Ini Kekhawatiran Menhan Bila TNI Berpolitik
Berita

Ini Kekhawatiran Menhan Bila TNI Berpolitik

Keinginan Panglima TNI dinilai bertentangan dengan semangat reformasi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Permintaan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo agar prajurit TNI dapat berpolitik terus menunai kritik. Tak saja dari kalangan parlemen, pihak eksekutif pun menunjukan ketidaksetujuannya. Hal itu ditunjukan oleh pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu di Gedung Parlemen, Senin (10/10).

“Sekarang tidak boleh, kondisi pecah belah begini nanti TNI terpecah belah. Partai-partai tak semua solid,” ujarnya.

Menurutnya, keinginan Panglima TNI agar para prajurit diberikan hak politik dirasa belum pas waktunya. Malahan Ryamizard keukeuh TNI tak boleh berpolitik praktis. Pasalnya kondisi perpolitikan Indonesia dinilai belum memungkinkan untuk memberikan hak politik terhadap TNI.

Ia khawatir bila TNI diberikan hak politik bakal berdampak di internal TNI. Pasalnya, bukan tidak mungkin masing-masing kubu di TNI bakal mendukung partai sesuai selera dan kepentingannya. Akibatnya, persatuan dan kesatuan rawan dan berpotensi terpecah belah. “Jangan sampai nanti ada TNI PDIP, TNI Golkar, TNI apa nanti perang sendiri,” katanya.

Meski terdapat pihak yang menilai waktu 10 atau 15 tahun ke depan dengan kondisi politk bakal mengalami perbaikan, belum pula menjadi jaminan TNI dapat berpolitik praktis. Berbeda dengan negara lain, mereka sudah matang dengan kondisi perpolitikan yang memungkinkan prajurit tantara diberikan hak politik.

“Kalau negara lain mungkin paham, gak ada kayak gini, kalau sekarang bisa pecah,” katanya. (Baca Juga: TNI Berpolitik Praktis, Wakil Ketua DPR: Tak Bisa!)

Lebih jauh, mantan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) mengatakan hak politik seseorang habis sudah ketika memutuskan masuk menjadi prajurit TNI. Termasuk, mesti taat dengan aturan di TNI. Namun bila terdapat utusan TNI di MPR, ia mengaku setuju.
“Tapi tidak berpolitik praktis. Tetapi politik menyatukan bangsa,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III Desmon Junaedi Mahesa keinginan Panglima TNI justru bertentangan dengan semangat reformasi. Pengalaman buruk TNI ketika berpolitik praktis justru berpihak pada kelompok politik tertentu. Akhirnya, prajurit TNI terpecah menjadi kelompok-kelompok. Padahal, semangat reformasi menginginkan TNI tidak lagi berpolitik agar tidak memihak kelompok tertentu dalam kekuasaan

‎”Ada proses reformasi yang tidak dipahami oleh pimpinan negara ini. Jadi yang salah semangat reformasinya, tapi yang salah adalah, kenapa TNI tidak diberikan fasilitas yang baik dalam konteks pertahanan, baik kesejahteraan, tempat latihan, sistem, mutasi, dan lain-lain,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan memahami keinginan TNI terlibat dalam politik. Pasalnya terjadi kecemburuan TNI dengan kesatuan lain, kepolisian misalnya. Sebab, kepolisian sedang menikmati banyaknya akses yang diberikan kepala negara.

Sebaliknya di era orde baru, TNI banyak mendapat rente. Ia menilai bila dikerucutkan, semua berjung pada nilai materi yang didapat. Makin banyaknya akses yang diberikan, maka banyak pula meraup keuntungan materi. (Baca Juga: Dua Hal yang Luput dari Reformasi TNI)

Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai aspirasi Panglima TNI berlebihan. Terlebih keinginan TNI berpolitik menambah daftar keinginan buruk TNI yang sudah menjadi rahasia umum di ruang publik.

“Bagi saya, aspirasi Panglima TNI sudah off side dan menggenapi daftar keinginan buruk TNI yang sdh banyak dikemukakan di ruang publik untuk kembali mendominasi tugas keamanan termasuk kehendak untuk kembali berpolitik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait