BPJS Dinilai Persulit Peserta Melalui Sistem Pembayaran Iuran
Berita

BPJS Dinilai Persulit Peserta Melalui Sistem Pembayaran Iuran

Mestinya dilakukan sosialisasi terlebih dahulu sambil menyiapkan sistem informasi dan teknologi kepada masyarakat luas.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Pengumuman tentang sanksi telat bayar iuran BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: MYS
Pengumuman tentang sanksi telat bayar iuran BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: MYS
Terbitnya Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No.16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai mempersulit peserta. Pasalnya, aturan teranyar itu dipandang menimbulkan kegaduhan. Bahkan kebingungan bagi peserta BPJS. Hal ini disampaikan anggota Komisi IX Irma Suryani Chaniago, di Gedung DPR, Selasa (27/9).

Menurutnya, keharusan membayar iuran JKN selambatnya pertanggal 10 melalui sistem baru membawa konsekuensi penonaktifan kepesertaan BPJS. Hal itulah yang dinilai mempersulit peserta. “Manajemen BPJS agar jangan dzolim,” ujarnya.

Mestinya, BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum memberlakukan aturan tersebut. Memang, tujuan penerbitan aturan tersebut untuk mendorong agar peserta tertib membayar iuran. Namun menjadi persoalan ketika penerapan aturan tanpa dilakukan sosialisasi, berujung menimbulkan kebingungan, bahkan kerugian bagi peserta BPJS.

“Harusnya BPJS mensosialisasikan lebih dulu setiap peraturan baru yang berbasis IT, karena peraturan baru yang tidak didukung dengan sistem IT yang baik, maka akan menimbulkan kebingungan dan kerugian bagi peserta BPJS,” katanya.

Ketiadaan kesiapan sosialisasi dan kesiapan informasi teknologi (IT) menjadi bagian yang mesti dievaluasi ketika menerbitkan aturan baru bagi peserta BPJS. Terlebih, aturan yang mengatur keterlambatan pembayaran mestinya tidak diberikan sanksi penonaktifan kartu BPJS.

Politisi Partai Nasional Demokrat itu pun mendesak manajemen BPJS terlebih dahulu melakukan sosialisasi masif ke masyarakat luas. Hal itu sebagai bagian tanggungjawab BPJS Kesehatan terhadap peserta BPJS dan pemangku kepentingan terkait.

Anggota Komisi IX lainnya, Ribka Tjiptaning mencibir aturan BPJS tersebut. Sebabnya, berkaitan penonaktifan terhadap kepesertaan BPJS sama halnya menutup akses mendapatkan pelayanan kesehatan lantaran keterlambatan membayar iuran. Ironisnya, kepesertaan penonaktifan berlaku bagi semua anggota keluarga yang tercantum dalam kartu keluarga. Oleh sebab itu, untuk membuka kembali penonaktifan maka diharuskan terlebih dahulu melakukan pembayaran iuran.

Ribka menilai aturan tersebut amatlah memberatkan keuangan para peserta BPJS Kesehatan mandiri. Terutama mereka yang berpendapatan menengah ke bawah. Terlebih, hal tersebut bakal berpotensi terjadinya penunggakan pembayaran iuran. “Dan pada gilirannya akan membuat banyak peserta tidak bisa menggunakan Kartu BPJS Kesehatan karena dinonaktifkan,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpandangan kebijakan melalui Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No.16 Tahun 2016 itu bakal menggagalkan tujuan BPJS Kesehatan menuju cakupan masyarakat luas menjadi peserta BPJS. Sebalik BPJS hanya akan dimiliki sebagian masyarakat Indonesia, tidak seluruh rakyat Indonesia.

Ia menilai bila pemerintah kekeuh melanjutkan kebijakan tersebut, maka harus dicarian jalan keluar. Antara lain, peserta BPJS Kesehatan PBI (Penerima Bantuan Iuaran) harus dinaikkan jumlahnya. Selain itu, pemerintah mesti membuka peluang bagi peserta mandiri yang tidak sanggup membanyar iuaran sesuai ketentuan baru untuk beralih ke PBI. (Baca Juga: Sekarang, Peserta Mandiri Bayar Iuran JKN untuk Sekeluarga)

“Pemerintah harus memberikan prosedur yang jelas dan mudah untuk mengurusnya. Dan menunjuk lembaga atau intitusi mana yang akan mengurusinya, sehingga masyarakat tidak bingung,” imbuhnya.

Sementara, anggota Komisi IX M Iqbal meminta peraturan Direksi BPJS tersebut dilakukan revisi. Menurutnya, dalam peraturan tersebut menyebutkan tagihan iuran BPJS bagi peserta mandiri mesti mendaftarkan seluruh anggota keluarga yang tercatat dalam kartu keluarga. Hal itu dinilai memberatkan bagi peserta mandiri.

Pasalnya peserta mandiri masih banyak terdapat kategori tidak mampu. Bahkan tidak terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran. Atas dasar itulah Iqbal, ia meminta segera dilakukan revisi terhadap aturan tersebut, khususnya Pasal 3 mengatur tagihan iuran peserta mandiri. “Agar nantinya iuran BPJS bersifat perorangan tidak kolektif untuk seluruh keluarga,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait