Ahli Sebut Larangan Terpidana Nyalon Kepala Daerah Tak Jelas
Berita

Ahli Sebut Larangan Terpidana Nyalon Kepala Daerah Tak Jelas

Pemohon akan menghadirkan 3 ahli dalam persidangan berikutnya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli Sebut Larangan Terpidana Nyalon Kepala Daerah Tak Jelas
Hukumonline
Mantan Hakim Konstitusi HAS Natabaya menilai materi muatan Pasal 7 ayat (2) huruf    tentang Pilkada terkait syarat calon kepala daerah tidak sedang berstatus terpidana dalam tindak pidana apapun tidak jelas. Sebab, satu sisi aturan itu melarang yang pernah berstatus terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Di sisi lain dibolehkan kepala daerah apabila terbuka dan jujur sebagai mantan terpidana.   “Bagaimana mungkin ‘tidak pernah menjadi terpidana’, tiba-tiba mantan terpidana dibolehkan mencalonkan diri. Ini kan menjadi tidak jelas, yang menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata HAS Natabaya saat memberi pandangan sebagai ahli di sidang pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf UU Pilkada yang dimohonkan Gubernur Gorontalo di Gedung MK, Selasa (25/10).   Intinya, Pasal 7 ayat (2) huruf menyebutkan calon kepala daerah harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.   Natabaya menilai frasa “” seolah kontradiktif dengan frasa “”. “Seharusnya frasa ‘’, akibat adanya seseorang yang pernah menyandang status terpidana? Kalau seseorang sebagai mantan terpidana percobaan dan mengaku secara terbuka sebagai mantan seharusnya dipenuhi sebagai calon kepala daerah,” lanjutnya.          
 
Rusli divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Gorontalo pada awal Agustus 2016 hingga putusan kasasi. Rusli dihukum selama pidana 1 tahun penjara dengan masa  percobaan 2 tahun karena dianggap terbukti melakukan fitnah sesuai dakwaan Pasal 317 ayat (1) subsider Pasal 311 KUHP
jo Pasal 316 KUHP.

Menurutnya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bernuansa ‘kriminalisasi’ dan membatasi hak pilih seseorang dengan motivasi persaingan politik semata. Padahal, seseorang dilarang mencalonkan diri jika haknya dicabut oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Baginya, jika Pasal 7 ayat (2) huruf g ini diberlakukan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi Pemohon.

Khawatir pencalonannya terganjal, Rusli meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang dimaknai tidak pernah sebagai terpidana dalam perkara yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun. Atau, bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Persidangan ini, ada tiga pihak terkait yakni bakal calon gubernur Gorontalo dan tim pemenangannya, serta Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Perludem, ICW, KoDe Inisiatif, seorang warga Gorontalo Fanly Katili menjadi Pihak Terkait yang kontra dengan dalil permohonan ini.
gUU No. 10 Tahun 2016nyalon

gRusli Habibie

g

tidak pernah sebagai terpidanaatau bagi mantan terpidana terbuka dan jujur..atau bagi mantan terpidana

“Senin (24/10) kemarin, KPUD Gorontalo menerima Pemohon (Rusli Habibie) sebagai calon gubernur Gorontalo bersama dua pasangan calon lain,” kata ahli yang sengaja dihadirkan Pemohon ini.

Menurutnya, Pasal 7 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sebelumnya lebih jelas ketimbang norma Pasal 7 ayat (2) huruf g ini. Sebab, norma sebelumnya memberi batasan yang jelas “tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.”          

Kuasa Hukum Pemohon, Heru Widodo menambahkan permohonan ini juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 163 UU Pilkada ini. Sebab, aturan itu bisa memberhentikan calon kepala daerah terpilih setelah dilantik apabila diketahui berstatus terpidana. Hal ini disebabkan ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih telah dihapus dalam norma pemberhentian kepala daerah dalam UU Pilkada.        

“Pemohon ini bisa ‘masuk’ (diterima sebagai pasangan calon, red), tetapi kalau terpilih nggak bisa langsung ‘duduk’ (menjabat, red) dan diberhentikan setelah dilantik,” kata Heru Widodo usai persidangan.

Dia mengungkapkan norma pemberhentian kepala daerah dengan ancaman pidana tertentu masih diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. “Ini masih diatur terhadap ancaman pidana tertentu (5 tahun atau lebih), korupsi, makar, dan sebagainya. Tetapi, ini Pasal 136 UU Pilkada harus berhenti. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum kan. Makanya, kita akan hadirkan 3 ahli lain dalam sidang berikutnya,” katanya.         
                
Permohonan ini diajukan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang mempersoalkan beberapa pasal khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf g dan Pasal 163 ayat (7), (8) UU Pilkada. Rusli, yang saat ini berstatus terpidana percobaan gara-gara menghina/memfitnah mantan Kabareskrim Polri Budi Waseso, hendak mencalonkan kembali dalam Pemilihan Gubernur Gorontalo pada Pilkada 2017 (petahana).
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait