KPK: Faktor Struktural dan Sejarah Picu Munculnya Korupsi di Indonesia
Berita

KPK: Faktor Struktural dan Sejarah Picu Munculnya Korupsi di Indonesia

Jika ingin terbebas dari perbuatan korupsi, tiap orang wajib berintegritas tinggi.

Oleh:
ANT | Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sosialisasi pencegahan tindak pidana korupsi kepada pejabat di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM sebagai langkah meminimalisasi praktik korupsi di lingkup pemerintahan. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Sujanarko, menegaskan bahwa maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia bukanlah suatu budaya.

"KPK tidak setuju bila dikatakan korupsi itu budaya. Karena, budaya itu sifatnya membangun, bukan merusak," kata Sujanarko di hadapan seluruh pejabat Eselon 1 sampai 4 dalam acara sosialisasi pencegahan tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM, di Jakarta, Kamis (11/8). (Baca Juga: Tiga Aspek Untuk Mencegah Korupsi)

Menurut Sujanarko, ada beberapa penyebab timbulnya korupsi di Indonesia. Antara lain adalah faktor struktural dan faktor sejarah di mana struktur oligarki yang dikuasai oleh elit lama. "Desentralisasi juga menciptakan aktor dan modus baru korupsi di Indonesia, seperti misalnya Pilkada. Berikutnya adalah kualitas regulasi untuk usaha, misalnya dalam pemberian izin usaha. Kualitas peradilan juga menjadi salah satu penyebab timbulnya korupsi. Penyebab korupsi lainnya adalah melimpahnya sumber daya alam suatu negara,"katanya.

Ia menegaskan, praktik korupsi bisa merusak harga pasar, merusak demokrasi, merusak kualitas hidup, dan mengancam kesinambungan pembangunan. Atas dasar itu, pejabat wajib memiliki integritas tinggi sehingga jauh dari perbuatan korupsi. "Partai politik (Parpol) merupakan unsur atau elemen yang paling potensial korup. Karena, lewat parpol itu pejabat dipilih. Parpol juga yang membuat regulasi atau UU, yang semuanya itu diarahkan untuk kepentingan kelompok mereka. Oleh karena itu, jadi pejabat itu harus memiliki integritas yang tinggi," kata Sujanarko.

Ia menjelaskan, terdapat sejumlah delik-delik korupsi yang diadopsi dari KUHP. Delik-delik tersebut antara lain terkait dengan kerugian negara, pemberian sesuatu kepada PNS (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, serta gratifikasi. (Baca Juga: Senjata Baru Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi)

"Misalnya, ada pejabat memberikan sinyal pada pengusaha untuk memberikan sesuatu agar surat izin usahanya diteken, ini sudah masuk korupsi. Atau perbuatan curang dimana dalam pengadaan barang dilakukan oleh keluarga dari si pejabat yang bersangkutan," tutur Sujanarko.

Ia menambahkan, niat jahat dari seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi itu bisa diukur. Caranya, dengan menelisik isi percakapan tersebut bisa melalui telepon, short message service (SMS), WhatsApp (WA), e-mail, dan media sosial lainnya. "Dari isi percakapan itu kita bisa mengukur niat jahat dari seseorang. Kalau tidak ditemukan niat jahat, itu namanya kelalaian," katanya.

Tak hanya itu, Sujanarko mengungkapkan bahwa tidak semua kerugian negara itu masuk kategori korupsi. "Contoh dalam hal pembelian barang atau jasa. Pembelian barang itu berkaitan erat dengan kompensi seseorang. Misalnya, ada pihak menemukan harga batik Rp200 ribu. Tapi, saya bisa membeli batik sejenis dengan harga Rp125 ribu, karena istri saya pedagang batik besar. Itu bukan korupsi, karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mendapatkan barang dari pihak yang harganya rendah. Kecuali, dia mendapatkan komisi atas harga barang tersebut," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram menyatakan bahwa tujuan acara sosialisasi ini digelar untuk mengetahui delik dan ancaman tindak pidana korupsi agar diketahui oleh seluruh jajarannya. Sehingga, terbebas dari ancaman tindak pidana korupsi. (Baca Juga: Reformasi Birokrasi Menjadi Harapan Pencegahan Korupsi)

"Kami ingin bekerja dengan baik dan benar. Di mana kita ingin sukses dalam menjalankan program-program, juga sukses dalam administrasinya. Saya yakin tidak ada satu pun pejabat berniat korupsi. Hal itu hanya bisa terjadi karena ketidakmampuan secara administrasi, yang akan terus kita perbaiki," kata Agus.

Ia menyebutkan bahwa tahun lalu kementeriannya telah mendapat label Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK dan nilai 72 atas reformasi birokrasi. Agus juga mengungkapkan, pihaknya melakukan transparansi kerja yang bisa diketahui dan diawasi langsung oleh masyarakat.

"Kita memiliki pusat pengaduan atau call center. Bisa juga melalui media sosial yang kita miliki seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Bahkan, untuk pengurusan izin usaha mikro dan kecil, sertifikat notaris untuk koperasi, serta hak cipta, semunya gratis alias tidak ada pungutan liar," ujar Agus.

Selain itu, lanjut Agus, pihaknya juga aktif menggelorakan revolusi mental dimana di dalamnya mencakup integritas, etos kerja, dan gotong-royong. "Integritas itu berarti kita jangan korupsi. Sedangkan terkait etos kerja kita melakukan pengawasan melekat. Yang jelas, upaya-upaya mengarah ke profesionalisme PNS akan terus kita tingkatkan," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait