Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak
Berita

Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak

Praktek kawin kontrak tak hanya berdampak pada lingkaran pelaku yang mengambil keuntungan, tetapi juga melahirkan ekses yang tidak diperhitungkan sebelumnya, yakni anak-anak yang lahir.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Pernikahan. Foto: Istimewa
Pernikahan. Foto: Istimewa
Praktek kawin kontrak tidak hanya berdampak pada lingkaran pelaku yang mengambil keuntungan dari bisnis ini, tetapi juga melahirkan ekses yang tidak diperhitungkan sebelumnya sebagai pihak yang akan turut terdampak, yakni anak-anak yang lahir sebagai buah hasil dari kawin kontrak. 
Secara hukum, anak-anak yang lahir sebagai buah hasil kawin kontrak ini dikategorikan sebagai anak luar kawin. Meskipun diklaim sebagai perkawinan yang sah secara agama oleh para pelakunya, tetapi kawin kontrak bukanlah bentuk ikatan perkawinan yang sah berdasarkan hukum agama dan tidak tercatat berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. 
Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun sejak 17 Februari 2010, terdapat terobosan hukum melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 atas judicial review terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.
Berdasarkan putusan MK tersebut, anak luar kawin kini bisa memiliki hubungan keperdataan dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya, melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau dengan alat bukti lain yang dapat membuktikan adanya hubungan darah, atau yang dikenal luas oleh masyarakat dengan pembuktian melalui Tes DNA. Dengan lahirnya tersebut, terbuka peluang bagi anak dari hasil kawin kontrak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan ayah, termasuk segala hak keperdataannya seperti waris. 
Namun bagi sebagian kalangan, putusan MK justru kontradiktif dengan hukum perkawinan menurut aturan dasar syariat Islam yang mengharamkan nikah mut’ah. Praktek kawin kontrak yang terjadi di Indonesia saat ini dianggap dekat dengan praktek perzinahan. Sebagaimana hukum syariat memandang anak yang lahir dari perzinahan, maka anak yang lahir dari kawin kontrak dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 seperti berada di persimpangan antara mengembalikan hak-hak anak yang lahir dari kawin kontrak, sementara bagi sebagian kalangan yang melihat perkawinan berdasarkan syariat agama, putusan ini justru dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.
Seorang Perempuan yang mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dalam jangka waktu tertentu dengan seorang pria asing, membungkusnya dengan akad nikah sehingga seolah-olah sah menurut syariat Islam. Namun hal ini tidaklah memenuhi ketentuan Pasal 1 jo Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena nikah mut’ah secara Islam telah dilarang oleh para ulama, dan kawin kontrak tidak diakui sebagai bentuk perkawinan menurut hukum Negara.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait