Soal Proyek Reklamasi, Pemerintah Diminta Tak ‘Ugal-ugalan’ Ambil Kebijakan
Berita

Soal Proyek Reklamasi, Pemerintah Diminta Tak ‘Ugal-ugalan’ Ambil Kebijakan

Perlu ada penelitian tentang nilai manfaat sosial dan ekonomi dari reklamasi tersebut dan bagaimana dampak sosial ekonomi serta lingkungan ketika proyek ini dilaksanakan.

Oleh:
Mohamad Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi reklamasi. Foto: RES
Ilustrasi reklamasi. Foto: RES
Penyataan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Mineral, Luhut Binsar Panjaitan, perihal keberlanjutan reklamasi pantai utara Jakarta dinilai sebagai pengkhianatan konstitusional. Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM), Fitrah Bukhari, menilai reklamasi merupakan proyek mercusuar guna menguntungkan pengembang yang selama ini terkenal serampangan terhadap ekosistem alam.

“Hal ini harus dihentikan jika tidak ingin keseimbangan ekosistem Jakarta terganggu,” kata Fitrah dalm rilis yang diterima hukumonline, Kamis (15/9).

Fitrah menjelaskan, selain mengganggu ekosistem, reklamasi pantai utara Jakarta juga menerabas berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut antara lain adalah Keputusan Presiden (Keppres) No.52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Jakarta; Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur; Perpres No.112 Tahun 2012 tentang reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; serta UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang merupakan revisi dari UU No.27 Tahun 2007.

Menurut Fitrah, dalam kaidah hukum dikenal dengan istilah ketentuan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah. ”Dalam hal ini, dasar hukum reklamasi yang dipakai adalah Kepres No.52 Tahun 1995 yang telah dicabut dengan Perpres No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur,” katanya.

Fitrah mengatakan, reklamasi yang dilakukan sebenarnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Pemerintah diminta tidak ‘ugal-ugalan’ mengambil kebijakan. Pasal 34 UU No.1 Tahun 2014 tentang perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menyatakan bahwa reklamasi mesti meningkatkan manfaat nilai sosial dan ekonomi daripada biaya sosial dan ekonominya.  

Selain itu, kata Fitrah, reklamasi dalam UU tersebut harus menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat. “Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para nelayan yang terdampak reklamasi, karena mereka akan kesulitan untuk mengarahkan perahunya guna mengais rezeki,” ujarnya.

Dia mempertanyakan, apakah pernah ada penelitian yang dilakukan tentang nilai manfaat sosial dan ekonomi dari reklamasi tersebut? Bagaimana dampak sosial ekonomi serta lingkungan ketika proyek ini dilaksanakan? Menurut Fitrah, publik pantas mengetahui mengingat hal ini sedang dalam sorotan masyarakat.

“Dengan tidak adanya publisitas hasil kajian tersebut, wajar jika kemudian publik mencurigai proyek reklamasi sebagai proyek yang misterius dan disinyalir menguntungkan kelompok-kelompok tertentu,” kata Fitrah. (Baca Juga: Gugatan Reklamasi, Nelayan Kalahkan Ahok)

Seperti diketahui, Menko bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan tiga alasan dibalik keputusan untuk melanjutkan proyek reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta.

"Pertama, karena untuk kepentingan nasional dan DKI Jakarta," kata Luhut.

Menurut Luhut, reklamasi yang diatur dalam Keputusan Presiden pada era Soeharto perlu tetap dilakukan karena ada penurunan tanggul raksasa yang membentengi Teluk Jakarta (giant sea wall). "Jakarta itu giant sea wall-nya setiap tahun turun 7,5 cm," ujarnya.

Alasan kedua, lanjut dia, adalah untuk memenuhi kebutuhan sumber air yang terus berkurang melalui bendungan. "Kalau bendungan jadi, dari hasil penelitian 2 meter di bawah air asin, sisanya di atas air yang bisa diproses jadi air minum. 45 meter kubik per detik akan bisa dipompa dasarnya. Itu kira-kira setara 40 persen kebutuhan air kita," jelasnya.

Sementara itu, alasan ketiga, kata Luhut, reklamasi dibutuhkan untuk menghindari rob atau banjir air laut. Menurut dia, pihak yang tidak memahami masalah reklamasi akan menilai keputusan yang diambilnya menyangkut sesuatu yang lain.

"Ini masalah teknis profesional. Kalau orang tidak paham akan pikir ini masalah lain. Makanya tidak ada alasan untuk tidak meneruskan. Kalau ada masalah PLN, itu dikaji," tuturnya.

Sebelumnya, Luhut memastikan proyek reklamasi Pulau G di Pantai Utara Jakarta dilanjutkan setelah pada Juni lalu dihentikan oleh pendahulunya, Rizal Ramli. Menurut dia, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan proyek anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudera, itu.

Kelanjutan itu dipastikan berdasarkan pembahasan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PT PLN (Persero), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perhubungan.

Luhut menuturkan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, nasib 12.000 nelayan pantai utara Jakarta yang terdampak proyek reklamasi menjadi perhatian utama pemerintah. Pemprov DKI Jakarta juga menyatakan bahwa nelayan akan mendapatkan rumah susun untuk tempat tinggal, 1.900 unit kapal yang dapat berlayar sampai Kepulauan Natuna hingga penyediaan air bersih. 

Tags:

Berita Terkait