Ahli Sebut HUM Wewenang Tunggal MA
Berita

Ahli Sebut HUM Wewenang Tunggal MA

MK akan menghadirkan ahli sendiri dalam persidangan berikutnya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Foto: RES
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Foto: RES
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Atmajaya Jakarta, Boli Sabon Max mempertanyakan dasar kewenangan pemerintah membatalkan peraturan daerah (Perda) baik Perda provinsi maupun kabupaten/kota. Sebab, hingga kini belum ditemui aturan dasar yang mengatur wewenang pemerintah menguji peraturan undang-undangan di bawah undang-undang (executive review).

“Ini serta merta saja muncul dalam UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Timbul pertanyaan, dari manakah sumber kompetensi menteri dan gubernur menguji Perda?” ujar Boli Sabon Max saat memberi pandangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Pasal 251 UU Pemda di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/9).

Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono mempersoalkan Pasal 251 ayat (1), (2), (7), dan ayat (8) UU Pemda terkait wewenang Gubernur dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan Perda sepanjang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Bagaimanapun, kewenangan ini potensial disalahgunakan Pemerintah pusat yang mengarah resentralisasi meski ada proses keberatan pembatalan perda provinsi/kabupaten ke Presiden dan Mendagri.

Menurut Para Pemohon wewenang pembatalan perda ini masuk lingkup kewenangan judicial review oleh MA sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 karena Perda termasuk hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Para Pemohon meminta Pasal 251 ayat (1) dan (2) UU Pemda inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai Mendagri atau gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan Perda ke MA paling lambat 14 hari setelah ditetapkan. Pemohon juga meminta Pasal 251 ayat (7) dan (8) UU Pemda dibatalkan.

Pasal 251 ayat (1) UU Pemda menyebutkan “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.” Ayat (2) menyebutkan “Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat”.

Boli mengakui kewenangan pengujian Perda sesuai UU No. 23 Tahun 2014 sebagai kewenangan atribusi yang dimungkinkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Ataukah ini delegasi wewenang dari Mahkamah Agung (MA) kepada menteri dan gubernur? Padahal, uji materi ataupun formal oleh MA merupakan kewenangan atribusi yang diberikan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 sebaga norma tertinggi,” lanjutnya.

Dijelaskan ahli pemohon, wewenang uji materi dan formal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang merupakan kewenangan atribusi yang diberikan UUD 1945. Karena itu, seyogyanya hanya MA yang bisa mendelegasikan kewenangan ini kepada lembaga lain. “Setelah ditelusuri, tidak ditemukan satupun ketentuan ada pendelegasian wewenang MA kepada menteri dan gubernur menguji Perda ini,” tegasnya.

Menurutnya, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (hak uji materi/HUM) merupakan wewenang tunggal MA yang bersumber dari Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Karena itu, wewenang menteri dan gubernur menguji materil dan formal terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Perda) adalah kewenangan yang tidak sah menurut hukum. “Jadi, Pasal 251 ayat (1), (2), (7), (8) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum,” harapnya.

Ketua Majelis MK Arief Hidayat mengatakan dalam persidangan berikutnya, permohonan ini akan digabung dengan permohonan nomor 66/PUU-XIV/2016 yang diajukan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). “Nantinya, ada keterangan tambahan dari Pemerintah menanggapi permohonan perkara No. 66/PUU-XIV/2016 ini. Selanjutnya, kita juga akan menghadirkan ahli sendiri,” kata Arief dalam persidangan.

FKHK juga memohon pengujian beberapa pasal dalam UU Pemda dan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA). Permohonan ini juga menyangkut konstitusionalitas wewenang Mendagri dan gubernur membatalkan Perda yang seharusnya menjadi wewenang tunggal MA melalui judicial review terhadap Perda. Spesifik, FKHK memohon pengujian Pasal 245 ayat (1) dan (3); Pasal 251 ayat (1) sampai ayat (4); 267 ayat (1) dan (2); Pasal 268 ayat (1); Pasal 269 ayat (1); Pasal 270 ayat (1); Pasal 271 ayat (1); Pasal 234 ayat (1) dan (2); Pasal 325 ayat (1) dan (2) UU Pemda dan Pasal 31 ayat (2) UU MA.

Pasal-pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibat polemik dan problematik akademis mengenai pengawasan pemerintah pusat dan pengujian norma Perda yang selama ini dualisme. FKHK meminta tafsir MK agar kewenangan pembatalan Perda wewenang MA, sedangkan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap setiap rancangan Perda.
Tags:

Berita Terkait