Putusan MK: Mantan Napi Boleh Menjadi Calon Gubernur Aceh
Berita

Putusan MK: Mantan Napi Boleh Menjadi Calon Gubernur Aceh

Pemohon berniat mencalonkan diri.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto. RES
Gedung MK. Foto. RES
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, yang mempersoalkan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU No. 11 Tahun 2006  tentang Pemerintahan Aceh. Dalam putusannya, Mahkamah memberi penegasan, larangan mantan narapidana ikut pemilihan kepala daerah di provinsi Aceh dimaknai bersyarat sepanjang mengumumkan ke publik seperti berlaku di provinsi lain.

“Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ucap ketua majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 51/PUU-XIV/2016 di Gedung MK, Selasa (23/8).

Abdullah Puteh berniat mencalonkan diri sebagai calon gubernur Aceh periode 2017-2022. Namun, Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Acehmenjadi penghalang lantaran seolah melarang mantan narapidana ikut pemilihan kepala daerah di Aceh.Dengan berkal putusan MK ini, pendaftaran pencalonan Abdullah Puteh di laga Pilgub Aceh 2017 dipastikan bakal mulus.

Puteh pernah dipenjara gara-gara terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Ia pernah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Ia kini sudah bebas. Tetapi status bekas narapidana membuat Puteh merasa tak bebas masuk panggung politik khususnya pemilihan gubernur Aceh.

Dalam putusannya, Mahkamah kembali mengutip putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 terkait pengujian Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang memuat syarattidak pernah dijatuhipidana penjara untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah tersebut. Hal inisama dengan syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah seperti ditentukan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh.

“Meskipun UU yang diuji dalam Putusan No. 42/PUU-XIII/2015 berbeda dengan permohonan ini. Namun, yang diuji substansinya sama, maka pertimbangan hukum dalam Putusan No. 42/PUU-XIII/2015  tersebut dengan sendirinya menjadi pertimbangan putusan ini,”  ucap hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan putusan.

Atas dasar itu, dalil Pemohon mengenai Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana, beralasan menurut hukum. “Dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.”

Usai persidangan, kuasa hukum Pemohon, Supriyadi Hadi mengatakan dengan putusan ini semua aturan pilkada terkait syarat mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah berlaku sama untuk semua provinsi. “Kemarin, Pemohon mendaftarkan diri sebagai cagub Aceh dari jalur independen, tinggal tahap verifikasi saja. Adanya putusan ini, pencalonan Pemohon akan semakin kuat,” kata Supriyadi di Gedung MK.

Untuk diketahui, implementasi putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 ini ditindaklanjuti dengan Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015. Peraturan tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota ini mengatur syarat.

Pertama, terbuka dan jujur kepada publik sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan berulang. Kedua, bagi calon yang pernah berstatus terpidana yang tidak  bersedia terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, syarat yang harus dipenuhi adalah telah selesai menjalani pidana penjara paling singkat 5 tahun sebelum dimulainya jadwal pendaftaran.
Tags:

Berita Terkait