5 Provinsi Tertinggi Kasus Kekerasan Seksual Anak versi Kementerian Sosial
Berita

5 Provinsi Tertinggi Kasus Kekerasan Seksual Anak versi Kementerian Sosial

Empat provinsi lainnya adalah Riau, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Yogyakarta.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kekerasan terhadap anak: BAS
Ilustrasi kekerasan terhadap anak: BAS
Kementerian Sosial mencatat ada lima provinsi tertinggi terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini diperoleh dari hasil pemantauan yang dilakukan sejak Januari hingga April 2016. Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama. Empat provinsi lainnya adalah Riau, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Yogyakarta.

Hal ini disampaikan Sonny dalam monitoring saran terbuka Ombudsman RI terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dalam bidang pelayanan publik. "Dari pantauan Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) sejak Januari hingga April 2016 tertinggi kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Timur," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kementerian Sosial,Sonny W Manalu di Jakarta, Selasa (27/9).

Dia mengatakan, sebanyak 800 Sakti Peksos mendampingi dan merespon kasus anak. Terdata saat ini sebanyak 147.543 anak menerima Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Fungsi Kementerian Sosial dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah dalam bentuk rehabilitasi sosial bagi korban dewasa di Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) dan Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW).

Sementara bagi korban anak rehabilitasi sosial diberikan melalui layanan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di 18 lokasi. Sedangkan bagi anak yang menjadi pelaku di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) berada di 10 lokasi. (Baca Juga: Pembunuh Yuyun Berstatus Anak Dituntut Hukuman Tindakan)

Lebih lanjut Sonny mengatakan, sebagai upaya penanganan Kementerian Sosial telah membuat Telepon Sahabat Anak (Tepsa) dengan nomor telepon 1500-771 yang merupakan layanan telepon pelayanan sosial anak menerima dan merujuk kasus anak. "Program baru Sakti Peksos Go To School untuk lakukan pencerahan, dialog dan lain-lain sehingga anak-anak terhindar dari kasus kekerasan seksual," tambahnya.

Sementara itu, Ombudsman menyoroti berbagai masalah dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang semakin marak terjadi. "Karena itu kami menyampaikan beberapa saran untuk memonitoring masalah ini di seluruh Indonesia. Memang saat ini kita baru memonitoring di wilayah DKI Jakarta," kata Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu.

Dalam monitoring saran terbuka Ombudsman RI terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dalam bidang pelayanan publik itu juga dihadiri Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, perwakilan Kementerian Kesehatan serta dari lembaga terkait. (Baca Juga: Ombudsman Soroti Penanganan Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak)

Dari hasil monitoring yang dilakukan Ombudsman, masih terdapat sejumlah kendala dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) misalnya, Ninik menjelaskan ada beberapa hal yang belum terselenggara. Meski kementerian tersebut memiliki Unit pengaduan tapi belum terintegrasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.

"Proses integrasi akan memperbaiki penanganan korban. Karena Menteri PPPA adalah menteri koordinator dalam penanganan korban, kalau koordinasi ini belum berjalan secara maksimal maka penanganan belum bisa dilakukan," ujar Ninik.

Masalah juga ditemukan di kepolisian, meski juga sudah memiliki Unit Perlindungan Perempuan Dan Anak (PPA) tapi hampir sebagian besar polsek belum punya ruangan khusus untuk pelayanan.

"Kalau ada tiga saja pelapor, bagaimana mereka bisa melakukan proses penyelidikan dan penyidikan secara aman dan nyaman bagi korban karena standar pelayanan minimalnya itu harus ada ruang pelayanan khusus, itu berarti maladministrasi dalam penanganan korban," katanya menambahkan. (Baca Juga: Ingat! Korban Kekerasan Seksual Juga Punya Hak Restitusi)

Begitu juga dengan Kementerian Sosial yang melakukan proses rehabilitasi sosial terhadap korban melalui RPTC dan RPSA. Menurut dia, dalam temuan Ombudsman perlu ada peningkatan kapasitas dari layanan RPTC dan RPSA. Selain itu, harus ada indikator terkait berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam melakukan upaya pemulihan dan rehabilitasi sosial.

"Berapa lama waktunya karena selama ini hanya punya waktu dua minggu, sementara kebutuhan korban lebih dari itu, karena kalau ini tidak dipulihkan secara utuh korban juga bisa jadi pelaku," ujar dia.
Tags:

Berita Terkait