Pengakuan LGBT Tergantung Nilai Partikular Negara
Berita

Pengakuan LGBT Tergantung Nilai Partikular Negara

Norma kesusilaan dalam Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP tak sesuai dengan nilai-nilai partikular bangsa Indonesia.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli di ruang sidang MK saat pengujian pasal perzinaan dalam KUHP beberapa waktu lalu. Foto: MK
Ahli di ruang sidang MK saat pengujian pasal perzinaan dalam KUHP beberapa waktu lalu. Foto: MK
Para Pemohon, 12 warga negara yang dimotori Guru Besar IPB, Prof Euis Sunarti antusias mengawal proses sidang pengujian pasal permukahan (zina), pemerkosaan, dan homoseksual (pencabulan) dalam KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menginginkan agar MK ‘meluruskan’ makna larangan perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual (hubungan sesama jenis) sesuai Pancasila, konsep HAM dalam UUD 1945, dan nilai agama.

Apalagi, saat ini para pemohon khawatir kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) mulai merasuki generasi muda Indonesia. Padahal perbuatan homoseksual sepanjang memenuhi kualifikasi pencabulan bisa dipidanakan.

Memasuki sidang keenam, Selasa (23/8) kemarin, para pemohon masih menghadirkan ahli guna memperkuat dalil permohonan. Majelis mendengar keterangan dosen Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Atip Latipulhayat, dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh.

Dikutip dari risalah MK, Atip berpendapat pengakuan hukum LGBT, termasuk pengakuan atas perkawinan sejenis sepenuhnya keputusan masing-masing negara. Sebab, praktik terhadap pengakuan kaum LGBT di Eropa yang umumnya menganut HAM universal absolut saja masih beragam. Bahkan, Mahkamah HAM Eropa hingga kini belum pernah memberi kepastian hak atas perkawinan sejenis itu sebagai hak universal.

“Ketika suatu negara memberi hak atas perkawinansejenis pada kaum LGBT, bukan berarti penerapannya harussama di semua negara di dunia,” ujar Atip, seperti disebut dalam persidangan.

Lalu bagaimana klaim para universalis bahwa kebebasan memilih pasangan itu adalah hak fundamental? Sebab, bagi para penganut universalis HAM absolut, nilai-nilai partikular bukan saja menghambat pelaksanaan HAM, tapi dianggap tidak ada sama sekali yang namanya nilai-nilai partikular baik bersumber dari ajaran agama, kearifan, dan nilai-nilai fundamental suatu bangsa.

Menurut Atip, nilai HAMuniversal absolut dalam konteks ini hanya sebagai hak menikah untuk membentuk keluarga dan meneruskan keturunan. Hak menikah adalah hak semua orang laki-laki dan perempuan, tetapi bukan berarti hak tersebut memberi definisi bahwa laki-laki dapat menikah dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.

“Hukum perkawinan suatu negara yang satu tentu berbeda dengan negara lain, biasanya sesuai kehidupan sosial, budaya, dan agama setempat. Inilah yang disebut partikularisme HAM dalam praktik,” lanjutnya.

Dia mengutip pendapat Menteri Luar Negeri Singapura, Shunmugam Jayakumar yang mengingatkan pengakuan HAM universal itu berbahaya apabila kaum universalis menggunakan pengakuan tersebut untuk meniadakan realitas keberagaman HAM. Bagi Shunmugam, HAM itu universal particular, bukan universal absolut. HAM justru harus menjadi penengah di antara keberagaman atau perbedaan tersebut.

“Praktik HAM di Eropa yang sering dianggap kiblat perlindungan HAM yang mengklaim universal absolut justru memperlihatkan perkembangan sebaliknya yang lebih memahami dan menyadari arti penting nilai-nilai partikular dalam HAM.”

Atip juga mengutip pandangan Willem van Genugten. Guru Besar Hukum Internasional Tilburg University yang juga Presiden Internasional Law Association di Eropa dalam sebuah diskusi pada Agustus 2015  berpendapat saat ini tidak mungkin dapat menerapkan prinsip-prinsip HAM secara top-down dengan dalih universalisme HAM, tapi harus bottom-up dengan mempertimbangkan nilai-nilai particular di masing-masing negara. “Pernyataan Prof Genugten dalam banyak hal terkonfirmasi dengan melihat praktik HAM di Eropa,” kata dia.

“Dalam konteks Indonesia tentu akan menolak klaim universalitas HAM karena bertentangan dengan Pasal 28J UUD 1945 yang membatasi pelaksanaan kebebasan yang lahir dari HAM. Dengan begitu, norma kesusilaan dalam Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP bertentangan dengan nilai-nilai partikular bangsa Indonesia baik yang bersumber dari Pancasila, UUD 1945, ataupun ajaran agama yang dianut di Indonesia,” katanya.

Kasus Schalk-Kopf
Dalam kesempatan ini, dia mencontohkan satu putusan yang diadili Mahkamah HAM Eropa yakni kasus Schalk and Kopf vs Austria. Schalk and Kopf adalah pasangan sesama jenis di Austria yang menuntut perkawinannya diakui secara hukum di Negara Austria. Mereka menilai Pemerintah Austria gagal memberikan perkawinan sejenis dan telah melanggar Pasal 12 Konvensi HAM Eropa yang berbunyi, “Men and Women of marriageable age has the rights to marry and found the family recording to the national laws governing the exercise of this rights.”

Namun, Mahkamah HAM Eropa, dalam putusannya menolak tuntutan Schalk and Kopf dengan menerapkan white margin of appreciaton. Pertimbangan Mahkamah, Austria dan masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai Kristiani yang melarang perkawinan sejenis. Berbeda kasus perkawinan sejenis yang diajukan Warga Negara Belanda saat Belanda belum memberikan legalitas perkawinan sejenis.

“Mahkamah selalu memenangkan tuntutan penuntut dan menyatakan Pemerintah Belanda telah melanggar Pasal 12 Konvensi HAM Eropa. Alasan Mahkamah, praktiknya Pemerintah Belanda dan masyarakatnya telah menerima dengan baik mereka yang memutuskan hidup sebagai pasangan sesama jenis,” ungkapnya.

Menurut dia, pasangan sesama jenis di Belanda cukup tinggi dibandingkan negara Eropa lain. Karena itu, wajar ketika ada permintaan warga negaranya agar perkawinan sesama jenis diakui dalam hukum Belanda, Mahkamah pun mendukung dan memutuskan kalau Pemerintah Belanda harus mengakui perkawinan sesama jenis tersebut. Pada akhirnya Pemerintah Belanda resmi memberi pengakuan terhadap perkawinan sesama jenis.
Tags: