Terpidana mati Humprey Ejika telah mengajukan grasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Juli 2016 dan Sack Osmane melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Juli 2016. Boyamin mengatakan pelaksanaan eksekusi keduanya telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 13 UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. (Baca Juga: 8 dari 14 Terpidana Mati Belum Terima Kabar Soal Permohonan Grasi)

Walau Boyamin sadar tidak memiliki kepentingan langsung terhadap keduanya. Namun,  kepentingannya hanya untuk meluruskan bahwa eksekusi mati mesti menghormati proses hukum yang masih berjalan. Sebagaimana diketahui, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2005 tentang pengujuan UU Grasi dimana eksekusi mati tidak dapat dilaksanakan apabila terpidana mati yang mengajukan grasi belum menerima surat penolakan dari Presiden.

Kemudian, dua laporan lain yang diterima Komisi Kejaksaan masih mempertentangkan mengenai ekskusi mati. Namun, laporan kedua yang diterima dari pihak yang mengatasnamakan LSM Ganas pada intinya sebatas mempertanyakan mengapa hanya empat terpidana mati yang dilakukan eksekusi dari total 14 terpidana yang disiapkan untuk dieksekusi pada gelombang ke-3.

Sementara, satu laporan yang juga berasal dari salah satu LSM mengkritisi persoalan yang lain terkait eksekusi mati, yakni mempertanyakan sisa anggaran karena hanya empat terpidana mati yang dieksekusi. “Dua laporan itu diterima oleh Komisioner Kejaksaan lainnya,” jelasnya.

Satu laporan lainnya dari sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi HATI, yang terdiri dari LBH Masyarakat, MaPPI FHUI dan ICJR. Laporan resmi diterima dan diregistrarsi lewat bukti tanda terima No.2355-623/BTT/KK/08/2016 atas nama LBH Masyarakat. Tujuh dari sembilan komisioner Komisi Kejaksaan (kecuali, Yuswa Kusumah dan Tudjo Pramono) juga telah menerima mereka secara formal di ruang rapat lantai dua kantornya. (Baca Juga: Ternyata Eksekusi Dua Terpidana Mati Tak Tunggu Grasi)

Dalam laporannya, pengacara publik dari LBH Masyarakat, Afif Abdul Qoyim menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan pelanggaran hukum dalam pelaksanaan eksekusi mati pada 29 Juli 2016 lalu. Ada dua poin kejanggalan yang menjadi catatan. Pertama, Humprey Ejike yang menjadi klien LBH Masyarat masih memiliki hak mengajukan grasi pasca putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015. Menurutnya, merujuk kepada Pasal 5 UU Grasi, eksekusi tidak bisa dilaksanakan sebelum ada keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. “Kejaksaan telah melanggar ketentuan dalam UU Grasi,” sebutnya.

Kejanggalan yang kedua, lanjut Afif, Kejaksaan telah menyimpangi Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dimana Jaksa Tinggi atau Jaksa wajib memberitahukan paling lama 3 x 24 jam sebelum pelaksanaan eksekusi mati. Kata Afif, Humpey menerima berita acara pemberitahuan putusannya telah berkekuatan hukum tetap pada 26 Juli 2016 sekitar pukul 15:00 WIB. Jika dihitung dengan 3 x 24 jam, maka paling cepat dilakukannya eksekusi pada 29 Juli 2016 sore hari. Tetapi, eksekusi malah dilakukan lebih cepat pada 29 Juli 2016 tepatnya pada dini hari.

“Ada percepatan waktu eksekusi. Kenapa ini jaksa terkesan terburu-buru? Saya berharap Komisi Kejaksaan bisa merespon hal tersebut,” jelas Afif.

Menambahkan koleganya, peneliti dari LBH Masyarakat, Raynov Gultom menyebutkan bahwa pelaksanaan eksekusi gelombang tiga dirasakan sangat membatasi akses buat kuasa hukum terpidana untuk melakukan pendampingan. Pelaksanaan eksekusi kemarin, masing-masing terpidana mati hanya diizinkan ditemani hanya oleh satu orang kuasa hukumnya. Selain itu, hak terpidana untuk dikunjungi oleh keluarga atau kuasa hukumnya juga dikurangi.

Biasanya, lanjut Raynov, jam kunjungan mulai pukul 9 pagi sampai 4 sore. Saat itu, kunjungan baru dimulai sejak pukul 12 sampai pukul 4 sore. Selain itu, ada semacam kebiasaan yang kali ini tidak dilakukan dimana saat pelaksanaan eksekusi tahap sebelumnya, saat H-1 eksekusi dilakukan briefing mengenai teknis pelaksanaan eksekusi. Selain itu, saat pelaksanaan eksekusi kemarin, pengamanan cukup ketat dimana ada semacam pendaftaran plat nomor kendaraan rombongan berkenaan kegiatan eksekusi. “Ini batasi hak terpidana untuk bertemu keluarga dan kuasa hukumnya,” sebutnya.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari ICJR, Erasmus Napitupulu mengungkapkan bahwa besar harapan koalisi pada Komisi Kejaksaan untuk segera membuat rekomendasi kepada Kejaksaan Agung. Ia berharap agar Komisi Kejaksaan bisa melihat eksekusi mati ini lewat bingkai yang lebih luas. Bagi Eramus, yang paling penting Komisi Kejaksaan bisa membantu menjawab teka teki apa alasan yuridis dan non yuridis yang sering dikemukakan oleh pihak Kejaksaa Agung. “Koalisi juga sudah lakukan beberapa upaya mengenai temuan mengenai mal administrasi pelaksanaan eksekusi kepada pihak Ombudsman 9 Agustus 2016,” kata Eras. (Baca Juga: 10 Hal yang Perlu Anda Ketahui tentang Hukuman Mati)

Sebatas Rekomendasi
Kepada hukumonline, Indro memungkinkan dalam agenda rapat pleno komisioner yang digelar besok Kamis, 11 Agustus 2016 ditetapkan tiga komisoner Komisi Kejaksaan yang menjadi bagian dari tim khusus untuk menelaah lebih dalam atas laporan dari sejumlah pihak dengan catatan dan kuorum kehadiran terpenuhi. Artinya, minimal rapat pleno dihadiri oleh lima orang komisioner Komisi Kejaksaan.

“Kita ingin bekerja secepat-cepatnya, tapi juga ingin bekerja sedalam-dalamnya dan se konkret-konkretnya. Kamis, akan ditanyakan perkembangannya. Tapi bergantung kuorum atau tidak. Minimal lima,” sebut Indro.

Berkaitan dengan aduan yang dilaporkan terkait eksekusi mati, Indro menilai hal tersebut lebih masuk pada aspek kebijakan pelaksanaan eksekusi di Kejaksaan Agung. Secara kewenangan, lanjutnya Komisi Kejaksaan bisa memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan melalui Jaksa Agung.

“Masalah ini, kan pada policy, kita punya kewenangan kepada Kejaksaan untuk memberikan perbaikan kebijakan termasuk dalam penanganan perkara, SDM, atau organisasi. Nanti kita sampaikan ke Jaksa Agung,” tutup Indro.
Tags:

Berita Terkait