SETARA Institute: Belasan Lembaga Negara ‘Membangkang’ Terhadap Putusan MK
Berita

SETARA Institute: Belasan Lembaga Negara ‘Membangkang’ Terhadap Putusan MK

Presiden dan DPR mesti memprakarsai suatu mekanisme yang memungkinkan putusan MK dapat segera dieksekusi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Konferensi pers SETARA Institute di Jakarta. Foto: NNP
Konferensi pers SETARA Institute di Jakarta. Foto: NNP
Bertepatan dengan peringatan Hari Konsitusi yang jatuh setiap tanggal 18 Agustus, lembaga kajian SETARA Institute merilis hasil riset atas putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rentang waktu 19 Agustus 2015 hingga 15 Agustus 2016. Total sebanyak 124 putusan atas 137 undang-undang yang diteliti. Hasilnya, ada salah satu poin menarik yakni mengenai aspek kepatutan lembaga negara terhadap putusan-putusan MK.

Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan bahwa tingkat disiplin para penyelenggara negara dalam mematuhi putusan MK masih rendah. Padahal, pembangkangan pada putusan MK merupakan bentuk pelembagaan ketidakadilan pada warga negara. Sebaliknya, ia melihat kepatuhan pada putusan MK menjadi kunci sukses penyelenggaraan negara yang berdasar dengan hukum.

“Dari 124 putusan itu ada putusan-putusan yang harus ditindaklanjuti,” ujar Ismail dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (18/8).

Temuan SETARA Institute, setidaknya ada 19 Putusan MK periode 2015-2016 yang mesti ditindaklanjuti oleh pemerintah atau DPR. Sebagian dari putusan tersebut memang telah ada yang dijalankan dan ditindaklanjuti akan tetapi masih jauh dari harapan. Bukti ketidakpatuhan itu diantaranya, masih berlakunya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diamanatkan Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Padahal, MK melalui Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sejak diputus tanggal 4 November 2015, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan pencabutan Keputusan Menteri tersebut. Faktanya, Keputusan Menteri tersebut masih berlaku. (Baca Juga: Penting!!! Peralihan Pekerja Lewat Penetapan Pengadilan)

Bukti ketidakpatuhan lainnya, yakni masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor. Padahal, MK lewat Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inkonstitusional. (Baca Juga: Bermodal Putusan MK, Pengusaha Alat Berat Tolak Pajak Kendaraan Bermotor)

Berdasarkan putusan MK tersebut, kendaraan khusus yang merupakan alat produksi bukan bagian dari kendaraan bermotor yang terdapat dalam pengertian UU LLAJ. Aturan untuk melakukan pengujian berkala kendaraaan bermotor untuk kendaraan khusus yang berfungsi alat produksi ternyata masih berlaku secara teknis. Fakta tersebut membuktikan satu hal, bahwa belum ada tindak lanjut dari pemerintah, untuk mencabut, atau merevisi Permen atau PP tersebut sejak putusan dibacakan pada 31 Maret 2016. (Baca Juga: Putusan Ini ‘Kado’ untuk Perjuangan Bang Buyung)

“Mestinya putusan-putusan tersebut ditindaklanjuti,” kata pengajar Hukum Tata Negara Ilmu Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Lebih lanjut, Ismail menyatakan bahwa ketidakpatuhan terhadap putusan MK bukan kali pertama. Sebelumnya, sejumlah lembaga negara juga melakukan pembangkangan (disobedience) atas putusan MK. Catatan SETARA Institute, diantaranya pembangkangan terhadap Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP oleh Mahkamah Agung (MA). MA seakan menyimpangi putusan tersebut dengan menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali. (Baca Juga: MA Kukuhkan PK Hanya Sekali)

Kemudian, pembentukan SKK Migas yang secara substansi menjalankan fungsi yang sama dengan BP Migas yang mana kedudukan BP Migas telah dinyatakan inkonstitusional lewat Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas. Bentuk ketidakpatuhan lainnya, yakni Putusan MK Nomor No. 92-PUU-X-2012 yang menjadikan DPD setara dengan Presiden dan DPR dalam tataran pengajuan dan pembahasan RUUyang ditentukan UUD. (Baca Juga: MK Tegaskan Kewenangan Legislasi DPD)

