Fitra Deni, Notaris dan PPAT yang Berjuang ‘Melawan’ Pungli
Utama

Fitra Deni, Notaris dan PPAT yang Berjuang ‘Melawan’ Pungli

“Tanya aja bagaimana ibu di BPN. Ibu termasuk orang yang dikatakan ditakuti, kritis, dan cerewet. Tapi ibu juga korban".

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Notaris & PPAT Fitra Deni. Foto NNP
Notaris & PPAT Fitra Deni. Foto NNP
Cerita oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sering ‘mengetok’ masyarakat dengan tambahan pungutan di luar biaya resmi agaknya menjadi rahasia umum. Alasannya klasik, uang itu kudu disetor supaya pengurusan dokumen bisa lebih cepat diurus. Bagi yang tidak setor, siap-siap pengurusan dokumen bisa terbengkalai.

Pengalaman serupa nampaknya juga dialami hampir seluruh notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam setiap perbincangan antar rekan se-profesi pun, tak jarang terkuak kisah dipersulit karena tidak setor atau setorannya tidak seusai menjadi sebuah pembahasan. Lantas, adakah dari mereka yang pernah ‘melawan’?

Dalam suatu acara, hukumonline bertemu dengan salah satu sosok notaris dan PPAT yang pernah menentang pola ‘uang paket’ atau ‘uang taktis’, sebutan untuk biaya tidak resmi yang diminta oknum bagian pelayanan sebuah institusi pemerintahan. Sosok itu adalah Fitra Deni, notaris dan PPAT asal Kabupaten Serang yang kini mencoba mencari solusi mengatasi kondisi tersebut.

“Saya alami selama urus dokumen tanah di BPN, itu kita membayar biaya pengurusan tidak pernah yang berdasarkan PNBP. Tapi justru mereka minta uang taktis, istilahnya uang paket,” katanya saat diwawancara di Tangerang Selatan, Kamis (13/10).

Pengalaman tidak enak itu sayangnya terjadi sejak pertama kali ia terjun ke profesi ini. Sekira tahun 2010 silam, Fitra mendapat klien yang memintanya untuk mengurusi dokumen pertanahan. Saat sedang mengurus sendiri dokumen tersebut, ia justru mendapati fakta yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan, yaitu dimintai uang taktis sebagai tambahan biaya. (Baca Juga: Aplikasi LAPOR! Bila Anda Temui Pungli Oknum PNS)

Di hadapan petugas, Fitra bertanya untuk apa peruntukan uang tambahan itu. Ketika itu, si petugas berdalih uang tambahan itu diperuntukkan untuk membayar tenaga honorer yang dipekerjakan oleh institusi pemerintahan itu. Dalam hatinya, Fitra bergumam apa benar uang itu untuk membayar uang pegawai honorer yang dipekerjakan. Merasa tak puas dengan jawaban si petugas, ia justru minta dipertemukan dengan atasan langsung si pegawai itu.

“Sempat ibu berbenturan dengan Kepala Seksi. Karena ibu ga ngerti kirain pembayaran normal-normal saja. Ternyata ibu baru tau di BPN ada biaya taktis,” kata Fitra yang juga pengajar Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Pancasila ini.

Pengalaman yang terjadi kurang lebih enam tahun silam itu agaknya berbekas di benak wanita yang kini menjabat Wakil Ketua Pengda IPPAT Kabupaten Serang. Bagaimana tidak, dalam pertemuan itu, Fitra disemprot dengan kata yang cukup kasar untuk ukuran seorang wanita. Selain itu, permintaanya ditolak dan ia diminta keluar ruangan orang tersebut. 

Kejadian itu bukan kali terakhir, beberapa waktu silam ia kembali menghadapi kejadian yang mirip. Bedanya, kejadian yang ia mesti menghadapi adalah orang yang secara jabatan lebih tinggi dari jabatan sebelumnya. Kenyataannya sama saja, oknum pegawai hingga pejabat yang dihadapi ternyata tidak komitmen dengan aturan yang mestinya mereka pedomani.
“Kami selaku PPAT, berada di posisi yang serba salah. Kalau kita tidak ikuti biaya taktis, itu kita tidak dilayani dengan wajar,” katanya.

Benar saja, Fitra mengungkapkan bahwa masih ada sejumlah dokumen yang telah diurus sejak empat tahun lalu belum selesai hingga saat ini. Untungnya, klien begitu memahami bagaimana kondisi yang terjadi dan tidak mempermasalahkan hal itu. Fitra sendiri mengaku selalu terbuka dengan klien mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam proses pengurusan dokumen yang dimintai tolong kepadanya.

"Ibu dianggap cerewet, dianggap tidak mau mengikuti apa yang dilakukan rekan PPAT, ibu ngga terima itu kalau harus melakukan itu sementara tau kalau PNBP ga sebesar yang mereka minta," kata Fitra. (Baca Juga: Kalangan Notaris dan PPAT Bersuara Soal Operasi Anti Pungli)

Terpaksa Takluk
Tentu harapan yang diinginkan Fitra setelah melawan adalah adanya perubahan. Sayangnya, harapan itu masih belum berhasil diraih. Dan sama seperti rekan notaris dan PPAT yang lain, Fitra terpaksa ‘takluk’ dengan pola yang kadung dianggap lazim oleh kebanyakan orang. Kini, ia akhirnya melakoni sesuatu yang sejatinya sama sekali tak membuatnya nyaman.

“Akhirnya ibu menuruti, tidak bisa melawan,” katanya.   

Kini, harapan Fitra kembali muncul. Mungkin ini pula jawaban dari sikap berani dan benar yang beberapa tahun silam ia lakukan. Presiden Joko Widodo menggagas pembentukan Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), sebuah tim yang akan memberantas segala macam pungli yang merugikan masyarakat. Kemarin Rabu (13/10), telah dilakukan operasi di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Jakarta Pusat dan berhasil menahan sejumlah orang yang diduga melakukan pungli.

Pungli tersebut diduga untuk memuluskan sejumlah proses perizinan terkait Seaferer Identity Document (SID) atau dokumen identitas pelaut. Dari operasi kemarin, Polisi mengamankan enam orang yang terdiri dari pegawai negeri, pegawai harian lepas, dan pihak swasta. Dari enam orang yang diamankan, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Ini momentum kebijakan Presiden Jokowi mesti disikapi dengan cermat oleh BPN, Organisasi IPPAT dan anggotanya. Ini harus bersinergi, tidak bisa itu tanpa kontrol dan hukuman, tidak jalan kebijakan itu,” katanya.
Tags:

Berita Terkait