Simak 7 Temuan Hasil Eksaminasi Putusan Mary Jane
Berita

Simak 7 Temuan Hasil Eksaminasi Putusan Mary Jane

Mary Jane diyakini sebagai buruh migran yang terjebak perdagangan orang.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Simak 7 Temuan Hasil Eksaminasi Putusan Mary Jane
Hukumonline
Perempuan asal Filipina, Mary Jane Veloso, masih bernasib baik. Ia belum jadi dieksekusi di depan regu tembak meskipun namanya termasuk dalam daftar eksekusi mati. Menjelang detik-detik terakhir, pemerintah memutuskan eksekusi Mary Jane ditunda.

Sejumlah kalangan memang mendesak Pemerintah meninjau ulang eksekusi mati. Sebelum Pemerintah memutuskan menjalankan vonis mati yang ditetapkan pengadilan, seharusnya ada review untuk memastikan apakah seseorang menjalani proses peradilan yang adil (fair trial) atau tidak. Ada kekhawatiran sejumlah terdakwa dipidana mati di bawah proses yang tidak adil dan penuh kejanggalan.

Sidang perkara Mary Jane salah satu yang dikaji. Sebuh tim ahli hukum telah diminta melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan Mary Jane. LBH Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI) memfasilitasi eksaminasi itu.

Advokat publik LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan kasus Mary dipilih karena bisa memberikan gambaran lengkap mengenai hukuman mati, kondisi peradilan yang belum optimal menerapkan prinsip fair trial dan masalah buruh migran. "Kami memilih kasus Mary Jane karena memberi gambaran yang cukup terkait hukuman mati, fair trial dan buruh migran, " katanya dalam acara eksaminasi putusan hukuman mati Mary Jane di LBH Jakarta, Rabu (12/10).

Mary Jane dijatuhi hukuman mati karena dituduh menjadi perantara dalam jual beli heroin yang beratnya lebih dari 5gram. Vonis itu dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Sleman pada 11 Oktober 2010. Pengadilan tingkat Mahkamah Agung (MA) juga menguatkan putusan itu. Advokat publik LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan PK pertama dan kedua yang diajukan Mary Jane ditolak.

Tim eksaminasi menemukan 7 kejanggalan perkara Mary Jane. Arif mengatakan putusan Mary jane dipilih untuk dieksaminasi karena perkaranya. Mari simak hasilnya.

Pertama, Mary Jane diyakini sebagai korban perdagangan manusia. Awalnya, ia dijanjikan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia. Setibanya di Malaysia, ia diminta temannya bernama Christine pergi ke Yogyakarta untuk membawa tas. Ia akhirnya ditangkap petugas di Yogyakarta.

Kedua, dalam menjalani proses hukum Mary Jane tidak mendapat juru bahasa yang mumpuni. Mary Jane hanya bisa berbahasa Tagalog. Ketiadaan juru bahasa yang kompeten itu melanggar sebenarnya Pasal 53 KUHAP. Berarti ia tak mendapatkan hak sebagaimana mestinya.

Ketiga, kekuatan pembuktian oleh saksi penyidik (saksi verbalisan). Keterangan penyidik sebagai saksi memang mempunyai nilai pembuktian yang sama dengan alat bukti saksi lainnya asal memenuhi ketentuan pasal 1 ayat 27 KUHAP. Tapi, posisi penyidik sebagai saksi rawan konflik kepentingan karena ia adalah pihak yang melakukan penangkapan, dan pemeriksaan terhadap Mary Jane sebagai terdakwa. (Baca: Apakah Penyidik dapat Dijadikan Saksi di Persidangan?)

Keempat, hak atas bantuan hukum terhadap Mary Jane kurang maksimal. Saat dilakukan penyidikan untuk BAP, Mary Jane selaku tersangka tidak didampingi penasihat hukum. Penasihat hukum yang ditunjuk Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta baru hadir di hari kedua, menandatangani BAP. Pada tahap persidangan di PN Sleman, penasihat hukum tidak mengajukan pembuktian dan pembelaan. Hal ini dinilai bertentangan dengan pasal 69 KUHAP.

Kelima, terjadi actus reus dan mens rea dalam perkara Mary Jane. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebut Mary Jane mengetahui tas yang dibawanya dari Malaysia itu berisi narkotika. Majelis menilai Mary Jane tidak dapat membuktikan kebenaran kalau dia tidak mengetahui isi tas tersebut. Sejak pemeriksaan pertama penyidikan hingga pengadilan, Mary Jane konsisten dengan pernyataannya yang menyebut dia tidak mengetahui isi tas itu narkotika.

Melihat pertimbangan hakim yang  menggunakan pernyataan Mary Jane  sebagai alat bukti. Mestinya hakim merujuk Pasal 189 ayat (2) KUHAP yang mengatur keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan. Intinya, tidak alat bukti yang menguatkan Mary jane sebagai perantara bisnis narkotika.

Keenam, pembebanan pembuktian oleh terdakwa. Hasil eksaminasi menemukan majelis hakim membebankan Mary Jane sebagai terdakwa untuk melakukan pembuktian atas ketidaktahuannya adanya narkotika di dalam tas. Mengacu Pasal 66 KUHAP, terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam pemeriksaan sidang karena itu kewajiban penuntut umum.

Ketujuh, upaya peninjauan kembali (PK). PK pertama yang diajukan Mary Jane ditolak pada 25 Maret 2015. Mengacu putusan MK No.34/PUU-XI/2013 yang membatalkan pasal 268 ayat (3) KUHAP, Mary Jane mengajukan PK kedua pada 27 April 2015. Tapi PK kedua itu ditolak PN Sleman dengan dalih SEMA No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan PK hanya boleh satu kali. Putusan MK kedudukannya lebih tinggi daripada SEMA.

Pengacara publik LBH Jakarta lainnya, Eny Rofiatul, mengatakan proses hukum yang dilalui tidak peka melihat posisi Mary Jane sebagai buruh migran yang terjerat kemiskinan sehingga rawan terjebak perdagangan orang. Seharusnya, kata Eny, penyidik lebih dulu mengusut dugaan kasus perdagangan orang yang dialami Mary Jane. Sayangnya itu tidak dilakukan, yang dikedepankan hanya perkara narkotika.  Aparat penegak hukum tidak mengkonfirmasi apakah Mary Jane sebagai perantara bisnis narkotika atau lainnya.

Menurut Eny, hukuman mati yang dijatuhkan kepada Mary Jane berdampak buruk terhadap diplomasi Indonesia dalam membela buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Tercatat ada 281 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.

Namun, Pemerintah masih punya peluang untuk memperbaiki kondisi itu dengan cara membuat terobosan seperti mengabulkan grasi atau PK para terpidana mati yang mengalami ketidakadilan seperti Mary Jane.
Tags:

Berita Terkait