4 Hambatan Kejagung dalam Melaksanakan Eksekusi Mati Jilid IV
Berita

4 Hambatan Kejagung dalam Melaksanakan Eksekusi Mati Jilid IV

Bakal berkoordinasi dengan MA terkait aturan PK hanya satu kali. Selain itu mendesak terpidana agar membuat kepastian mengajukan tidaknya PK dengan membuat surat pernyataan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kejaksaan Agung sebagai pelaksana putusan pengadilan (executive ambtenaar) telah melaksanakan eksekusi hukuman mati sebanyak tiga jilid di era pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla. Pelaksanaan hukuman mati menjadi keharusan dalam mewujudkan kepastian hukum. Namun pada pelaksanaanya, Kejaksaan Agung kerap dihadapkan dengan berbagai hambatan.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, kendala yang berpotensi menghambat eksekusi terpidana mati tak saja di jilid I. Namun pula pada jilid II dan III. Hal itulah menjadi kendala ketika pihaknya bakal melakukan eksekusi jjilid IV mendatang. Apalagi, setidaknya masih terdapat 150 orang lebih terpidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pertama, terpidana kerap kali memanfaatkan ketentuan dalam Pasal 264 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada ayat (3) mengatur tidak membatasi jangka waktu permintaan Peninjauan Kembali. Yakni, dengan cara tidak segera mengajukan upaya PK. Hal itu berdampak terpidana memanfatkan dengan mengulur waktu.

Kedua, terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.34/PUU-XI/2013. Intinya, menyatakan PK dapat diajukan lebih dari satu kali. Menurut Prasetyo, putusan tersebut berpotensi menghambat eksekusi terhadap terpidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap di tingkat kasasi. “Hal tersebut berpotensi menghambat eksekusi,” ujar Prasetyo dalam rapat kerja dengan Komisi III di Gedung DPR, Senin (26/9) kemarin.

Seperti diketahui, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Namun begitu, terpidana acapkali memanfaatkan norma putusan MK sebagai upaya menunda eksekusi. Hal itu terjadi pada banyak terpidana mati menggunakan peluang tersebut. (Baca Juga: Eksekusi Terpidana Mati, Jaksa Agung: Kami Tak Ada Niat Festivalisasi)

Ketiga, terdapat upaya hukum yang tidak laizm. Misalnya, kata Prasetyo, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut menguji keputusan presiden terkait grasi. Seperti halnya yang terjadi pada terpidana mati yang mengajukan gugatan ke PTUN sebelum pelaksanaan eksekusi mati jilid II.

Keempat, terbitnya putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015. Intinya, putusan tersebut menghapus ketentuan jangka waktu pengajuan permohonan grasi yakni satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, putusan tersebut berpotensi disalahgunakan para terpidana dengan cara mengajukan grasi sesaat sebelum pelaksanaan eksekusi hukuman mati.

Kendati demikian, mantan Jaksa Agung Tindak Pidana Umum (Jampidum) itu terus berupaya mengatasi hambatan tersebut. Antara lain cara yang di tempuh yakni berkoordinasi dengan pihak Mahkamah Agung, terkait aturan PK dapat diajukan satu kali. Hal lainnya, pihaknya bakal mendesak terpidana untuk mendapatkan kepastian mengajukan upaya hukum luar biasa PK, atau seblaiknya.

“Jadi mereka harus membuat pernyataan mengajukan PK atau tidak,” ujarnya. (Baca Juga: Pemerintah Diminta Tegas Soal Mary Jane)

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, komisi tempatnya bernaung mendukung eksekusi terpidana masti sepanjang telah berkekuatan hukum tetap dan melewati semua proses upaya luar biasa. Oleh sebab itu, Kejagung sebagai eksekutor putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap mesti tegas.

“Kami di DPR mendukung ketegasan Kejagung selaku eksekutor pelaksana terhadap putusan pengadilan yang incraht,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu pun mempertanyakan tindaklanjut eksekusi tahap IV. Pasalnya anggaran yangs udah disediakan pada pelaksanaan eksekusi terpidana mati jilid III hanya 4 orang. Padahal yang masuk daftar sebanyak 16 orang.

“APBN sudah menganggarkan 1 orang eksekusi mati. Tetapi yang dieksekusi (Jilid III) hanya 4 orang. Mau eksekusi lagi atau tidak. Kalau iya, bagaimana dengan pemotongan anggaran saat ini,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya Ruhut Sitompul justru mendorong Kejagung segera melaksanakan eksekusi terpidana tahap selanjutya. Menurutnya, dengan begitu Kejagung tak mengelabui masyarakat dengan memasukan ambulance sebanyak 14 kendaraan. Sementara yang dieksekusi hanya 4 orang. Ia menilai, publik sudah dapat menerka berapa terpidana yang dieksekusi berdasarkan jumlah ambulance yang keluar dari Lapas Nusakambangan. “Tolong gelombang 4 diperbanyaklah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait