Ternyata, Beginilah Intisari Pertimbangan Hakim atas Vonis Jessica
Utama

Ternyata, Beginilah Intisari Pertimbangan Hakim atas Vonis Jessica

Hakim mengatakan memutus perkara berdasarkan hati nurani, fakta hukum, dan keterangan ahli.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim PN Jakarta Pusat memvonis Jessica 20 tahun penjara. Gambar aksi pengunjung sidang. Foto: RES
Majelis hakim PN Jakarta Pusat memvonis Jessica 20 tahun penjara. Gambar aksi pengunjung sidang. Foto: RES
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah menyelesaikan tugas ‘berat’ mengadili dan memutus kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin. Majelis memutuskan terdakwa,  Jessica Kumala Wongso, bersalah atas kematian Mirna, sahabatnya. Majelis hakim dipimpin Kisworo menjatuhkan hukuman selama 20 tahun penjara kepada terdakwa.

Hukuman ini sesuai dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut. Majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan Jessica yakni akibat perbuatan terdakwa mnegakibatkan korban meninggal, perbuatan Jessica adalah keji dan sadis karena dilakukan kepada teman sendiri, terdakwa tidak pernah menyesal, dan tidak mengakui perbuatan sendiri. Sementara hal yang meringankan adalah Jessica masih muda dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya di masa mendatang.

Majelis mulai membacakan putusan sejak pukul 13.00 wib hingga pukul 17.10 wib. Dalam membacakan pertimbangan, majelis menyatakan bahwa tiga bukti yang ada diatur di dalam KUHAP adalah sah. Bukti CCTV yang selama ini dipersoalkan oleh tim penasihat hukum dibantah oleh majelis. Hakim menilai CCTV bisa mejadi alat bukti yang sah selama berkesesuaian dengan keterangan saksi dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Apalagi, penggunaan CCTV untuk mengungkap suatu tindak pidana sudah sering dilakukan oleh para penegak hukum dan diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Majelis mengesampingkan keterangan ahli Mudzakkir tentang otopsi yang terdapat di dalam Peraturan Kapolri. Majelis menilai, bahwa kewajiban otopsi tersebut berada di dalam Peraturan Kapolri yang secara hierarkis posisinya berada jauh di bawah KUHAP.  “Walaupun tidak dilakukan otopsi di dalam tubuh korban bukan berarti penyebab kematian tidak bisa ditemukan,” kata hakim anggota, Partahi Tulus Hutapea.

Dalam pertimbangannya majelis menegaskan tak harus ada saksi mata yang melihat seseorang melakukan perbuatan pidana. Hakim bisa memperoleh dari bukti tidak langsung. Kecurigaan terhadap pihak kafe Olivier yang mungkin melakukan pembunuhan juga dijelaskan oleh hakim dengan logika. Bagi majelis, jika benar pihak kafe Olivier yang merencanakan pembunuhan maka pasti es kopi vietnam sudah dibuang. Artinya, sianida sudah ada di dalam es kopi vietnam tersebut sebelum penyidik melakukan pemeriksaan.

Terkait kecilnya jumlah sianida yang ditemukan di dalam tubuh Mirna, majelis mengutip penjelasan dari ahli toksikologi forensik, Nursamran Subandi. Jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh Mirna melewati lethal dosis mematikan, namun yang ditemukan sedikit karena sudah mengalami penyerapan oleh usus dan menguap  di dalam lambung saat sianida bertemu asam lambung.

Hal yang paling menjadi sorotan dari tim kuasa hukum Jessica adalah kapan Jessica memasukkan racun itu ke dalam es kopi vietnam milik yang akhirnya diminum korban. Bagi majelis, kapan tepatnya racun sianida tersebut dimasukkan sesungguhnya Jessica pasti mengetahui. Tetapi saat melihat aktivitas Jessica di dalam CCTV, menurut majelis adalah tak lama setelah Jessica meletakkan paperbag di meja.

