Rentan Masalah Hukum, Aprindo Jelaskan Penghentian Kantong Plastik Berbayar
Berita

Rentan Masalah Hukum, Aprindo Jelaskan Penghentian Kantong Plastik Berbayar

Ada Surat Edaran Dirjen. Ada Perda mengatur berbeda.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penghematan penggunaan plastik. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penghematan penggunaan plastik. Ilustrator: HGW
Somasi konsumen di Palembang, Sumatera Selatan, membuat pengusaha berpikir ulang tentang program plastik berbayar yang dijalankan di toko ritel modern di Indonesia. Somasi konsumen pada dasarnya mempertanyakan dasar hukum program yang ‘mewajibkan’ konsumen membayar 200 rupiah jika ingin menggunakan satu kantong plastik untuk tempat barang yang baru dibeli.

Dipicu somasi tersebut, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menghentikan program itu mulai 1 Oktober 2016. Aprindo tak ingin ada prokontra, apalagi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari, akibat program kantong plastik berbayar.

Sebenarnya, program itu bukan tanpa dasar sama sekali. Ada Surat Edaran (SE) Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey, mengatakan SE inilah yang memicu permasalahan di lapangan. (Baca juga: Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan).

Ada yang menganggap SE bukan peraturan sehingga tak sah menjadi payung hukum untuk menerapkan program kantong plastik berbayar kepada masyarakat (konsumen). Pembayaran itu dinilai tanpa dasar hukum yang kuat. Somasi dari pengacara konsumen dan dilanjutkan dengan panggilan dari kepolisian membuktikan sinyalemen itu. Pengusaha dari Aprindo memenuhi panggilan polisi, menjelaskan duduk persoalan dan latar belakang kebijakan kantong plastik berbayar. (Baca: Penutupan Loket Tiket Hanya Merujuk Surat Edaran)

Selain potensi masalah hukum, Aprindo menghentikan program itu karena ada sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan kebijakan berbeda. Ada daerah yang menetapkan harga berbeda dari yang ditentukan secara nasional. Akibatnya peritel kewalahan karena sistem yang dilakukan peritel 80 persen adalah jejaring. “Kita kan susah menerapkan (harga), ada yang di kota A Rp1000, kota B Rp1500. Artinya ada penyehatan program dulu, testing program, atur lagi dan berbagai macam. Selain tidak mudah, terjadi persaingan yang tidak sehat,” kata Roy di Jakarta, Senin (03/10).

Ada juga daerah yang meminta kontribusi pengusaha dari program kantong plastik berbayar guna pemanfaatan lingkungan. Kondisi-kondisi itu membuat Aprindo tak nyaman. “Bupati dan Walikota ramai-ramai menerapkan Pergub atau Perda yang lain tidak sama dengan SE, ada yang minta Rp1500 (harga kantong plastic) saja supaya Rp1300 bisa diberikan kepada mereka (pemerintah daerah), APRINDO keluarkan 1300 untuk pemanfaatan lingkungan, atau kalau gitu Rp5 ribu, sisanya kegiatan bersih-bersih lingkungan, ini bagi kami tidak nyaman,” papar Roy.

Menurut Roy, peraturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah sudah melenceng dari semangat program kantong plastik berbayar yang pada mulanya bertujuan untuk mengurangi jumlah penggunaan kantong plastic di Indonesia. Keluhan ini pun sudah disampaikan kepada pemerintah yakni KLHK. Diakui Roy, saat ini KLHK tengah menggodok aturan tentang kantong plastik berbayar. Aturan tersebut kemungkinan akan dikeluarkan akhir Oktober atau akhir November nanti sebagai payung hukum untuk program kantong plastik berbayar.

Aprindo mengaku mendukung program pemerintah untuk mengurangi penggunaan kantong plastik di Indonesia. Namun, pihaknya akan kembali melakukan hal tersebut jika peraturan terkait sudah dikeluarkan.

“Pada prinsipnya, Aprindo akan tetap mendukung program pemerintah. Namun kami berharap Permen terkait penerapan kantong plastik tidak gratis dapat segera diterbitkan, agar pelaksanaannya dapat berjalan lebih optimal dan sesuai dengan tujuan bersama. Aprindo juga siap memberikan masukan terkait Permen tersebut,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait