Advokat Profesi yang ‘Malas’ Ikut Tax Amnesty? Ini Komentar PERADI Fauzie
Berita

Advokat Profesi yang ‘Malas’ Ikut Tax Amnesty? Ini Komentar PERADI Fauzie

Advokat adalah profesi yang melek hukum, sehingga pasti mengetahui konsekuensi ketika melakukan atau tidak melakukan tax amnesty.

Oleh:
Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Salah satu pojok iklan pengampunan pajak. Foto: RES
Salah satu pojok iklan pengampunan pajak. Foto: RES
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa salah satu profesi yang ‘malas’ memanfaatkan program tax amnesty adalah advokat. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) kubu Fauzie Yusuf Hasibuan, Jamaslin James Purba, mengatakan pada dasarnya tax amnesty merupakan program yang disediakan oleh pemerintah untuk pihak yang tidak tertib melakukan pelaporan pajak.

"Tax amnesty sebenarnya diperuntukkan bagi mereka yang tidak melaporkan secara tertib mengenai harta dan pengahasilan,” ujarnya kepada hukumonline.

James mengatakan bahwa semua orang ketika dia menjadi advokat maka wajib memiliki NPWP. “Bahwa setiap transaksi oleh advokat terhadap klien, klien ini punya beban tax juga, misalnya PPn. Kita sebagai advokat wajib melaporkan PPh. Kan sekarang pajak sudah online, ketika kita punya tagihan di proses, itu sudah muncul kewajiban pajaknya karena klien kita dikenakan PPn 10 persen, kemudian online ke kita bahwa kita sebagai penerima uang juga wajib melaporkan terhadap PPh nya," katanya.

Selain itu, James berpendapat bahwa tidak semua advokat hidup kaya raya. Menurutnya, hanya segelintir saja yang bergaya bak artis dan memiliki penghasilan di luar dari perkerjaannya sebagai advokat. Malahan, kata James, ada advokat yang bahkan untuk mempertahankan kantornya saja butuh usaha lebih. Begitu juga advokat yang lebih sering melakukan pekerjaan probono, bagaimana bisa mengikuti tax amnesty.

"Soal tax amnesty bagi yang memiliki harta yang tidak dilaporkan. Walaupun jumlah advokat begitu banyak tidak semua advokat itu punya harta kaya. Misalnya advokat uang banyak melakukan kegiatan probono sifatnya. Bagaimana mau melaporkan, orang tidak ada yang perlu dilaporkan,” terang James.

James mengakui sebagian advokat memang ada yang mentereng atau kaya raya. Tapi, katanya, tidak sampai 1 persen dari advokat di Indonesia yang hidup seperti itu. “Karena persaingan antar advokat ini kan lumayan tinggi. Karena advokat yang satu ada yang kelebihan load pekerjaan, ada yang kesulitan biaya beban kantor," ujarnya. (Baca Juga: Hotman Paris Imbau Para Advokat Ikut Pengampunan Pajak)

Lebih jauh, James mengingatkan bahwa advokat berbeda dengan profesi lain yang sudah jelas memiliki pendapatan yang tercatat setiap bulannya. Kalau advokat, jelas James, tergantung dengan jumlah klien. Jumlah advokat menurut James juga tidak sesedikit itu. Bahkan sebelum PERADI menjadi tiga saja jumlah advokat ada 35 ribu.

Kemudian, dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung No.73 Tahun 2015, sekarang ada lebih dari 50 ribu advokat. “Dengan begitu banyaknya advokat, kata James, apakah mereka juga diharapkan mengikuti tax amnesty, belum tentu karena mereka juga baru jadi advokat,” kata James.

James juga mengingatan bahwa sebagian advokat bekerja di kantor orang dan gaji mereka sudah dipotong pajak bulanan yang artinya sudah dilaporkan. Apalagi, syarat untuk menjadi advokat adalah memiliki NPWP. Oleh Karena itu, menurut James, yang bisa diharapkan dari program tax amnesty menurut James justru pengusaha, bukan advokat.

"Beda dengan profesi tertentu yang tarifnya sudah tentu atau terdata berapa incomenya kemudian dia tidak melaporkan,” tandas James.

James menegaskan bahwa PERADI tidak perlu untuk memberikan imbauan bagi anggotanya untuk mengikuti tax amnesty. Soalnya, advokat adalah profesi yang melek hukum, sehingga pasti mengetahui konsekuensi ketika melakukan atau tidak melakukan tax amnesty. (Baca Juga: Giliran Lucas Minta Advokat dan Kurator Ikut Tax Amnesty)

"Kalau kita tidak perlu mengimbau karena bayar pajak merupakan kewajiban. Kemudian, soal program tax amensty adalah opsi dalam rangka mencuci aset. Artinya, advokat sudah melek hukum apa keuntungan dari program itu. Kalau mau ya monggo kalau tidak ya risikonya juga mungkin ada. Kita tidak perlu mengimbau itu, masing-masing punya pertimbangannya sendiri-sendiri," tutupnya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah melakukan pemetaan wajib pajak profesi yang berpotensi menjadi peserta tax amnesty periode II dan III. Setidaknya, ada sembilan jenis profesi yang berpotensi memanfaatkan program tersebut, yang salah satunya adalah pengacara.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, berdasarkan data Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, dari 14.963 pengacara di Indonesia baru 1.968 yang memiliki NPWP. Dari jumlah itu, 105 diantaranya telah menjadi peserta Amnesti Pajak, sehingga masih ada 1.863 pengacara yang berpotensi menjadi peserta.

Tags:

Berita Terkait