Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi Automatic Exchange of Information
Fokus

Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi Automatic Exchange of Information

Indonesia percaya,transparansi keuangan melalui AEoI akan bermanfaat dalam mengatasi arus keuangan terlarang yang telah menghasilkan kerugian bagi negara-negara berkembang selama bertahun-tahun.

Oleh:
Fathan Qorib/ANT
Bacaan 2 Menit
Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi <i>Automatic Exchange of Information</i>
Hukumonline
Saat menjadi pembicara utama pada sesi kedua KTT G20 di Hangzhou International Expo Center, Tiongkok, Senin (5/9), Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin mempertegas keteguhan Indonesia untuk mendukung penerapan kebijakan pertukaran informasi keuangan antarnegara demi kepentingan perpajakan.

Cara ini dipercaya dapat meningkatkan pendapatan negara-negara berkembang di tengah pelambatan ekonomi global. Selain itu, kepada sejumlah negara anggota G20, Indonesia juga mengimbau setiap negara untuk tidak membuat kebijakan yang merugikan negara lain.

"Mengingat perlambatan ekonomi global, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan pendapatan pajak kita dalam menjaga iklim bisnis dan investasi. Hal ini membutuhkan sistem perpajakan internasional yang adil dan transparan," ujar Jokowi.

Menurut Jokowi, kebutuhan akan kerja sama internasional dalam sistem perpajakan tersebut berguna untuk menghindari adanya penghindaran pajak dan mendorong kebijakan pajak yang kondusif di masing-masing negara anggota.Iapercaya bahwa sistem tersebut pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan bagi negara-negara berkembang. Indonesia pun telah menerapkan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Oleh karena itu, Indonesia mendukung kerja sama dan koordinasi antar negara-negara anggota G20 guna mewujudkan hal tersebut. Bentuk dukungan kerja sama yang dimaksud Presiden adalah implementasi dari Automatic Exchange of Information (AEoI) atau yang biasa disebut dengan keterbukaan informasi untuk kepentingan perpajakan.

"Saya percaya, transparansi keuangan melalui AEoI akan bermanfaat dalam mengatasi arus keuangan terlarang yang telah menghasilkan kerugian bagi negara-negara berkembang selama bertahun-tahun," imbuhnya.

Di hadapan para pemimpin negara anggota G-20, sejalan dengan upaya mereformasi sistem perpajakan, Presiden juga mendorong untuk dilakukannya kerja sama terhadap pemberantasan korupsi. Indonesia dapat dijadikan contoh utama dari negara yang proaktif memerangi perilaku korupsi.

Terkait dengan perpajakan, Indonesia berupaya meningkatkan kondisi perekonomian dengan cara mereformasi sistem perpajakan dan juga menerapkan paket kebijakan ekonomi yang terkait dengan insentif perpajakan bagi para investor guna mencegah pajak berganda.

"Bila reformasi perpajakan ini berhasil, negara lain dapat mengikutinya. Namun bila gagal, hal tersebut akan berdampak pada negara-negara G20 dan juga lainnya," katanya.

Rencana Indonesia untuk berperan aktif dalam AEoI telah nyata. Salah satunya, dengan mengikis hambatan dari sektor regulasi. Misalnya dengan merevisi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kedua UU ini pernah disebut Bambang Brodjonegoro saat masih menjabat Menteri Keuangan sebagai UU penghambat implementasi AEoI. (Baca Juga: Implementasi Tax Amnesty Terbentur UU Perbankan dan UU Perpajakan)

Ambil contoh misalnya tentang kerahasiaan perbankan, Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan mengatur bahwa bank wajib merahasiakan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya. Meski diterapkan dengan catatan, maksudnya untuk kepentingan tertentu, salah satunya kepentingan perpajakan dan pemeriksaan di pengadilan, bank diperbolehkan membuka data nasabahnya, tetap bisa menghambat implementasi AEoI.

Setali tiga uang, Wakil Ketua Komisi XI DPR Soepriyanto mengatakan, salah satu klausul yang direvisi dalam UU Perbankan mengenai penghapusan prinsip kerahasiaan perbankan (bank sekresi) dalam rangka menyambut era AEoI yang dimulai tahun 2018 mendatang. Bahkan ia menegaskan, bukan hanya dua UU itu saja yang akan direvisi, UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah juga akan direvisi untuk menunjang pelaksanaan AEoI turut akan direvisi.

Senada dengan Presiden Jokowi, Soepriyanto mengatakan, pelaksanaan AEoI ini sangat terikat dengan peran dari negara-negara lain. Alasannya, dalam implementasi AEoI prinsip resiprokal atau perlakuan yang sama dengan negara lain menjadi satu kesatuan yang utuh. Untuk itu, ketika perbankan negara lain membuka data nasabahnya di Indonesia, maka hal yang sama juga wajib dilakukan perbankan Indonesia untuk membuka data nasabahnya demi keperluan negara lain.  (Baca Juga: RUU Perbankan Harus Usung Asas Resiprokal)

Jika benar keseriusan pemerintah dalam implementasi AEoI ini terjaga, maka revisi UU menjadi hal penting dilakukan. Setidaknya, UU yang dianggap sebagai penghambat implementasi AEoI bisa merampungkan revisi sebelum tahun 2018. Namun, keinginan ini tidak bisa serta merta dilakukan tanpa ada diskusi antar pembuat UU. Masukan dari stakeholder juga menjadi hal penting agar tujuan pemerintah bisa terwujud.

Dimintai tanggapannya, Deputi Direktur Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis OJK, Aslan Lubis menegaskan bahwa prinsip kerahasiaan perbankan mutlak dijaga. Ia menjelaskan bahwa praktek perbankan yang diterapkan di Indonesia juga mengacu kepada international best practice dimana hingga saat ini tidak ada satupun negara di dunia yang ‘menelanjangi’ kerahasiaan perbankan.

“Tidak satupun bank di dunia ini yang kerahasiaannya dicabut,” ujarnya usai memberikan pelatihan kepada wartawan di Malang, Jawa Timur. (Baca Juga: Kata OJK Soal Rencana Penghapusan Prinsip Kerahasiaan Perbankan)

AEoI sendiri merupakan sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening wajib pajak antarnegara. Lewat sistem tersebut, wajib pajak yang membuka rekening di negara lain akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal. Artinya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan semakin mudah dalam mencegah praktek transfer pricing atau praktek penghindaran pajak dengan cara mengalihkan atau menurunkan nilai penjualan dengan tujuan keuntungan akan terlihat tipis sehingga bisa mengurangi pembayaran pajak. 

Dikatakan Aslan, jika benar aspek tersebut disimpangi, ia sangsi nantinya kepercayaan masyarakat kepada perbankan selaku pengelola dana menjadi hilang mengingat rahasia bank salah satunya berfungsi untuk menjaga hal tersebut. Sebagaimana diketahui, memang ada pengecualian penerapan prinsip bank sekresi akan tetapi terbatas pada kondisi tertentu.

Kondisi pengecualian itu antara lain, untuk kepentingan perpajakan, peradilan perkara pidana, serta penyelesaian piutang bank yang diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara. Kata, Aslan pembukaan data perbankan yang selama ini dilakukan sebatas pada data industri sektor jasa keungan yang hanya berkepentingan memotret pertumbukan sektor perbankan secara umum. Dan untuk data individu atau nasabah, tak pernah sekalipun dibuka kepada publik atau pihak manapun.
Tags:

Berita Terkait