Namun, atas putusan tersebutPresiden dan DPR merevisi UU MD3 menjadi UU No. 17 Tahun 2014yang memungutkembalinorma yang telah inkonstitusional.Catatan terakhir, bentuk pembangkangan lainnya dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 terkait dengan konstitusionalitas peran LBH Kampus. Faktanya masih terdapat LBH Kampus dilarang berpraktik dengan alasan merujuk Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menyatakan bahwa isu kepatuhan terhadap putusan MK menjadi problem serius. Menurutnya, jika keadaan ini dibiarkan terus menerus nantinya akan berdampak terhadap tertundanya keadilan yang diputus MK lewat putusannya. Dalam rekomendasinya, SETARA Institute mendorong presiden dan DPR memprakarsai suatu mekanisme yang memungkinkan putusan MK dapat segera dieksekusi.

“Kami lihat Kemenkumham bisa membuat unit kerja khusus atau di Baleg DPR untuk pastikan putusan MK terus menerus,” usulnya.

Selain itu, ia juga mendorong lembaga negara dan pemerintah untuk memperhatikan putusan MK yang menuntut perubahan kebijakan di masing-masing sesuai kewenangannya. Hal itu, lanjutnya sebagai bentuk kepatuhan terhadap putusan MK. “Ini agar bisa lakukan harmonisasi kebijakan dengan putusan MK,” katanya.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang Harus Ditindaklanjuti
No.PutusanUndang-UndangNormaBentuk Amar KabulBentuk KepatuhanInstitusi
1. 7/PUU-XII/2014 UU 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan
Pasal 59 ayat (7), 65 ayat (8), 66 ayat (4)
Perubahan PKWT menjadi PKWTT
Inkonstitusional bersyarat Perubahan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Terkait Ketenaga-kerjaan Pemerintah dan DPR (ketika melaku-kan revisi uu), Presiden, menteri terkait
2. 58/PUU-XII/2014
UU 30/2009 tentang Ketenagalis-trikan Hilangnya sanksi pidana dalam pelangga-raan pemasang-an instalasi listik non-SLO Inkonstitusi-onal bersyarat Pemben-tuk UU
3. 76/PUU-XII/2014 UU 17/2014 tentang MD3 Izin tertulis dari MKD berubah menjadi izin tertulis dari Presiden untuk penyidikan anggota DPR Inkonstitusional Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap anggota DPR meminta izin Presiden Penyidik (langsung menjalankan putusan) dan Pemben-tuk uu saat merevisi UU.
4. 79/PUU-XII/2014 UU 17/2014 tentang MD3 Kewenang-an DPD dalam membahas UU dan kemandi-rian anggaran Inkonstitusi-onal bersyarat Mengubah Tatib DPR Perubahan skema kerja DPD
Pemben-tuk UU dalam merevisi UU MD3
5. 112/PUU-XII/2014 UU 18/2003 tentang Advokad Sumpah Advokat Inkonstitusi-onal bersyarat Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat
Pengadil-an Negeri dan Pemben-tuk UU dalam merevisi UU
6. 3/PUU-XIII/2015 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kategori-sasi kendaraan bermotor Inkonstitusi-onal Kepolisian Kemen-terian Perhu-bungan dan Pemben-tuk UU saat merevisi UU
7. 7/PUU-XIII/2015 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Penetapan jumlah kursi DPRD pada daerah baru dibentuk Inkonstitusional bersyarat KPU
8. 8/PUU-XIII/2015 UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 124 ayat (2): "dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 2 tahun pns yang bersangkutan diberhentikan secara hormat". Inkonstitusional bersyarat Revisi uu Seluruh instansi pemerintahan
9. 21/PUU-XIII/2015 UU 20/2011 tentang Rumah Susun Pelaku Pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat 1 tahun tanpa dikaitkan dengan terjualnya sarusun Konstitusional bersyarat Revisi UU, membentuk PP. Pembentuk UU dan Presiden (untuk pembentukan PP)
10. 31/PUU-XIII/2015 KUHP
Penghinaan pada pejabat negara menjadi delik aduan Inkonstitusional Revisi UU Pembentuk UU (revisi) dan Kepolisian
11. 36/PUU-XIII/2015 UU 18/2003 tentang Advokad
Sumpah jabatan advokat Inkonstitusional bersyarat Revisi uu dan melakukan sumpah jabatan advokat tanpa mengaitkan dengan organisasi advokat Pengadilan Negeri dan pembentuk UU dalam melakukan revisi
12. 43/PUU-XIII/2015
UU Peradilan Umum, PTUN, PA Seleksi hakim tanpa keterlibatan KY Inkonstitusional Revisi UU, Peraturan Teknis Seleksi Hakim (revisi) Pembentuk UU, MA, KY
13. 60/PUU-XIII/2015
UU Pilkada Bilangan pembagi syarat calon independen menjadi eligible voters Inkonstitusional bersyarat Revisi UU dan PKPU KPU dan Pembentuk UU
14. 68/PUU-XIII/2015
UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Anjuran dalam mediasi dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi Inkonstitusional bersyarat Revisi UU Mediator, Konsiliator dan Pembentuk UU
15. 100/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Calon tunggal Inkonstitusional bersyarat Revisi UU dan PKPU KPU dan pembentuk UU
16. 105/PUU-XIII/2015 UU Pilkada Makna hari dalam menjadi hari kerja Inkonstitusional bersyarat Revisi uu MK dan Pembentuk UU dalam revisi
17. 107/PUU-XII/2015
UU 5/2010 tentang Perubahan Atas UU 22/2002 tentang Grasi
Hilangnya batas waktu pengajuan grasi Inkonstitusional Revisi uu Kejaksaan dan Pembentuk UU dalam revisi
18. 6/PUU-XIV/2016
UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak
Tidak ada periodisasi masa jabatan hakim pajak dan usia pension menjadi 67 tahun Inkonstitusional bersyarat Revisi UU Pembentuk UU dalam revidi dan Kementerian Keuangan
19. 33/PUU-XIV/2016
UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana
Penegasan objek PK Inkonstitusional bersyarat Kejaksaan
Sumber: Riset SETARA Institute (2016)

