Menyedihkan! Ada Buruh Garmen Digaji di Bawah UMP
Berita

Menyedihkan! Ada Buruh Garmen Digaji di Bawah UMP

Hasil kajian LBH Jakarta terhadap buruh garmen di Jakarta dan Tangerang.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Buruh garmen memperjuangkan nasib di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Buruh garmen memperjuangkan nasib di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Garmen adalah sektor yang banyak menyumbang tenaga kerja di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik per Agustus 2015 menyebutkan jumlah buruh yang bekerja pada industri garmen mencapai 15 juta orang. Sayangnya, tak semua pekerja di bisnis garmen dibayar sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).

Hasil kajian terbaru LBH Jakarta yang dilansir pekan ini menunjukkan 74 persen buruh garmen di Jakarta dan Tangerang dibayar dengan gaji di bawah UMP. Pembayaran gaji di bawah UMP itu, ironisnya, tanpa didahului permohonan penangguhan upah sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, Kepmenakertrans No. KEP-231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Upah.

“74 persen buruh garmen digaji di bawah UMP. Ini membuktikan kondisi buruh garmen di Indonesia khususnya Jakarta dan Tangerang belum hidup sejahtera,” kata peneliti LBH, Oky Wiratama  Siagian dalam peluncuran buku ‘Potret PHK Massal Buruh Garmen’ di Jakarta, Kamis (25/08).

Ditegaskan Oky, hasil penelitian LBH Jakarta juga menunjukjan mayoritas buruh garmen didominasi kaum perempuan. Selain persoalan upah minimum, hak normatif yang kerap dilanggar pengusaha seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Alih-alih mendapat hak cuti, Oky menemukan ada buruh perempuan yang dipecat karena hamil dan melahirkan.

Sepanjang periode Januari 2015-Januari 2016  ada 10.043 buruh garmen di Jakarta dan Tangerang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasannya beragam, mulai dari kontrak kerja berakhir dan tidak sanggup membayar upah minimum hingga pindah ke daerah lain dan perusahaan pailit.

Peneliti Akatiga, Indrasari Chandraningsih, berpendapat industri garmen penting bagi Indonesia karena strategis. Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia per Oktober 2015 memperlihatkan sektor tersebut bisa menyerap 2,7 juta tenaga kerja. Dari seluruh tenaga kerja yang bekerja pada industri manufaktur di Indonesia, 15,1 persen pekerja diantaranya berada di sektor garmen.

Perempuan yang disapa Asih itu melanjutkan, industri garmen yang berlokasi di Jakarta dan sekitarnya tergolong skala menengah dan besar. Produk-produk yang dihasilkan di ekspor ke luar negeri seperti Amerika Serikat (AS). “Dari hasil penelitian kami, industri garmen di Indonesia tidak ada matinya, tapi juga tidak pernah menjadi industri garmen yang hebat,” ujarnya.

Upah yang diterima buruh garmen menurut Asih tidak bisa tinggi karena industri itu tidak membutuhkan buruh jebolan pendidikan tinggi. Biasanya yang dibutuhkan hanya lulusan SMP dan diberi pelatihan menjahit. Tapi bukan berarti produk yang dihasilkan kualitasnya rendah. Ekspor ke berbagai negara itu membuktikan kualitas produk yang dihasilkan berkualitas baik. “Kebijakan pemerintah yang membuat produksi garmen stagnan,” katanya.

Menurut Asih, industri garmen sulit mendapat tenaga terampil di Indonesia. Ada perusahaan garmen yang membentuk pusat pelatihan sebagai bentuk investasi. Itu membuat perusahaan tersebut tidak mau membayar buruh dengan upah tinggi. Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki pemerintah sampai saat ini belum bisa menghasilkan tenaga kerja terampil yang memenuhi kebutuhan industri.

Rendahnya upah buruh garmen menurut Asih juga disebabkan oleh mekanisme kerja kontrak dan outsourcing. Pabrik garmen sekarang lebih suka merekrut tenaga kerja yang disiapkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja atau dikenal outsourcing. Biasanya, terjadi pemotongan upah buruh. “Ini kebijakan pemerintah, membolehkan perusahaan untuk merekrut buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja,” imbuhnya.

Kasi Pengawasan Norma Hubungan Kerja Direktorat Pengawasan Norma Kerja dan Jamsostek Kementerian Ketenagakerjaan, Erikson Sinambela, menemukan banyak perusahaan garmen yang melakukan penyelundupan hukum ketenagakerjaan. Diantaranya perusahaan modal asing seperti Korea Selatan.

Persoalan hukum ketenagakerjaan yang sering muncul di perusahaan garmen seperti penerapan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang tidak sesuai aturan. Misalnya, buruh yang statusnya kontrak mengerjakan pekerjaan inti. Jika menemukan pelanggaran, Erikson mengatakan petugas pengawas tidak segan menerbitkan nota pemeriksaan.

Erikson mengaku pernah menerbitkan nota yang isinya menyatakan status pekerja beralih dari kontrak menjadi tetap karena perusahaan melanggar aturan. “Di perusahaan garmen kita selalu menemukan ada penyelundupan hukum ketenagakerjaan seperti kontrak kerja yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Kemudian kami sebagai pengawas menerbitkan nota pemeriksaan sampai nota penegasan,” paparnya.

Divisi Hubungan Internasional, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Simon, mengatakan produk garmen yang dihasilkan buruh Indonesia bisa bersaing di pasar internasional. Dibandingkan dengan produk garmen sejenis dari negara tetangga, harga jualnya masih lebih mahal produk buatan Indonesia. “Jersey bola buatan Indonesia di pasaran lebih mahal ketimbang buatan Thailand dan Taiwan,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait