Ketua MK: Sistem Hukum Indonesia Mesti ‘Disinari’ Nilai Ketuhanan
Pengujian Pasal Kesusilaan

Ketua MK: Sistem Hukum Indonesia Mesti ‘Disinari’ Nilai Ketuhanan

Arief melihat sidang pengujian pasal kesusilaan ini ‘perang ide’ antara pandangan yang konservatif dan pandangan yang liberal.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto. RES
Gedung MK. Foto. RES
Fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) tak hanya sebagai guardian of constitution (penjaga konstitusi). MK juga sekaligus berfungsi sebagai guardian of the ideology (penjaga ideologi) negara Pancasila. Untuk itu, sistem hukum Indonesia selalu diletakkan pada ideologi dasar negara Pancasila sebagai warisan the founding fathers (pendiri bangsa) yang tercermin dalam sila-silanya.    

“Ini (pengujian pasal-pasal kesusilaan) artinyakalau kita menjabarkan sila pertama Pancasila, sistem hukum Indonesia harus dibangun dan disinari dengan ‘sinar’ (nilai) Ketuhanan. Sinar Ketuhanan berasal dari agama, kepercayaan apapun yang ada di Indonesia,” ujar Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat mengomentari keterangan Pihak Terkait YLBHI dan ahli dari ICJR di sidang pengujian pasal perzinaan di ruang sidang MK, Kamis (22/9).

Pernyataan ini muncul lantaran keterangan YLBHI dan ahli dari ICJR yakni Anggota Komnas HAM Roichatul Aswidah lebih banyak memaparkan sistem dan prinsip (instrumen) hukum internasional berkaitan hak asasi manusia (HAM) universal. “Maaf Bu, presentasi yang disampaikan ahli, saya melihat selalu mendasarkan prinsip-prinsip yang dibangun secara internasional universal. Padahal, kita tahu the founding fathers sudah mewariskan kepada kita satu prinsip, ‘Hukum di Indonesia harus dibangun berdasarkan ideologi dasar negara Pancasila’,” kata Arief mengingatkan.   

Menurutnya, sistem hukum yang berkembang di dunia internasional adalah prinsip hukum yang dibangun berdasarkan nilai-nilai universal. Apabila ini ‘diturunkan’ atau dibedah, nilainya menganut sistem sekuler, yakni pemisahan tegas antara kehidupan beragama atau kepercayaan masyarakat/warga negara dengan negara. “Itu dipisahkan, kita bisa melihat sistem hukum yang dicontohkan tadi di dunia lain, bukan dunia gaib, tetapi bukan di Indonesia adalah sistem hukum yang diletakkan secara sekuler,” tuturnya.

Arief meminta pandangan ahli lebih jauh bagaimana sebenarnya sistem hukum Indonesia dibangun berdasarkan ideologi Pancasila, bukan sekuler. “Ini harus bagaimana? Saya tidak butuh jawaban lisan, tetapi tertulis karena ini membutuhkan pendalaman. Apa yang disebut Ibu Bu Roich, istilah margin of appreciation dalam konteks Indonesia itu bagaimana? Apakah itu sifatnya HAM universal atau ada nilai partikular?,” tanya Arief.

Dalam kesempatan ini, dia sekaligus mengingatkan setiap produk hukum di Indonesiaketika dibuat selalu menggunakan irah-irah “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini tercermin produk hukum Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah, atau peraturan apapun.

“Keputusan Presiden pun kita mengangkat Hakim Konstitusi, didahului dengan irah-irah ‘Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa’, menimbang, memutuskan, begini, begini, mengangkat seseorang menjadi Hakim Konstitusi,” ujarnya mencontohkan. (Baca Juga: YLBHI: Uji Pasal Zina Bukan Kewenangan MK)

Tak hanya itu, setiap produk proses hukum yang dilakukan aparat penegak hukum memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. “Saya saja, setiap kali membacakan putusan, selalu mendahului dengan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, meski agama kita beda-beda. Karena itu, membangun hukum, menegakkan hukum di Indonesia harus disinari oleh ‘sinar’ Ketuhanan,” tegasnya.

Masih kata Arief, apabila ditemui prinsip (hukum) yang berbeda dalam setiap produk undang-undang, berarti sistem hukum Indonesia harus diletakkan menurut warisan the founding fathers yakni ideologi dasar negara Pancasila. “Saya melihat dan merasakan persidangan ini, saya tidak menunjuk siapa-siapa, ada ‘perang ide’ antara pandangan yang konservatif dan pandangan yang liberal,” ungkapnya.

Seperti diketahui, sidang pengujian Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan Guru Besar IPB Bogor, Euis Sunarti, dkk ini sudah memasuki sidang kesembilan. Selain pemerintah, beberapa ahli Para Pemohon mulai ahli kedokteran, psikologi hingga ahli hukum sudah didengar pandangannya. Beberapa pihak terkait yang pro dan kontra permohonan ini pun sudah didengar keteranganya seperti Komnas Perempuan, ICJR, Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Peduli Sahabat, Persatuan Islam Isteri, YLBHI. Persidangan berikutnya akan didengar pandangan MUI. (Baca Juga:  Ancaman yang Dikhawatirkan Jika Pasal Zina Diperluas)         

Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex). Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.
 
Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender, LGBT).

Tags:

Berita Terkait