Diserahkan pada Public Trust
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah mengatakan selama ini setiap putusan MK cukup dipatuhi semua pemangku kepentingan. Hanya saja, ada beberapa putusan yang terkadang tidak dipatuhi oleh sebagian kecil elemen masyarakat. “Secara umum sebetulnya putusan MK sudah dipatuhi oleh masyarakat dan lembaga terkait. Kalau ada satu atau dua putusan yang tidak dilaksanakan, saya kira ini tantangan tersendiri ke depannya,” kata Guntur.

Lebih lanjut, ia beralasan tidak dilaksanakan putusan MK ini bisa dimaklumi karena MK tidak memiliki lembaga eskekutor yang bisa mengawasi pelaksanaan putusan MK. Meski begitu, kata dia, tidak adanya lembaga eksekutor dalam pelaksanaan putusan MK bukanlah persoalan krusial. Sebab, apabila hal ini dijadikan alasan utama justru akan semakin membuat masyarakat atau lembaga negara tidak patuh terhadap putusan MK.

“Toh, tanpa lembaga eksekutor pun setiap putusan MK umumnya ditaati/dipatuhi masyarakat. Soalnya, kepatuhan atas putusan MK diserahkan pada respect masyarakat. Semakin respect, dengan sendirinya (otomatis) putusan MK semakin dipatuhi masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, praktik kepatuhan putusan MK di negara-negara lain pun sama yakni efektivitasnya pelaksanaan putusan MK diserahkan pada public trust. Selama ini pelaksanaan putusan MK biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti materi perubahan Undang-Undang dan jenis peraturan lain, atau bahkan bentuk tindakan yang sifatnya segera dan ditindaklanjuti lembaga terkait.

“Salah satunya, putusan MK terkait pengujian UU Pilkada kan dipatuhi dalam bentuk perubahan UU Pilkada terbaru (UU No. 10 Tahun 2016). Jadi, putusan MK sering dijadikan acuan perubahan UU,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait