Penerjemah Tersumpah, Profesi ‘Peninggalan Kolonial’ yang Kembali Eksis
Berita

Penerjemah Tersumpah, Profesi ‘Peninggalan Kolonial’ yang Kembali Eksis

Telah ada sejak pemerintahan kolonial hingga berhenti sementara di tahun 2011. Kini, profesi ini mulai menunjukkan taringnya pasca diterbitkannya Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Hendra Andy Satya Gurning. Foto: NNP
Hendra Andy Satya Gurning. Foto: NNP
Tahukah kalian siapa penerjemah tersumpah itu? Pada prinsipnya, penerjemah merupakan seseorang yang memiliki keahlian melakukan terjemahan. Menjadi tersumpah, adalah ketika seorang penerjemah tersebut diangkat sumpahnya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Singkatnya, mereka melakukan terjemahan terhadap teks-teks hukum.

Belakangan, profesi ini kembali mencuat khususnya setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah. Menjadi menarik, tatkala pengangkatan dan penyumpahan profesi ini ternyata sudah berhenti sejak tahun 2011. Lantas ada apa sebenarnya?

Kepala Sub Direktorat Hukum Perdata Umum Direktorat Jenderal AHU Kementerian Hukum dan HAM, Hendra Andy Satya Gurning mengatakan bahwa telah terjadi kekosongan hukum dalam hal pemberian layanan pengangkatan dan penyumpahan penerjemah tersumpah. Selama ini, lanjutnya, yang menjadi rujukan masih mengacu ke Staatsblad 1859 Nomor 69 tentang Sumpah Para Penerjemah dan Staatsblad 1894 Nomor 16 tentang Para Penerjemah.

“Intinya kita coba agar tidak terjadi kekosongan layanan kepada masyarakat. Sebelumnya gak tau mau ke mana. Ke Pemda ditolak, di Kumham tidak dilayani karena kita tak ada rules-nya. Itu hanya dari segi administrasi tata cara pengangkatan,” ujar Hendra saat hukumonline berkunjung ke kantornya, akhir September kemarin.

Pada mulanya, lanjut Hendra, penerjemah tersumpah diangkat sumpahnya oleh Secretary Van Justitie. Praktik seperti itu terus berlangsung hingga Indonesia merdeka. Pasca Indonesia merdeka, pengambilan sumpah dilakukan di hadapan pengadilan oleh Kementerian Kehakiman (saat itu masih satu atap dengan lembaga peradilan). (Baca Juga: Begini Isi Permenkumham Soal Penerjemah Tersumpah)

Boleh dikatakan payung hukum pengambilan sumpah juga semata-mata merujuk ke Staatsblad tanpa adanya regulasi bersifat teknis lainnya. Sehingga, sumpah baru dilakukan ketika ada permohonan yang masuk ke pengadilan. Tanpa permohonan, maka tidak ada pengambilan sumpah karena penyumpahan bukan merupakan salah satu layanan di pengadilan.

Beberapa tahun kemudian, terjadi perubahan teknis penyumpahan profesi penerjemah tepatnya pasca diterbitkannya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu poin dalam aturan, yakni pemisahan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan kehakiman (yudikatif) itulah yang menggeser teknis penyumpahan dari sebelumnya di hadapan pengadilan menjadi oleh Kepala Daerah. (Baca Juga: Prosedur Menjadi Penerjemah Tersumpah)

Pola pengangkatan oleh Kepala Daerah inilah yang kemudian terus dilakukan sampai Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016 terbit. Catatan hukumonline, untuk menjadi penerjemah tersumpah mesti mengikuti dan lulus Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP) yang diselenggarakan salah satunya oleh Lembaga Bahasa Internasional Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (LBI-FIBUI) dan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Bila memenuhi nilai di atas 80, maka Gubernur DKI Jakarta akan mengambiil sumpah dan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatannya.

Namun, pengangkatan oleh Gubernur DKI Jakarta bukan satu-satunya, Kementerian Hukum dan HAM mencatat pengangkatan serupa juga dilakukan di Surabaya oleh Gubernur Jawa Timur. Dasar hukum yang menjadi acuan keduanya sama, yakni Staatsblad 1859 Nomor 69.

Sayangnya, pengangkatan oleh Gubernur DKI ternyata telah berhenti sejak tahun 2011 silam setelah Pemprov DKI melakukan kajian singkat yang pada intinya menyatakan bahwa pengangkatan dan penyumpahan merupakan ranah dari eksekutif. Dan kajian itupun disampaikan kepada Kemenkumham.

Dari situ, Ditjen AHU Kemenkumham juga melakukan kajian. Hal pertama yang dilakukan adalah penelurusan payung hukum yang digunakan oleh dua daerah, yakni Jakarta dan Surabaya saat melakukan pengangkatan. Hasilnya, tak ditemukan satupun ketentuan semisal Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar hukum menyoal penerjemah tersumpah. Alhasil, Kemenkumham mengkaji sebatas kalimat per kalimat dalam Staatsblad 1859 Nomor 69 dan Staatsblad 1894 Nomor 16 tentang Para Penerjemah.

