Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana
Kolom

Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana

Sangat penting untuk menegaskan kedudukan ahli, kewenangan hakim untuk menilai keterangan ahli, keterangan ahli tak mengikat hakim.

Bacaan 2 Menit
Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana
Hukumonline
Pentingnya Mempertegas Kedudukan Ahli
Adagium yang menyatakan bahwa hukum selalu berada di belakang realitas masyarakat nampaknya cukup teruji (Das Sollen - Das Sein, bahkan Das Sullen/hukum yang dicita-citakan). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bentuk dari suatu kejahatan menjadi lebih mutakhir dari bentuk konvensionalnya. Hal ini membuat Penulis teringat akan perkataan Raja Sulaiman yang terkenal akan kebijaksanaannya bahwa tidak ada sesuatu hal yang benar-benar baru di dunia ini, karena sesungguhnya hal itu sudah pernah ada sebelumnya.
Sebagaimana halnya alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu Saksi, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, maka kedudukan Keterangan Ahli sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana menjadi cukup krusial di era penegakan hukum modern, yang tidak dapat dipisahkan dari kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia dianut sistem Pembuktian Negatif (negatief wettelijke), yang berarti hakim hanya boleh menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, apabila ada alat bukti yang cukup dengan disertai keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukannya.
Oleh karena itu, semua pihak dalam suatu perkara pidana, yaitu Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa dan Penasihat hukum dalam upaya bersama mencari suatu kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran materiil), terikat secara wajib (imperative) dan terbatas (limitative) dalam menggunakan alat bukti yang sah, sebagaimana ditentukan dalam KUHAP dan alat bukti lain yang ditentukan dengan kekuatan suatu Undang-Undang, sehingga dapat memberikan dasar yang kuat bagi hakim untuk memperoleh keyakinannya, dalam mengadili suatu perkara pidana.
Berkaca dari perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat, hal mana didalamnya terjadi perdebatan ahli dari masing-masing pihak yang mengajukannya, penulis berpendapat bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam suatu perkara pidana perlu kembali diperjelas dan dipertegas dalam suatu penjelasan hukum (restatement). Secara hukum, Keterangan Ahli saja sebagai alat bukti tidak cukup untuk membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah, karena substansi dari keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.
Keterangan Ahli sebagai suatu alat bukti baru diperlukan manakala dalam suatu proses pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun di pengadilan diperhadapkan pada suatu hal/permasalahan yang perlu diberikan penjelasan yang khusus, yang mungkin sebelumnya tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, baik ahli yang dihadirkan oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum wajib memberikan keterangan yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penyeimbang, karena menurut pendapat dari Mr. Trapman, posisi Penuntut Umum adalah objektif dengan pendirian yang subjektif, sedangkan dipihak yang berlawanan, yaitu Penasihat Hukum berada dalam posisi subjektif dengan pendirian yang objektif.
Kewenangan Hakim Untuk Menilai Keterangan Ahli
Mengenai siapa saja yang dapat dikualifikasikan sebagai seorang ahli, dalam praktik hukum acara pidana memang tidak diatur lebih lanjut tentang keharusan bahwa ahli adalah seseorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau memperoleh sertifikasi atau ijazah tertentu. Dengan kata lain, sepanjang yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai suatu bidang tertentu, ia dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan ahli. Akan tetapi menurut hemat penulis, Hakim karena jabatannya (ex officio), sudah sepatutnya dapat memilah, menguji dan menilai kualifikasi seorang ahli, termasuk adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dari ahli tersebut, sehingga objektifitas dari keterangan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan tidak adanya batasan yang pasti mengenai kualifikasi dari seorang ahli, maka tidak jarang dalam praktik, ahli bidang hukum tertentu pun dihadirkan oleh salah satu pihak yang berperkara, padahal menurut asas Ius Curia Novit, hakim dianggap mengetahui (segala) hukum. Dalam praktiknya, keterangan seorang ahli hukum seringkali dapat diterima, dengan pertimbangan terbatasnya penguasaan ilmu hukum dan potensi dilaporkannya Majelis Hakim ke Komisi Yudisial karena dianggap  mengurangi hak-hak dari pihak yang berperkara untuk membela kepentingan hukumnya.
Halaman Selanjutnya:
Tags: