Praktisi Hukum Ini Anggap Landasan Konstitusi Pengampunan Pajak Keliru
Berita

Praktisi Hukum Ini Anggap Landasan Konstitusi Pengampunan Pajak Keliru

Apa kabar ya penanganan kasus Panama Papers?

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Pengampunan pajak terus dipersoalkan antara lain melalui MK. Kini, landasan konstitusional UU Pengampunan Pajak juga dipersoalkan. Foto: MYS
Pengampunan pajak terus dipersoalkan antara lain melalui MK. Kini, landasan konstitusional UU Pengampunan Pajak juga dipersoalkan. Foto: MYS
Mahkamah Konstitusi masih menyidangkan sejumlah permohonan pengujian UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak terhadap UUD 1945. Seolah tak terganggu permohonan judicial review itu, Pemerintah terus melakukan program pengampunan pajak, dan kini sudah memasuki periode kedua.

Ada beragam argumen yang dibangun para pemohon pengujian UU Pengampunan Pajak. Argumen mengenai keadilan, misalnya, digaungkan kalangan buruh. Para pekerja mengklaim terus menerus dipotong pajak dari gaji, tetapi yang diberi pengampunan pajak justru wajib pajak yang selama ini cenderung tak melaporkan hartanya dengan benar. (Baca: Menengok Kembali Perjalanan UU Tax Amnesty).

Selain itu, UU Pengampunan Pajak pada hakikatnya lebih sebagai ‘pengampunan’ ketimbang mengatur pemungutan pajak. Karena itu, praktisi hukum Hermawanto menganggap landasan konstitusional yang dipakai UU Pengampunan Pajak keliru.

Konsiderans UU Pengampunan Pajak menyebut Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Ini adalah landasan konstitusional pembentukan peraturan perundang-undangannya. Disebutkan pula Pasal 23A UUD 1945, yakni landasan konstitusional pungutan pajak. Pasal ini menegaskan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Hermawanto berpendapat landasan konstitusional ini kurang pas. Keliru karena, kata mantan Direktur LBH Jakarta ini, dasar pijakan yang pas adalah Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menegaskan “Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”. UU Pengampunan Pajak harus dilihat sebagai bagian dari amnesti.

“Harusnya kalau mau bicara pengampunan pajak atau amnesti, dasar hukumnya adalah Pasal 14 ayat (2). Tetapi ternyata yang digunakan sebagai dasar hukum Pasal 23A,” kata Hermawanto dalam diskusi di Jakarta, Senin (10/10).

Intinya, pengampunan pajak tak seharusnya merujuk pada penarikan atau pungutan pajak. Pengampunan dan pungutan pajak adalah dua hal yang berbeda. “Kalau menarik (pajak) ‘kan berarti dapat uang banyak, kalau pengampunan ‘kan kita mengurangi hak-hak kita. Jadi itu menurut saya dasar hukum keliru. Dari sini saja UU Pengampunan Pajak sudah salah,” jelasnya.

Atas dasar itu Hermawanto berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU Pengampunan Pajak. Kalau menggunakan perspektif normatif, Hermawanto yakin Mahkamah akan mengabulkan. Sebaliknya, jika menggunakan perspektif lain, seluruh permohonan bisa saja ditolak. Argumen yang paling aman adalah menyebut pengampunan pajak sebagai kebijakan terbuka (open legal policy).

Panama Papers?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finansial (Indef) Bima Yudhistira mengatakan dengan adanya program pengampunan pajak, peringkat daya saing Indonesia akan menurun. Banyaknya perolehan uang tebusan tidak bisa dijadikan pencapaian, tetapi justru menjadi bukti bahwa administrasi perpajakan di Indonesia belum baik.

Bima juga mempertanyakan perkembangan penanganan kasus  Panama Papers yang sempat menghebohkan dunia. Dalam daftar tersebut, terdapat nama-nama pengusaha Indonesia. Namun sejak program pengampunan pajak bergulir, ratusan nama pengusaha dalam daftar Panama Papers justru tak terdengar.

“Secara ekonomi, uang dari pengampunan pajak ini berpotensi jadi buble karena kredit lesu dan bank malas memberikan kredit, tetapi hibah dari hasil Surat Utang Negara (SUN) masih tinggi. Saya curiga, jangan-jangan uang dari tax amnesty ini didesain untuk membeli SUN yang diterbitkan pemerintah,” imbuhnya.

Menurut Bima, pemerintah memiliki jalan lain untuk menutupi defisit APBN. Salah satunya adalah dengan memaksimalkan masukan dari sektor PPN. Berdasarkan data yang dimilikinya, terdapat kebocoran senilai Rp221 triliun dari sektor PPN pada 2015 lalu.

Kebocoran ini, lanjut Bima, disebabkan oleh tiga hal yakni naiknya nilai pengusaha tidak kena pajak dari Rp600 juta menjadi Rp4,8 miliar, banyak produk yang dikecualikan dari PPN, dan faktur fiktif.
Tags:

Berita Terkait