“Kita coba menyusun peraturan menteri (Permenkumham) karena SK-SK pengangkatan oleh Kepala Daerah itu sifatnya policy, ngga ada dasar ketentuan di daerah semacam Perda yang mengatur tentang penerjemah tersumpah, cantolan mereka mengacu kepada Staatsblad,” katanya.

Hendra menjelaskan bahwa draf rancangan Permenkumham telah ada sejak tahun 2012. Waktu itu, dibentuk tim untuk mengkaji dan menyusun aturan tersebut di bawah Seksi Penerjemah Tersumpah di AHU Kemenkumham. Pembahasan sempat terhenti, lalu kembali intens dibahas mulai tahun 2014. Poin utama yang ketika itu mau dituju adalah menyoal bagaimana Menkumham benar-benar mengangkat penerjemah tersumpah yang punya kualitas yang baik.

Dari beberapa kali menggelar uji pubik dengan mengundang sejumlah universitas yang memiliki fakultas bahasa, akhirnya disepakati aturan terbaru ini hanya sebatas menentukan kriteria formil yang mesti dipenuhi setiap orang yang ingin diambil dan diangkat sumpahnya. Sementara, soal teknis penyelenggaran ujian, standar kualifikasi diberikan sepenuhnya kepada perguruan tinggi, Kemenristek Dikti, dan asosiasi profesi penerjemah tersumpah.

“Karena Permenkumham ini tidak mengatur sampai sejauh itu, kita menyandarkan pada formalnya saja, sepanjang ada orang kasih sertikat lulus ujian kualifikasi, itu akan kita proses permohonanya untuk diangkat dan disumpah,” sebutnya. (Baca Juga: Urgensi Penerjemah di Pengadilan)

HPI Dibentuk
Sejalan dengan awal mula eksisnya profesi penerjemah, tepat pada 5 Februari 1974 resmi didirikan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Saat itu, HPI berdiri atas prakarsa sejumlah anggota Dewan Kesenian Jakarta, pengurus TIM, serta Direktorat Pendidikan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan serta perwakilan UNESCO di Jakarta yang digawangi oleh Ali Audah selaku Ketua HPI angkatan pertama.

Perjalanan wadah profesi penerjemah ini sempat meredup, mereka sempat ‘mati suri’ beberapa waktu sampai akhirnya kembali hidup di tahun 2000 yang ketika itu di bawah kepemimpinan Benny H Hoed. Fase ini menjadi awal mula kebangkitan di mana HPI memperluas cakupan keanggotaan dengan memasukan penerjemah dokumen dan juru bahasa. Selain itu, fokus HPI juga tak hanya mencarikan pekerjaan bagi anggota melainkan fokus melakukan peningkatan mutu penerjemah dan juru bahasa.

Kiprah wadah ini tak cuma di dalam negeri, HPI juga menjadi anggota dari International Federation of Translators (IFT), wadah dari organisasi-organisasi profesi penerjemah internasional. HPI juga cukup aktif mengikuti sejumlah kongres sejak tahun 1984 hingga yang terakhir pada tahun 2014 di Berlin, Jerman. Sebelumnya, berdasarkan mandat dari IFT, HPI menggelar event tiga tahunan Forum Penerjemah Asia ke-5 di Bogor pada 11-12 April 2007 silam.

Terkait dengan sertifikasi sendiri, di bawah kepemimpinan Hendarto Setiadi, HPI berhasil memperkenalkan Tes Sertifikasi Nasional yang pertama kalinya diselenggarakan pada 17 Juli 2010 di Jakarta. Kini, HPI dipimpin oleh Hananto Sudharto. Hananto resmi menjabat sebagai Ketua HPI sejak 2014 setelah menggantikan posisi Djoko Rahadi Notowidigdo yang mundur karena alasan kesehatan.

Belum ada Penyumpahan
Pasca berlakunya aturan ini, Ditjen AHU Kemenkumham mengaku belum menggelar pengangkatan dan penyumpahan. Hal itu, kata Hendra, lantaran Kemenkumham masih menunggu revisi biaya PNBP yang saat ini masih dibahas tarifnya. Meski begitu, Hendra berharap agar penerjemah yang telah memenuhi kualifikasi agar segera memohonkan pengangkatan dan penyumpahan.

“Sekarang masih digodok di Kementerian Keuangan. Karena ini profesi yang belum banyak, sehingga kita harapkan penyebarluasan meluas,” katanya.

Upaya menyebarluaskan informasi terus dilakukan, seperti misalnya beberapa waktu lalu melakukan sosialisasi ke daerah-daerah terutama yang memiliki fakultas bahasa. “Kita kampanye, penerjemah adalah kualitas. Pemerintah tidak menjamin isi dari terjemahan. Kalau salah, konsekuensinya tidak laku si penerjemah. Pemerintah tidak beri sanksi karena kualitas terjemahan, kita harapkan HPI punya kode etik,” tutupnya. 
Tags:

Berita Terkait