Komnas Perempuan-ICJR Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan
Berita

Komnas Perempuan-ICJR Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan

Pihak Terkait anggap Pemohon tidak memahami dasar pembentukan pasal-pasal yang dimohonkan uji.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Komnas Perempuan-ICJR Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan
Hukumonline
Komnas Perempuan dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menolak tegas perluasan pasal kesusilaan dalam KUHP yang tengah diperjuangkan 12 warga negara yang dimotori Guru Besar IPB Euis Sunarti. Mereka beralasan perluasan pasal kesusilaan potensial justru mengancam pasangan perkawinan dan perlindungan anak yang terpapar aktivitas seksual yang berakibat over kriminalisasi dan melanggar HAM.

Pandangan ini disampaikan dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (pemerkosaan), dan Pasal 292 (pencabulan homoseksual) dalam KUHP di Gedung MK. Sebagai pihak terkait, kedua lembaga ini sepakat agar MK tidak mengabulkan permohonan yang hendak memperluas pasal-pasal tindak pidana kesusilaan tersebut. “Menyatakan pengujian Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Azriana di ruang sidang MK, Selasa (30/8).

Dia menilai perluasan perzinaan yang tak terbatas hubungan perkawinan yang sah potensial mengkriminalisasi pasangan perkawinan yang dianggap tidak sah oleh negara, seperti penganut penghayat kepercayaan dan kriminalisasi korban perkosaan dan pencabulan didasari suka sama suka yang umumnya dialami anak remaja. “Kalau pasal ini diperluas, ini akan mengantarkan anak-anak remaja kita ke penjara,” kata Azriana.

Komnas Perempuan memandang perluasan cakupan zina mengancam perlindungan normatif anak karena potensial dikriminalkan lantaran terpapar aktivitas seksual alias seks bebas di kalangan remaja. Dia melihat peningkatan jumlah anak terpapar seks lebih pada gejala kegagalan sistemik pendidikan nasional. Kegagalan ini seharusnya jangan ditimpakan ke anak, tetapi menjadi tanggung jawab orang dewasa, khususnya pendidik dan pemuka agama.

Menurutnya, mengubah perzinaan dari delik aduan menjadi delik biasa justru bertentangan dengan tujuan menjaga lembaga perkawinan dan ketahanan keluarga. Sebab, tak jarang perempuan tidak melaporkan zina yang dilakukan suaminya guna mempertahankan keutuhan rumah tangganya atau tidak mau anak-anaknya mengetahui tindakan ayahnya. Apalagi, menanggung stigma sebagai anak narapidana akibat perbuatan zina ayahnya.

“Mencampuradukan zina dan prostitusi menunjukan ketidakpahaman akut Pemohon pada persoalan kekerasan seksual (pemerkosaan). Padahal, tindak pidana prostitusi sudah diatur Pasal 295, 296, 297 KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” kritiknya.

Hal senada disampaikan ICJR yang menilai Pemohon tidak memahami dasar pembentukan ketiga pasal tersebut. Padahal, Pasal 284 KUHP justru untuk melindungi lembaga perkawinan yang sah. “Makanya, negara bisa mempidanakan zina sebagai delik aduan ketika mereka melanggar ikatan perkawinan karena tidak ditemukan rasio legis apabila negara masuk terlalu jauh mencampuri urusan keluarga warga negara,” kata Kuasa Hukum ICJR Erasmus Napitupulu dalam persidangan.

Pemohon juga tidak memahami dasar pembentukan Pasal 292 KUHP yang memang khusus diperuntukkan melindungi anak dari perbuatan cabul sesama jenis. Dia meminta Pemohon menengok kembali redaksi Pasal 289 KUHP yang sebetulnya telah melindungi orang dewasa dari pencabulan baik sesama jenis maupun berlainan jenis kelamin. “Klausul ‘anak’ dalam Pasal 292 bentuk perlindungan anak dalam segala keadaan karena anak tidak dapat memberikan ‘persetujuan’ dalam konteks pencabulan,” dalihnya.

Menurutnya, apabila permohonan ini dikabulkan dengan memperluas tindak pidana kesusilaan potensial over kriminalisasi yakni tingginya angka penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Hal ini berimbas langsung pada kewajiban negara terkait kebijakan penal, memperbanyak fasilitas dalam proses peradilan dan lembaga pemasyarakatan.

“Lagipula, nantinya negara akan masuk terlalu jauh mengontrol hak sangat privasi warga negara. Hal ini justru mengingkari kedudukan hukum pidana sebagai upaya terakhir menyelesaikan persoalan hukum (ultimum remedium).”

Seperti diketahui, MK pengujian Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan Guru Besar IPB Bogor, Euis Sunarti, dkk. Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex). Sebab, secara a contrario  Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender, LGBT).
Tags:

Berita Terkait