Silang Pendapat Pengacara Atas Dualisme Kelembagaan BANI
Utama

Silang Pendapat Pengacara Atas Dualisme Kelembagaan BANI

Dualisme lembaga di BANI tidak berpengaruh terhadap praktik penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase karena pada prinsipnya arbitrase didasarkan pada kesepakatan.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
ilustrasi BANI pecah. ilustrasi: BAS
ilustrasi BANI pecah. ilustrasi: BAS

Perpecahan bukanlah hal baru dalam sebuah organisasi profesi hukum. Dalam dunia advokat, misalnya. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) kini terpecah menjadi tiga. Ada PERADI yang dipimpin Fauzie Yusuf Hasibuan, ada PERADI yang dipimpin Juniver Girsang, dan ada PERADI yang dipimpin Luhut Pangaribuan. Belakangan, perpecahan juga terjadi di organisasi arbitrase. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ‘terbelah’ menjadi dua, yakni BANI versi Mampang dan BANI Pembaharuan atau Sovereign.

Pasca diresmikannya BANI Pembaharuan pada 8 September 2016, muncul pertanyaan publik, apakah hal ini akan berpengaruh terhadap praktik penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase? Dua pengacara yang memiliki pengalaman beracara di arbitrase memiliki pandangan berbeda terkait hal ini.

Adalah Sarmauli Simangunsong, pengacara yang bekerja pada firma hukum Nindyo & Associates. Perempuan yang biasa disapa Sarma ini mengatakan, fenomena lahirnya BANI Pembaharuan bukan merupakan bentuk perpecahan BANI, tetapi dibentuknya lembaga arbiter baru dengan nama BANI Pembaharuan.

Menurutnya, dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak diatur secara tegas tentang pendirian lembaga arbitrase. Oleh sebab itu, ia berpendapat sah-sah saja mendirikan lembaga arbitrase.

“Pihak yang bersengketa silakan menunjuk lembaga arbitrase yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa dengan kesepakatan dua belah pihak. Klausul arbitrase kan ditentukan pada saat membuat perjanjian, kedua belah pihak mesti sepakat dulu dan jelas disebutkan lembaga arbitrase yang mana. Dalam klausul arbitrasenya harus secara spesifik menunjuk lembaga arbitrase yang mana, BANI atau BANI Pembaharuan” lanjut Sarma.

Pendapat berbeda terlontar dari Bimo Prasetyo, founder & lawyer pada kantor BP Lawyers. Menurutnya, dalam klausul arbitrase tidak perlu disebutkan secara spesifik. “Kalau menurut saya tetap BANI saja. Kalau disebut BANI Sovereign terus pindah alamat, apa tidak repot nantinya untuk menyelesaikan sengketa,” ujar Bimo.

Menurutnya, dualisme lembaga di BANI tidak berpengaruh terhadap praktik penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase karena pada prinsipnya arbitrase didasarkan pada kesepakatan. Hal ini tercermin dari klausul yang sudah disepakati, baik akta van compromise (di awal) ataupun pactum de compromihendo (setelah timbul sengketa). “Tidak membuat gagal atau batalnya proses yang sudah berjalan,” lanjut Bimo. (Baca Juga: BANI Versi Mampang: BANI Pembaharuan Lakukan Perbuatan Melawan Hukum) 

Soal kredibilitas BANI mana yang lebih bisa dipercaya, Bimo lebih menilai kredibilitas BANI Mampang tetap menjadi pertimbangan. Hal ini terkait dengan preseden dan eksistensi kelembagaan BANI itu sendiri. Dia tidak meragukan kapasitas dan kredibilitas BANI Mampang karena selain memenuhi syarat sebagai arbiter, BANI Mampang memiliki pengalaman internasional dan nasional. “Justru kalau soal kapasitas ini menjadi pertanyaan untuk lembaga yang baru,” ujar Bimo. (Baca Juga: BANI Berbadan Hukum Launching, Kini BANI Resmi Ada Dua)

Sekadar catatan, mengenai keanggotaan arbiter di BANI Pembaharuan, Anita Kolopaking selaku Ketua Dewan Pengawas BANI Pembaharuan menjelaskan bahwa arbiter yang terdaftar di BANI versi Mampang juga merupakan arbiter yang tercatat di BANI Pembaharuan.

Terkait dengan statement Anita Kolopaking itu, Bimo berpendapat bahwa arbiter yang ada di BANI Pembaharuan sendiri tidak ingin kalau pengalaman mereka di BANI sebelumnya tidak diakui. “Iya toh dari pernyataannya kan terlihat, mereka (BANI Pembaharuan, -red) sendiri kan tidak mau pengalaman sebelumnya selama berkiprah di BANI Mampang tidak diakui,” kata Bimo. 

Namun, Sarmauli Simangunsong memberikan alternatif lain. Menuutnya, penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase tidak selalu harus menunjuk lembaga arbitrase dalam klausul perjanjian. “Jadi kan tiap lembaga arbitrase punya hukum acaranya sendiri-sendiri. Apabila dalam klausul perjanjian sudah menunjuk BANI, artinya sudah sepakat untuk menundukkan diri pada hukum acaranya BANI,” ujar Sarma.

Menurut Salma, para pihak yang bersengketa bisa saja bersepakat untuk menggunakan majelis ad hoc. Artinya, tidak perlu menundukkan diri pada hukum acara dari lembaga arbitrase manapun, tetapi bisa membuat hukum acara sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak.

Salma menjelaskan, majelis ad hoc ini terdiri dari dua orang arbiter yang masing-masing ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa. Kemudian, dua orang arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak ini bersepakat untuk menunjuk satu arbiter lain yang akan bertugas sebagai Ketua Majelis ad hoc. Dengan demikian, menurut Salma, para pihak tidak perlu mengkhawatirkan ketiga arbiter yang bertugas ini berafiliasi pada lembaga arbitrase mana. 

Sekadar ingatan, ‘perpecahan’ organisasi arbitrase bukan hanya terjadi di BANI. Di sektor olah raga, Indonesia memiliki dua badan arbitrase, yakni Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) dan Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI). BAKI dibentuk oleh Komite Olahraga Indonesia (untuk cabang-cabang yang dipertandingkan dalam olimpiade), sedangkan BAORI dibentuk melalui KONI. (Baca Juga: Dualisme Arbitrase Olahraga Indonesia Harus Diakhiri). 

Tags: