KontraS: Ada Kejanggalan Pengiriman Terkontrol Kasus Freddy
Berita

KontraS: Ada Kejanggalan Pengiriman Terkontrol Kasus Freddy

Kejanggalan tersebut ditemukan dalam berkas putusan pengadilan militer terhadap Muhamad Muhtar, salah satu aktor lapangan yang ditugasi Freddy untuk mengurus persiapan pengiriman paket narkoba ke Cengkareng, Jakarta Barat pada 2012.

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar. Foto: RES
Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar. Foto: RES
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Berantas Mafia Narkoba mengungkap kejanggalan pengiriman terkontrol yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam penyelidikan kasus peredaran narkoba Freddy Budiman.

Kejanggalan tersebut ditemukan dalam berkas putusan pengadilan militer terhadap Muhamad Muhtar, salah satu aktor lapangan yang ditugasi Freddy untuk mengurus persiapan pengiriman paket narkoba ke Cengkareng, Jakarta Barat pada 2012.

"Berkas putusan ini menunjukkan ada hal yang tidak jelas tentang siapa yang memberikan kewenangan controlled delivery dan apa acuannya. Dalam peristiwa pidananya berhenti di Tol Kamal, harusnya pengantaran barang dibiarkan sampai tuntas karena tujuan controlled delivery adalah mengungkap rantai distribusi sampai penggunaan (narkoba)," ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/8).

Pencegatan di pintu Tol Kamal, Penjaringan, oleh tim gabungan BNN dan Bea Cukai terhadap Muhtar yang bertugas mengawal satu truk kontainer berisi 1,4 juta butir pil ekstasi, dianggap tidak sesuai dengan standar dan tujuan controlled delivery. (Baca Juga: Sisi Positif Ungkap Kesaksian Freddy Budiman Terhadap TNI, Polri dan BNN)

Dalam konteks controlled delivery ini, BNN dan Bea Cukai hanya bersandar pada Pasal 75 huruf j UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan, "melakukan teknik penyelidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan", tanpa menjelaskan secara spesifik dalam aturan hukum melalui prosedur standar operasi.

Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menjelaskan, dalam tim controlled delivery pasti ada organisasi yang terlibat, rencana kegiatan, proses, serta siapa saja yang bisa memberi perintah, sehingga tidak semua institusi bisa mengambil tindakan sendiri.

"Janggalnya sejak dari pelabuhan diduga ada tiga kontainer, yang dua tidak lolos kok satu lolos. Itu mencurigakan. Pasti ada koordinasi antara petugas yang memantau di pelabuhan dan pengendali yang mengarahkan ambil (kontainer) yang mana, karena dia pasti tahu yang ada isinya narkotika," ujar Bambang.

Dalam berkas putusan terpidana seumur hidup Muhamad Muhtar terdapat tiga nama yang memiliki peran khusus yakni Freddy Budiman yang menyiapkan dan mengatur orang-orang di lapangan untuk mempercepat proses pengeluaran barang hingga barang masuk ke gudang penyewaan (operator).

Kemudian, Hani Sapta yang berperan mengenalkan dan membuka jaringan pelabuhan, termasuk memiliki orang yang bisa mempermudah administrasi dokumen dan mengeluarkan barang dari pelabuhan. Selanjutnya, Chandra Halim yang berperan sebagai penghubung produsen barang di Tiongkok. Ia diketahui sebagai orang kepercayaan produsen. (Baca Juga: PPATK Temukan Aliran Duit Ratusan Miliar Gembong Narkotik)

Dalam hal ini, KontraS juga mempertanyakan siapa oknum yang membantu Freddy karena pada saat peristiwa pengiriman tersebut terjadi, ia masih berada dalam sel tahanan. "Bagaimana Freddy mengontrol ini semua, dia dapat back up dari mana? Pantas saja narkoba masih banyak beredar karena yang dihukum justru orang-orang yang hanya menjadi petunjuk jalan seperti Muhtar ini," tutur Haris Azhar.

Dalam tulisan yang dibuat Haris berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)", Freddy mengaku memberikan uang ratusan miliar rupiah kepada penegak hukum di Indonesia untuk melancarkan bisnis haramnya di Tanah Air.

Uang masing-masing sebesar Rp450 miliar disebutnya telah diberikan kepada BNN dan Rp90 miliar ke pejabat Mabes Polri. Freddy juga mengaku pernah menggunakan fasilitas mobil pejabat TNI berbintang dua.

Tim Independen Polri
Sementara itu, tim independen bentukan Kepolisian Republik Indonesia akan mengecek keberadaan rekaman CCTV Lapas Nusakambangan di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). "Tentu kami akan tanyakan (ke Kemenkumham). Kami akan kroscek. Kami akan minta bantuan Kemenkumham," kata Ketua Tim Independen, Komjen Pol Dwi Priyatno.

Dalam menyelidiki kebenaran cerita Koordinator KontraS Haris Azhar yang mengungkap keterlibatan oknum aparat dalam peredaran narkoba jaringan terpidana mati Freddy Budiman, timnya sudah memeriksa adik kandung Freddy, Johny Suhendra alias Latif yang mendekam di Lapas Salemba.

"Apa yang disampaikan (Latif) memang tidak jauh dengan apa yang disampaikan dalam BAP," katanya.

Selain itu, tim independen bentukan Polri akan mengunjungi Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah untuk memastikan kebenaran pertemuan antara Koordinator KontraS Haris Azhar dengan mendiang terpidana mati Freddy Budiman. Di sana, tim akan mengonfirmasi keterangan dari berbagai pihak. Rencananya, tim akan berangkat pada pekan depan, Senin (15/8) atau Selasa (16/8).

"Kami akan tanyakan dulu apa betul pernah ada pertemuan (antara Haris dan Freddy, red). Informasi ini kan belum tentu benar. Kalau memang benar, nanti kami akan minta bantuan untuk mendengarkan apa yang disampaikan," kata Dwi.

Tags:

Berita Terkait