Revisi PP Network dan Frequency Sharing Dinilai Bertentangan dengan UU
Utama

Revisi PP Network dan Frequency Sharing Dinilai Bertentangan dengan UU

Lantaran pemerintah tak menggelar konsultasi publik pada kedua draf revisi tersebut.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Diskusi RPP Networking dan Frequency Sharing di Jakarta. Foto: NNP
Diskusi RPP Networking dan Frequency Sharing di Jakarta. Foto: NNP
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Kabarnya, draf revisi kedua regulasi itu telah berada di meja Presiden.

Artinya, tak akan lama lagi aturan tersebut akan berlaku setelah terlebih dulu diteken oleh Presiden Joko Widodo. Namun, muncul problem di tengah penyusunan dan pembahasan regulasi tersebut di mana Kemenkominfo ternyata tidak membuka kedua draf revisi tersebut kepada publik. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas menyebut masyarakat punya hak untuk mengakses draf tersebut.

Komisoner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, bahwa apabila rancangan draf regulasi aksesnya tidak terbuka, maka regulasi tersebut dapat dipastikan cacat secara prosedur. Menurutnya, pemerintah mestinya menggelar konsultasi publik sebagaimana dimandatkan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebelum aturan tersebut disetujui oleh presiden.

“Tanpa konsultasi publik, Ombudsman menyatakan ini cacat prosedur,” tegasnya dalam suatu dikusi yang digelar di Jakarta, Rabu (5/10). (Baca Juga: Ini Arah Rancangan Peraturan Menteri Perlindungan Data Pribadi Sistem Elektronik)

Sebagaimana diketahui, Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa  masyarakat, baik orang perseorangan atau kelompok yang berkepentingan atas substansi seperti ormas, kelompok profesi, serta LSM diberi hak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan. Metodenya beragam, bisa melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan kerja, sosialisasi, serta seminar atau lokakarya.

Lebih lanjut, Alamsyah menyatakan bahwa Ombudsman sama sekali tidak mengetahui apakah Kemenkominfo sudah menggelar konsultasi publik. Namun, sepanjang melakukan monitoring terhadap pembahasan network dan frequency sharing, nampaknya memang Kemenkominfo tidak melakukan konsultasi publik sama sekali. Lantas, ada apa di balik proses penyusunan kedua regulasi tersebut?

Catatan hukumonline, setidaknya ada dua pasal dari masing-masing RPP yang menjadi titik perdebatan. Pertama, Pasal 12 revisi PP Nomor 52 Tahun 2000, misalnya membahas mengenai kewajiban setiap operator telekomunikasi di Indonesia mengenai network sharing. Network sharing sendiri merupakan penggunaan bersama elemen jaringan tertentu. Jenisnya terdiri dari dua macam, yakni elemen jaringan pasif seperti menara, shelter, serta power supply. Kedua, yakni elemen jaringan aktif seperti BTS (Radio Access Network-RAN), switching/core, dan antena.

Kedua, Pasal 25 revisi PP Nomor 53 Tahun 2000 mengatur soal pemberian izin pindahtangan atas frekuensi atau spektrum yang dikuasai operator telekomunikasi. Persoalannya, frekuensi merupakan sumber daya terbatas yang dimiliki oleh negara dan tidak bisa diperdagangkan atau dialihkan.

Tidak terbukanya draf revisi aturan tersebut juga terkonfirmasi dari pernyataan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Danny Buldansyah. Dalam forum, Vice President Director Hutchinson 3 Indonesia itu mengakui bahwa belum menerima draf revisi PP tersebut. Sehingga, isi keseluruhan dari kedua regulasi tersebut belum diketahui secara utuh.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR, Hanafi Rais mengatakan bahwa kedua regulasi tersebut jelas melanggar ketentuan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Misalnya mengenai draf yang menyebutkan bahwa frekuensi dapat dipindahtangankan berdasarkan keputusan Menkominfo. Menurutnya, ketentuan tersebut jelas melanggar substansi UU Nomor 36 Tahun 1999 dimana secara terang mengatur bahwa frekuensi dikuasai tunggal oleh negara.

“DPR selalu dilibatkan ketika sesuatu sudah menjadi polemik,” kata politikus Partai Amanat Nasional itu. (Baca Juga: Sidang Putusan Perkara Kemenkominfo Ditunda)

Ke depan, lanjut Hanafi, Komisi I berencana menggelar rapat khusus yang akan membahas mengenai kedua regulasi tersebut. Ia berharap agar Menkominfo Rudiantara hadir dan mau memberikan penjalasan secara jelas mengenai persoalan tersebut. Sebab, Hanafi menilai Rudiantara dalam rapat-rapat sebelumnya seolah ‘menghindar’ ketika disinggung mengenai network sharing dan frequency sharing dalam rapat. “Untuk bersepakat agar tidak tabrak UU Telekomunikasi. Bisa saja nanti dibentuk Panja,” ujarnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berpendapat bahwa kedua regulasi tersebut secara hukum bisa dipastikan bermasalah. Secara kedudukan, setiap PP mestinya menjabarkan secara lebih lanjut dari aturan di atasnya, yakni undang-undang. Sebab, undang-undang secara substansi memang dibuat seumum mungkin. “Siapkan draf tandingan agar yang bolong-bolong itu bisa diperbaiki,” tambahnya.

Dalam kapasitasnya mewakili Menkominfo Rudiantara, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), I Ketut Prihadi mengakui bahwa pembahasan kedua revisi regulasi itu kurang transparan. Namun, ia tak bisa memastikan alasan pembahasan tersebut dilakukan secara kurang transparan. Sepanjang yang ia tahu, draf kedua RPP tersebut masih berada di meja Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian. “Saat ini masih di Menko Perekonomian,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait