MK Putuskan Penderita Gangguan Jiwa Permanen Tak Bisa Ikut Pilkada
Berita

MK Putuskan Penderita Gangguan Jiwa Permanen Tak Bisa Ikut Pilkada

Praktiknya, akan sulit bagi penderita gangguan jiwa atau ingatan mengantongi surat keterangan tidak cakap untuk memilih.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Putuskan Penderita Gangguan Jiwa Permanen Tak Bisa Ikut Pilkada
Hukumonline
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) terkait larangan pemilih gangguan ingatan. Dalam putusannya, Mahkamah menafsirkan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada, penderita gangguan jiwa atau ingatan permanen yang tidak bisa terdaftar sebagai pemilih dalam pilkada sepanjang ada surat keterangan ahli kejiwaan.

“Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa ‘terganggu jiwa/ingatannya’ tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 135/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Kamis (13/10).

Sejumlah masyarakat sipil seperti Jenny Rosanna Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat, Hj. Ariani dari Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), dan Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mempersoalkan larangan penderita gangguan ingatan atau disabilitas gangguan mental (stress) untuk memilih dalam Pilkada yang diatur Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada.

Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada berbunyi: “Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya.” Pasal itu dinilai diskriminatif dan menghilangkan hak pilih warga negara yang mengidap psikososial atau disabilitas mental.

Menurutnya, gangguan psikososial dan disabilitas gangguan mental bukanlah jenis penyakit yang muncul terus menerus, setiap saat. Pengidap psikososial merupakan penyakit gejala gangguan mental dan gejala hilang ingatan yang bisa hilang sewaktu-waktu dan orang bersangkutan bisa normal kembali. Para pemohon meminta MK agar menghapus berlakunya pasal itu. (Baca juga: Konvensi Disabilitas Jamin Hak Pilih Penderita Gangguan Mental).

Mahkamah menilai rumusan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada telah menyamakan konsekuensi semua kategori penderita gangguan jiwa dan/atau penderita gangguan ingatan. Ketentuan itu menunjukkan indikasi pelanggaran hak konstitusional Pemohon untuk memilih. “Ketika Pasal 57 ayat (3) huruf a dihubungkan dengan ayat (4) yang kebetulan mengatur sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya saat pendaftaran pemilih akan kehilangan hak memilih dalam pemilihan umum periode saat itu,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan.

Menurut Mahkamah pemilihan umum merupakan conditio sine qua non (tak terpisahkan) dari pendaftaran pemilih. Karenanya, perlindungan hak terdaftar sebagai pemilih sama dengan perlindungan hak memilih. Keduanya secara konstitusional dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Untuk itu, Mahkamah menyimpulkan beberapa hal. Pertama, hak memilih dan hak didaftar sebagai pemilih dalam pemilu sebagai hak semua warga negara. Kedua, kegiatan pendaftaran pemilih, wilayah administratif yang tidak langsung berkorelasi dengan terpenuhinya hak pilih. Ketiga, gangguan jiwa dan gangguan ingatan, dua kondisi berbeda meski keduanya beririsan. Keempat, tidak semua orang yang sedang mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan akan kehilangan kemampuan menjadi pemilih. Kelima, ketiadaan pedoman/kriteria dan ketiadaan lembaga/profesi yang tepat untuk menganalisis kejiwaan terhadap calon pemilih mengakibatkan ketentuan a quo berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional.

Tanggung
Kuasa Hukum Para Pemohon, Fadli Ramadhanil mengapresiasipositif pertimbangan hukum putusan MK ini. Sebab, putusan ini sudah memberi jaminan perlindungan hak pilih kepada para penderita disabilitas mental sepanjang tidak ada keterangan ahli kejiwaan (dokter) yang menyatakan bersangkutan mengidap gangguan jiwa permanen.

“Dia (penderita gangguan jiwa) harus didaftar dalam pemilu atau pilkada sepanjang memenuhi syarat,” kata Fadli Ramadhanil usai persidangan di gedung MK.

Namun, dia menilai putusan ini dinilai agak nanggung karena diperkirakan praktiknya agak sulit bagi penderita gangguan jiwa atau ingatan akan bisa mengantongi surat keterangan tidak cakap untuk memilih dalam pemilu atau pilkada. “Ini karena harus ada surat dokter (kejiwaan). Jadi, putusan MK ini agak nanggung yang tidak dituntaskan adalah penghilangan stigma pengidap disabilitas mental. Kenapa pasal ini tidak dibatalkan saja?”

Menurutnya, putusan ini agak sulit diterapkan karena belum ada aturan teknis, pihak-pihak yang bisa mengeluarkan surat keterangan mengidap gangguan jiwa permanen. “Ini agak sulit diterapkan, RS Jiwa juga tidak punya hak. Siapa yang berkewajiban mengeluarkan dalam konteks pemutakhiran daftar pemilih karena hanya disebut ahli kejiwaan, tetapi teknis bagaimana? Kita berharap ini bisa diturunkan peraturan KPU,” katanya.
Tags:

Berita Terkait