Penilaian Hukuman Mati dan Penolakan Grasi Harus Jelas
Berita

Penilaian Hukuman Mati dan Penolakan Grasi Harus Jelas

Revisi KUHP mencoba jalan tengah untuk penerapan hukuman mati.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Praktisi hukum dan pegiat HAM Todung Mulya Lubis. Foto: RES
Praktisi hukum dan pegiat HAM Todung Mulya Lubis. Foto: RES
Praktisi hukum dan pegiat HAM, Todung Mulya Lubis, mengatakan parameter penilaian terhadap seseorang dipidana mati harus jelas dan rinci. Demikian pula parameter yang dipakai Presiden saat menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana mati. Penilaian harus dilakukan secara objektif, dan diatur secara tegas.

Menurut Todung, jika tidak ada parameter penilaian yang jelas hukuman mati bisa menjadi ‘barang dagang’ dalam proses persidangan yang belum fair. Terpidana mati yang punya kemampuan ekonomi baik lebih berpeluang mengubah hukumannya menjadi seumur hidup atau 20 tahun dengan dalih kelakuan baik. Sebaliknya, mereka yang tak ‘berpunya’ akan mengalami kesulitan untuk dikualifikasi sebagai napi berkelakuan baik.

Ia berharap jangan sampai terpidana mati yang telah berkelakuan baik tidak diakui karena tidak punya kemampuan ekonomi. "Maka penting untuk diatur apakah di dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Jangan penilaian selama 10 tahun itu 'diperdagangkan,' sehingga orang yang punya uang menjadikan itu sebagai obyek,"  ujarnya.

Mulya bercerita ketika menjadi kuasa hukum bagi terpidana mati Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, pihaknya tidak mendapat alasan yang jelas kenapa grasi yang mereka ajukan ditolak. Padahal Myuran dan Andrew sudah berkelakuan baik dipenjara. Itu sudah dibuktikan lewat pengakuan Kepala lapas dan narapidana. Sayangnya, hal itu tidak menjadi pertimbangan padahal sudah dipaparkan dalam permohonan grasi yang diajukan. (Baca: Pertimbangan Grasi Perlu Diperjelas).

Mulya heran, apa mekanisme yang digunakan untuk menilai permohonan grasi. Dia mencatat pasca permohonan itu dilayangkan, tidak ada tim yang diterjunkan baik oleh Presiden atau MA untuk mengklarifikasi apakah kedua terpidana mati itu sudah berkelakuan baik atau belum. Ujungnya, permohonan grasi ditolak tanpa alasan yang jelas.

Hukuman mati telah menjadi perdebatan juga di kalangan anggota DPR dan Pemerintah saat membahas revisi KUHP. Pasal 91 RUU KUHP membuka peluang bagi terpidana mati untuk ditunda pelaksanaan hukumannya dengan masa percobaan 10 tahun. Jika dalam masa percobaan itu menunjukkan sikap terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi seumur hidup atau paling lama 20 tahun..

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan RUU KUHP usulan Pemerintah mengakomodasi jalan tengah soal hukuman mati. Jalan tengah karena saat ini ada kelompok yang menginginkan hukuman mati tidak dicantumkan dalam KUHP, ada juga yang mengusulkan sebaliknya. Selain itu ada kelompok yang posisinya di tengah-tengah yaitu hukuman mati dilaksanakan dengan aturan yang ketat.

Arsul melihat dalam pembahasan revisi KUHP 8 fraksi menerima usulan pemerintah tentang hukuman mati sebagaimana tertulis dalam draft RUU KUHP. Selain itu Fraksi Partai Demokrat minta pidana mati dihapus dan Fraksi PDIP menerima usulan pemerintah itu dengan syarat penghormatan terhadap HAM.

Tapi jika usulan pemerintah itu diterima, dikatakan Arsul, perdebatan berikutnya yakni siapa yang berhak mengubah vonis hukuman mati itu menjadi penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun. DPR tidak sepakat jika kewenangan itu diberikan kepada Presiden atau Menteri. "Kami ingin itu dilakukan lewat lembaga pengadilan," katanya dalam diakusi di kampus Paramadina Jakarta, Senin (10/10).
Tags:

Berita Terkait