Ups, Sobekan Dokumen di Badan Istri Nurhadi Terjatuh Saat Penggeledahan KPK
Berita

Ups, Sobekan Dokumen di Badan Istri Nurhadi Terjatuh Saat Penggeledahan KPK

Nurhadi mengaku tidak mengenal sobekan dokumen yang ditunjukkan penuntut umum.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Nurhadi saat bersaksi di Pengadilan Tipikor. Foto: RES
Nurhadi saat bersaksi di Pengadilan Tipikor. Foto: RES
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Doddy Aryanto Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/8). Doddy merupakan terdakwa penyuap Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Di penghujung sidang, penuntut umum KPK menunjukan sejumlah barang bukti yang disita dari kediaman Nurhadi di Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada 20 April 2016. Sebagaimana diketahui, pasca penangkapan Doddy dan Edy, KPK menggeledah rumah Nurhadi.

Penuntut umum Joko Hermawan mengatakan, dokumen-dokumen itu disimpan dalam tiga kantong plastik dengan keadaan tersobek-sobek. Terhadap penggeledahan dan penyitaan dokumen tersebut, penyidik telah melakukan rekonstruksi dan membuat berita acara penyitaan.

Sebut saja, barang bukti nomor 333. Barang bukti 333 adalah satu bungkus plastik berisi dokumen atau surat yang telah hancur atau sobek yang disembunyikan di badan istri Nurhadi, Tin Zuraida saat KPK melakukan penggeledahan di rumah Nurhadi. Tin diketahui juga merupakan pejabat MA. (Baca Juga: “Jurus” Bungkam Istri Nurhadi Saat Ditanya Penggeledahan)

"Kemudian, barang bukti nomor 334, satu bungkus plastik yang berisi dokumen atau surat yang telah hancur atau sobek yang terjatuh ketika Tin Zuraida hendak pindah ke ruangan lain," kata Joko sambil menunjukan barang bukti di hadapan majelis hakim, Nurhadi, Doddy dan tim pengacara.

Namun, Nurhadi membantah mengenali dokumen itu. Menurutnya, dokumen yang ia sobek pada 19 April 2016 bukan dokumen seperti yang ditunjukkan penuntut umum, melainkan dokumen perkara Bank Danamon. Adapun dokumen yang dibuang ke tempat sampah adalah dokumen putusan Danamon yang tebalnya sekitar 50 halaman.

Ketika penuntut umum menunjukan sobekan dokumen-dokumen tersebut, Nurhadi menampik. Ia malah mempertanyakan asal dokumen itu. "Tidak tahu. Kalau yang saya sobek itu tipis. Tapi, di penyidikan, jadi besar, tiga kantong plastik itu. (Saat rekonstruksi) saya tidak meneliti satu persatu," ujarnya.

Nurhadi mengaku, dirinya sama sekali tidak pernah melakukan pengurusan perkara, baik perkara terkait Paramount maupun Lippo Group. Hubungannya dengan bos PT Paramount Enterprise International, Eddy Sindoro hanyalah sebagai teman. Nurhadi sudah mengenal Eddy sejak 1975-1976.

Ia bertemu Eddy di sebuah restauran khas Semarang. Ketika itu, Nurhadi masih menjadi pelajar di SMU di Kudus, sedangkan Eddy menempuh SMU di Semarang. Eddy merupakan kakak kelas Nurhadi, lebih tua satu tahun dari Nurhadi. Pada 2015-2016, Nurhadi pernah beberapa kali bertemu Eddy. (Baca Juga: Nurhadi Masuk Penyelidikan KPK, Uang Miliaran Disita)

Antara lain saat menjenguk anak Ketua MA Hatta Ali yang sedang dirawat di Rumah Sakit MRCCC Siloam, Semanggi. "(Pertemuan lainnya) Tapi dalam konteks undangan acara pernikahan putri saya, akikah dan ulang tahun cucu saya. Saya terakhir ke kediaman Pak Eddy untuk lamaran anaknya yang kedua di daerah Lippo Karawaci," terang Nurhadi.

