Ekses Kawin Kontrak Sebagai Model Bisnis Prostitusi Terselubung
Utama

Ekses Kawin Kontrak Sebagai Model Bisnis Prostitusi Terselubung

Penegakkan hukum sulit dilakukan karena masih ada kelemahan dari sisi regulasi. Misalnya, UU Perkawinan dan peraturan turunannya tidak mengatur sanksi untuk menghukum pelaku kawin kontrak.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
Hasil penelitian Puslitbang Kamar Agama Mahkamah Agung menyatakan bahwa dalam kesepakatan kawin kontrak ada harga yang mesti dibayar, variasinya mulai dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Pertanyaannya adalah, apakah bisnis yang memberikan keuntungan menggiurkan ini, sehingga terlihat seperti dipelihara oleh pelakunya, telah benar-benar berdampak pada peningkatkan kesejahteraan?
Eksistensi praktek kawin kontrak sulit untuk dihilangkan sama sekali, karena tidak bisa dinafikan praktek ini mempunyai peminat yang kebanyakan merupakan pria asing berkantong tebal. Sehingga dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dengan cara memfasilitasinya. Sudah menjadi rahasia umum, praktek kawin kontrak ini jamak dilakukan di beberapa tempat di Indonesia, yang tersohor kabarnya di kawasan wisata Puncak, Bogor. 
Dalam seminar bertajuk “Eksistensi Kawin Kontrak Dalam Perspektif Norma dan Tuntunan Ekonomi” yang digelar Mahkamah Agung pada (15/9) di Jakarta, dihadirkan seorang perempuan yang menceritakan pengalamannya terlibat dalam kawin kontrak. Dari penuturannya, ia tidak menyangkal terlibat kawin kontrak karena didorong motif ekonomi. (Baca juga: Hakim Agung Kamar Agama: “Kawin Kontrak” itu Prostitusi Berkedok Agama)
Namun yang menarik, meski berkali-kali terikat kesepakatan kawin kontrak, namun tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraannya. Menurut sang perempuan, uang mahar yang didapatkannya hanya cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari penuturan langsung perempuan yang terlibat dalam praktek kawin kontrak ini, tersirat bahwa akar permasalahannya adalah faktor ekonomi. 
Maka penyelesaiannya tidak cukup bagi pemerintah hanya dengan memberikan penyuluhan soal larangan kawin kontrak. Dihadirkan pula dalam forum tersebut, aparatur pemerintah yang berwenang untuk menyelesaikan kasus-kasus kawin kontrak ini. Diantaranya adalah hakim-hakim pengadilan agama yang di wilayah hukumnya sering ditemukan penyelundupan hukum perkawinan dengan cara kawin kontrak, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, Kepala Desa yang di lokasi desanya sering dijadikan tempat transaksi kawin kontrak, Kepolisian yang melakukan operasi untuk mengungkap modus-modus kawin kontrak, hingga Satpol PP yang melakukan pembongkaran vila-vila yang sering dijadikan lokasi transaksi kawin kontrak.
Penegakkan hukum sulit dilakukan karena masih ada kelemahan dari sisi regulasi. Misalnya, UU Perkawinan dan peraturan turunannya tidak mengatur sanksi untuk menghukum pelaku kawin kontrak. 
Penindakan hukum hanya dapat dilakukan kepada perantara yang memfasilitasi praktek kawin kontrak, yakni dijerat dengan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP yang mengatur tentang kejahatan prostitusi. Praktek kawin kontrak ini sebenarnya juga dapat dijerat dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang mengatur ketentuan mengenai prostitusi terselubung. Dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak apabila praktek kawin kontrak ini melibatkan anak-anak di bawah umur. (Baca juga: Kawin Kontrak dan Mail-Order Bride Merupakan Bentuk Perdagangan Orang)
Tags:

Berita Terkait