Ketua MA: Perma Kejahatan Korporasi Tinggal Finalisasi
Utama

Ketua MA: Perma Kejahatan Korporasi Tinggal Finalisasi

Pengesahan Perma Kejahatan Korporasi tergantung hasil pertemuan instansi terkait.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ketua Mahkamah Agung HM Hatta Ali di ruang kerjanya. Foto: RES
Ketua Mahkamah Agung HM Hatta Ali di ruang kerjanya. Foto: RES
Ekspektasi publik terhadap penindakan kejahatan yang dilakukan perusahaan atau korporasi nampaknya cukup tinggi. Sebab, selama ini penegakan hukum tindak pidana apapun yang menjerat korporasi dinilai belum efektif. Guna menutupi kekosongan hukum, Mahkamah Agung (MA) sudah menyusun draft Peraturan MA (Perma) terkait hukum acara persidangan kejahatan korporasi. Proses pembahasan rancangan Perma melibatkan instansi terkait.

“Kita belum teken (disahkan, red), tetapi konsep draft Perma itu sudah ada di Ketua Kamar Pidana (Artidjo Alkostar). Tinggal finalisasi di instansi terkait,” ujar Ketua MA M. Hatta Ali di Gedung MA Jakarta, Jum’at (16/9).

Hatta menegaskan pengesahan draft Perma Kejahatan ini masih menunggu finalisasi pembahasan oleh beberapa instansi terkait, seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, KPK, PPATK, dan beberapa kementerian terkait. “Kalau sudah dibicarakan (finalisasi) draftnya kita bawa ke pimpinan MA,” lanjutnya.

Ditanya target pengesahan Perma tersebut, Hatta menegaskan tergantung hasil pembahasan instansi penegak hukum dan kementerian terkait. “Pengesahannya tergantung hasil kesepakatan pertemuan mereka, setelah itu baru dibawa ke pimpinan MA untuk disahkan,” tegasnya.

Menurutnya, rencana terbitnya Perma tata cara penanganan kejahatan korporasi ini didasari fakta bahwa kejahatan yang dilakukan korporasi masih sangat sedikit yang diproses hingga ke pengadilan. Polisi acapkali menerbitkan SP3 atas kasus kehutanan, padahal itu peluang menjerat korporasi. Sejumlah Undang-Undang (UU) juga telah menentukan bahwa korporasi sebagai subjek hukum bisa dijerat hukuman pidana.

Sebelumnya, Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar mengungkapkan hasil pertemuannya dengan jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan memandang korporasi sebagai subjek hukum seolah kebal hukum. Padahal, ada sekitar 70 UU yang menjerat pertanggungjawaban pidana korporasi, tetapi minim diproses hingga ke pengadilan. Seperti kejahatan pencurian ikan, pembalakan liar, pembakaran hutan, tindak pidana korupsi, atau pencucian uang yang dilakukan korporasi.

Menurut dia, penegakan hukum kejahatan korporasi di pengadilan masih terkendala di proses penyidikan dan penuntutan seperti tertuang dalam surat dakwaan. Ada perbedaan pandangan antara aparat penegak hukum mengenai bagaimana pertanggungjawaban kejahatan korporasi. Sebab, peraturan perundang-undangan tak seragam mengatur siapa yang sebenarnya bisa dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi.

Praktiknya, penuntut umum masih kesulitan menyusun dan merumuskan surat dakwaan lantaran belum memiliki standar bentuk surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi. Akibatnya, penyidik dan penuntut umum enggan atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan. Sebab, KUHAP sendiri belum menentukan petunjuk teknis penyusunan surat dakwaan ketika subjek hukum pelakunya korporasi.

Kondisi ini membuat MA dan pengadilan di bawahnya tidak mungkin bisa proaktif mengadili kejahatan korporasi. Soalnya, pengadilan ketika mengadili perkara kejahatan korporasi sangat bergantung surat dakwaan yang diajukan penuntut umum. Untuk itu, MA bekerja sama dengan sejumlah lembaga tengah menyusun Perma tentang Prosedur dan Tata Cara Kejahatan Korporasi termasuk merumuskan petunjuk surat dakwaan kejahatan korporasi.

KPK sendiri sebagai salah satu lembaga yang berkepentingan belum pernah menjadikan korporasi sebagai subjek atau tersangka/terdakwa korupsi. Padahal, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) telah memberi instrumen untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Meski direksi perseroan sudah banyak yang menjadi terpidana, tetapi selama ini KPK terkendala merumuskan bagaimana tanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

KPK dan Kejaksaan sendiri pernah mencoba menuntut korporasi turut serta membayar kerugian negara, tetapi kerap gagal lantaran hakim menganggap korporasi dimaksud tidak dijadikan terdakwa dalam dakwaan. Sejauh ini, hanya ada satu kasus korupsi korporasi yang berhasil diseret ke persidangan yakni kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri dihukum membayar Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan. (Baca Juga: Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor).
Tags:

Berita Terkait