Iman Brotoseno, Lebih Memilih Jadi Sutradara Ketimbang Lawyer
After Office

Iman Brotoseno, Lebih Memilih Jadi Sutradara Ketimbang Lawyer

Iman Brotoseno pernah bergabung dengan sebuah law firm, namun hanya sebentar. Dunia perfilman telah memikat hatinya. Salah satu film yang disutradarainya adalah 3 Srikandi.

Oleh:
Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Iman Brotoseno. Foto: HAG
Iman Brotoseno. Foto: HAG
Lulusan fakultas hukum ternyata tidak melulu menjadi pengacara, notaris, atau profesi hukum lainnya. Iman Brotoseno, salah satu contohnya. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan 1984 ini mengambil jalan yang berbeda dari sarjana hukum lainnya. Saat ini, dirinya menggeluti bidang perfilman dan fokus menjadi seorang sutradara. Salah satu film karyanya adalah 3 Srikandi yang belum lama launching dan masih ada di bioskop.

Menjadi sutradara memang bukan cita-cita Iman sejak kecil, namun ia sangat menyukai berada di dunia perfilman dan broadcast. Kegemaran Iman di dunia perfilman di mulai saat ia masih kuliah. Dia menyukai aktifitas photografi dan desain meskipun belum ada unit kegiatan mahasiswa yang menaungi kegiatan tersebut.

“Saya berpikir waktu itu TV swasta baru dibuka yaitu RCTI. Jadi saya melihat opportunity, dunia broadcast akan menjadi new-era. Saya melihat di TV swasta nanti akan ada iklan,” tutur Iman yang ditemui hukumonline di sela promosi filmnya yang berjudul 3 Srikandi, Senin (8/8).

Dia mengaku pernah bergabung dengan sebuah law firm, namun hanya sebentar. Soalnya, setelah lulus Iman langsung terlibat di sebuah rumah produksi yang mengolah konten film dan iklan. Dia juga terlibat dalam pembuatan inflight magazine GARUDA, di mana dalam pekerjaan tersebut mengharuskan dirinya untuk sering ke London, Inggris. (Baca Juga: Muthia Zahra Feriani: Pengusaha Muda, Bermodal Ilmu Hukum)

“Ketika saya selesai sidang dan sedang menunggu wisuda, saya sempat magang di kantor hukum. Namun, ketika lulus saya malah berpikir sepertinya seru juga di film. Dan kemudian saya dapat pekerjaan dari GARUDA, saya di minta untuk membuat inflight magazine, termasuk musik dan film-filmnya. Pekerjaan itu mengharuskan saya sering ke London,” ujarnya.

Di London, Iman banyak berkenalan dengan pelaku industri, hingga akhirnya ia memutuskan meneruskan sekolah di National Film and Television School. Tiba di Indonesia, ia malah bablas di industri film sampai sekarang. (Baca Juga: Keluar Penjara, Mantan Pengacara Ini Sempat Jadi Koki Profesional)

Meski aktif di dunia perfilman tidak lantas membuatnya menyesal menjadi sarjana hukum. Dia mengaku bahwa ilmu hukum yang didapatnya di bangku kuliah sangat bermanfaat bagi pekerjaannya sampai saat ini. Menurutnya, sekolah hukum mengajarkan orang untuk berpikir logis. “Itu yang paling penting. Dan kita diajarkan untuk memahami konstruksi hukum. Itu sangat berpengaruh dengan kehidupan dan pekerjaan saya setiap hari,” kata Iman.

Meski terjun ke industri perfilman, apa yang dipelajari Iman mengenai ilmu hukum tetap ada manfaatnya, terutama yang berhubungan dengan kontrak perjanjian. Dia harus paham mengenai hal itu. (Baca Juga: Advokat Ini Temukan Sensasi Lewat Hobi Memancing)

“Seperti teman-teman saya yang artis ada yang tidak paham, selalu ada lawyernya. Kalau saya tidak perlu. Saya tahu dan bisa memahami perjanjian. Kemudian saya tahu banyak orang yang berkecimpung di industri film yang tidak telalu paham akhirnya terjadi clash. Kadang ada beda persepsi tentang sebuah kontrak,” tuturnya.

Dengan gelar sarjana hukum yang melekat pada dirinya, Iman lebih mudah untuk memahami perjanjian sekaligus memudahkannya menjadi seorang sutradara. “Kalau menurut saya sih Alhamdulillah saya lebih prepare terhadap hal tersebut. Bahwa itu adalah big foundation (ilmu hukum, red). It’s basic, semua pasti pakai hukum,” jelasnya.

Menurut Iman, ilmu hukum banyak manfatnya, bukan hanya untuk berperkara dan beracara. “Saya tahu untuk sebuah tindakan itu saya harus apa. Untuk sebuah kontrak kerjasama. Saya lebih tahu. Saya harus berhubungan dengan musisi composer pemilik gambar kemudian berhubungan distribusi film dan perjanjiannya bagaimana. Banyak membantu,” ujarnya.

Terkat profesinya saat ini, Iman mengatakan bahwa sutradara di Indonesia berbeda dengan Amerika. Di Amerika, sutradara hanya aspek kreatif karena mereka sudah jalan industrinya. Akan tetapi di Indonesia, seorang sutradara harus merangkap semua. (Baca Juga: Kuliner, Cara Advokat Manjakan Diri)

“Kalau sutradara di Amerika, sudah ada yang menjalankan promosi, sudah ada yang melakukan marketing, sudah ada yang mau investasi. Kalau di Indonesia, sutradara harus memikirkan promosi, jalan-jalan ke mana, roadshow, investasi dan deal dengan investor. Saya harus meyakinkan investor pemasukannya seperti apa, dan lain sebagainya,” kata pria yang mengagumi Ir. Soekarno dan M. Hatta.

Ke depan, Iman mengaku akan terus fokus di bidang perfilman. Dia ingin membuat film musikalisasi, membuat film yang bisa menjadi warisan dan dikenang terus menerus. Salah satunya adalah film 3 Srikandi.

“Sekarang kan film 3 Srikandi ini film tentang sejarah olahraga, dan saya ingin membuat musical. Saya ingin membuat film sejarah juga karena sangat tertarik dengan sejarah. Tapi yang jelas saya ingin membuat sebuah film yang dikenang terus menerus dan bisa menjadi warisan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait