Tuntaskan Masalah Papua, Pendekatan Dialogis Diperlukan
Berita

Tuntaskan Masalah Papua, Pendekatan Dialogis Diperlukan

Persoalan di Papua harus diselesaikan secara komprehensif.

Oleh:
Ady Thea Dian Ahmad
Bacaan 2 Menit
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Adriana Elisabeth. Foto: lipi.go.id
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Adriana Elisabeth. Foto: lipi.go.id
Selama ini, Papua dikenal sebagai salah satu daerah yang rawan konflik. Sejumlah kasus terindikasi pelanggaran HAM, bahkan bobotnya berat seperti peristiwa Wasior-Wamena, yang masuk salah satu dari 7 pelanggaran HAM berat yang sudah diselediki Komnas HAM.

Dalam laporan keempat Koalisi Internasional untuk Papua (ICP), pada periode April 2013-Januari 2015, tercatat 22 orang jadi korban pembunuhan di luar hukum di Papua. Dari 22 korban itu 4 diantaranya korban dalam peristiwa di Paniai. Komnas HAM telah melakukan investigasi untuk ungkap dugaan pelanggaran HAM dalam kasus Paniai.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Adriana Elisabeth, mengatakan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sampai saat ini belum bisa diselesaikan pemerintah secara tuntas. Ketika kasusnya ramai dibicarakan masyarakat internasional, pemerintah sibuk mencari informasi untuk melakukan klarifikasi.

Kebijakan yang diterbitkan pemerintah untuk menyelsaikan persoalan di Papua menurut Adriana belum bisa terimplementasi dengan baik. “Ujungnya, pemerintah dinilai belum mampu menuntaskan masalah HAM di Papua,” katanya dalam peluncuran laporan keempat ICP di LBH Jakarta, Jumat (26/08).

Sebagai lembaga pemerintah, LIPI bertugas menyusun konsep akademik untuk digunakan pemerintah sebagai pertimbangan dalam menerbitkan kebijakan. Untuk Papua, Adriana mengatakan ada 11 rekomendasi LIPI kepada pemerintah. Dari 11 rekomendasi itu hanya 2 yang diadopsi pemerintah yaitu membebaskan tapol dan napol di Papua serta membuka akses jurnalis ke Papua.

Penelitian LIPI menunjukan persoalan di Papua menumpuk dan sulit diurai. Sehingga untuk membedakan mana masalah politik, ekonomi dan budaya sangat sukar. Apalagi persoalan HAM karena sudah banyak korban yang berjatuhan di Papua.

“Ada tumpukan persoalan di Papua, diantaranya HAM. LIPI mengusulkan (kepada pemerintah) pendekatan kepada Papua dilakukan secara dialogis, jangan represif,” ujar Adriana. (Baca Juga: Komnas HAM Sikapi Tindakan Terhadap Mahasiswa Papua)

Adriana mengatakan saat bertemu dengan Menkopolhukam yang ketika itu dijabat Luhut Binsar Panjaitan, dia sudah menyampaikan usulan LIPI untuk Papua. Intinya seluruh isu HAM yang ada di Papua baik menyangkut hak sipil dan politik serta sosial budaya harus diselesaikan secara komprehensif. LIPI juga memberikan timeline sampai 2019 yang ujungnya rekonsiliasi.

Untuk Menkopolhukam yang sekarang dijabat Wiranto, Adriana kurang yakin dengan penyelesaian HAM di Papua. Pasalnya, mantan Pangab di era Soeharto itu punya catatan soal HAM. Bulan depan rencananya LIPI akan menyampaikan hasil penelitian tentang Papua. Beberapa isinya merekomendasikan pemerintah menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Papua dan menata aparat yang bertugas di Papua termasuk intelijen.

Peneliti Elsam, Budi Hernawan, menyoroti soal akuntabilitas kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk Papua. Serta akuntabilitas sektor keamanan dan intelijen. Dia melihat ada celah sehingga akuntabilitas lembaga pemerintahan tidak optimal. Misalnya, penyerapan anggaran digunakan sebagai ukuran keberhasilan birokrasi. “Baik pemerintah pusat, daerah, sektor keamanan dan intelijen harus akuntabel,” tukasnya.

UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua menurut Budi memberi banyak kewenangan pemerintah daerah tingkat provinsi untuk membangun Papua. Namun, banyak kewenangan pemerintah daerah itu yang tidak berjalan.

Misalnya, penunjukkan Kapolda Papua harus melalui persetujuan Gubernur. Budi melihat selama ini Gubernur tidak pernah dilibatkan dalam penunjukan Kapolda Papua. Begitu pula dengan penempatan pasukan keamanan, harus melalui mekanisme konsultasi dengan Gubernur.

Tak ketinggalan Budi mengatakan jika pemerintah serius menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua, pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk. Presiden bisa memerintahkan Jaksa Agung untuk menunjuk JPU guna menyidik pelanggaran HAM berat dan meminta DPR untuk mengangkat hakim pengadilan HAM ad hoc.
Tags:

Berita Terkait