Walau begitu, Nurhadi membantah pernah diminta bantuan oleh Eddy untuk mengurus perkara. Hanya saja, suatu waktu, Eddy sempat "curhat" dan berkeluh kepada Nurhadi mengenai perkara peninjauan kembali (PK) yang "tertahan" di pengadilan negeri. Ia mengaku tidak mengetahui detail perkara yang dikeluhkan Eddy.

Pasalnya, lanjut Nurhadi, ia hanya fokus pada aspek pelayanan publik yang dikeluhkan Eddy. Ia menganggap, meski Eddy adalah temannya, Eddy juga pencari keadilan. Jadi, ketika Eddy mengeluhkan ada perkara PK yang tertahan di pengadilan negeri, ia menindaklanjuti dengan menelepon Edy.

Nurhadi meminjam telepon sopirnya yang bernama Royani untuk menelepon Edy. Ia menelpon Edy untuk mengecek kebenaran keluhan Eddy. "Tapi, saya tidak spesifik mengetahui perkara apa. Sebab, saya tidak fokus pada perkaranya. Saya tidak punya pikiran untuk mengurus suatu perkara," ucapnya.

Saat ditanyakan, apakah perkara PK yang dimaksud adalah perkara niaga AcrossAsia Limited (AAL) melawan PT First Media Tbk, Nurhadi mengaku tidak tahu. Begitu pula ketika ditanyakan mengenai penundaan aanmaning perkara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor Co Ltd (PT Kymco).

Promotor
Selain sobekan dokumen, penuntut umum juga menunjukan sejumlah memo yang dibuat Wresti Kristian Hesti. Dalam memo itu tercantum "Yth Promotor" yang pada sidang beberapa waktu lalu diakui Hesti sebagai Nurhadi. Ada beberapa memo yang dibuat Hesti, antara lain terkait eksekusi sengketa tanah Paramount. (Baca Juga: Memo untuk “Sang Promotor” Benang Merah Nurhadi dan Lippo Group)

Ada pula memo yang berisi, permohonan penundaan aanmaning dan permintaan agar putusan The Singapore International Arbitration Centre (SIAC) Kymco agar tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel). Akan tetapi, Nurhadi membantah mengetahui memo-memo tersebut. Ia juga membantah mengenal Hesti.

"Saya tidak mengerti. Kalau promotor menurut pengetahuan saya adalah pembimbing untuk disertasi. Terlalu sering nama saya dicatut dan dijual. Saya tidak pernah ada sebutan promotor atau sebutan lain, baik itu dalam pergaulan saya di kedinasan, teman, maupun saudara. Nama saya dari dulu sampai sekarang Nurhadi, tidak ada lain," tuturnya.

"Saya sudah dikondisikan, difitnah luar biasa. Dibilang katanya besan saya adalah Taufiq (di sidang Andri Tristianto Sutrisna). Ini adalah bohong besar. Besan saya itu sudah meninggal 25 tahun yang lalu. Namanya bukan Taufiq, tapi Bambang Sulistyo. Kuburannya ada di Surabaya," imbuhnya.

Kemudian, terkait dengan Doddy, Nurhadi membantah pernah bertemu dan berkomunikasi langsung dengan Doddy. Ia hanya mengetahui jika Doddy merupakan staf dari Eddy Sindoro. Doddy memang pernah ke rumah Nurhadi, tetapi biasanya hanya bertemu ajudan dan asisten Nurhadi.

Mendengar kesaksian Nurhadi, Doddy tidak banyak berkomentar. Ia tidak menanggapi kesaksian Nurhadi karena tidak mengenal dan tidak pernah bertemu Nurhadi. Dalam perkara ini, Doddy didakwa menyuap Edy Nasution sejumlah Rp150 juta. Uang itu untuk pengurusan PK AAL dan penundaan aanmaning perkara Kymco. 
Tags:

Berita Terkait