Majelis juga merasa heran mengapa Jessica membeli hadiah sabun cuci kepada para sahabatnya. Hadiah sabun cuci tangan itu dianggap tak lazim bagi orang seusia Jessica dan teman-temannya. Selain itu, majelis juga mempertanyakan alasan Jessica memesan kopi untuk Mirna terlalu cepat, padahal yang bersangkutan belum sampai di lokasi. Majelis menilai jika agenda pertemuan adalah makan malam, maka biasanya makanan dan minuman baru dipesan setelah para sahabatnya datang.

“Jessicalah yang mengetahui siapa yang memindahkan (gelas es kopi vietnam), hingga lalat yang hinggap pun Jessica tahu. Saat Mirna datang Jessica gelisah karena jika datang bersamaan dengan saksi Hany rencananya bisa gagal. Saat Mirna mengaduk terlihat terdakwa tidak fokus dan menutup mulut, berarti terdakwa kaget karena Hany ikut datang bersama Mirna,” tutur Binsar.

Hakim juga membantah argumentasi dari kuasa hukum Jessica yang mengatakan bahwa kematian Mirna disebabkan oleh penyakit kronis yang tidak terdeteksi. Majelis mengutip keterangan dari ahli dokter forensik Slamet Purnomo bahwa suatu penyakit akan menunjukkan gejala-gejala sendiri. Gejala tersebut tidak terlihat dari Mirna, dan berkesesuaian dengan keterangan saksi Arief Sumarko dan saksi Darmawan Salihin yang menyatakan bahwa Mirna tidak memiliki riwayat penyakit apapun.

Majelis menilai beberapa tindakan Jessica tak lazim. Pembayaran bill yang dilakukan di awal, misalnya, dianggap majelis hakim bertujuan agar Jessica bisa meninggalkan lokasi dengan cepat. Majelis menyayangkan isi pledoi Jessica yang justru menimpakan kesalahan kepada Arief dan Hany yang memutuskan membawa Mirna ke RS Abdi Waluyo dengan mobil pribadi.

Unsur sengaja di dalam Pasal 340 KUHP juga dinyatakan terpenuhi. Syarat kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki, dalam hal ini majelis memastikan bahwa Jessica benar-benar memahami apa yang akan terjadi dengan korban atas tindakannya, ada jeda waktu antara niat dan perbuatan, serta perbuatan dilakukan dengan tenang. Jessica membangun skenario reuni untuk melancarkan niat tersebut. Kemudian datang terlbeih dahulu dengan alasan takut terjebak macet, mencari posisi tempat duduk yang jauh dari jangkauan CCTV dan berpindah tempat duduk yang tertutup oleh tanaman.

Terkait motif, majelis menilai meskipun motif tidak masuk ke dalam unsur delik dalam Pasal 340 KUHP, namun perlu juga untuk mengetahui penyebab terjadinya suatu tindak pidana. Sebab, tanpa adanya motif sangat sulit seseorang melakukan perbuatan pidana kepada seseorang, terutama dalam pembunuhan berencana. (Baca: Pro Kontra Motif dalam Pembunuhan Berencana).

“Jessica pulang ke Jakarta dalam kondisi banyak permasalahan, dan pertemuan pada 8 Desember 2015 lalu dengan Mirna dan Arief membuat hati Jessica merasa teriris-iris melihat rumah tangga Mirna yang bahagia. Jessica iri,” ungkap Binsar.

Meskipun Jessica membantah telah membunuh sahabatnya, Mirna, namun dari alat bukti yang saling berkesesuaian sudah dapat membantah keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan kemudian pengakuan tersebut akan dikorelasikan dengan alat bukti lain. Hal tersebut diatur di dalam KUHP.

“Pengakuan terdakwa secara arif dan bijaksana ditambah dengan keyakinan hakim, berpedoman dan mencermati alat bukti yang ada ternyata telah ada alat bukti yang sah untuk memenuhi unsure-unsur kesengajaan. Bukti unsur kesengajaan yang dikehendaki dan diketahui secara sadar akibatnya,” jelas Binsar.

Mengingat dalam replik Penuntut Umum menyebutkan sianida bisa didapatkan di pasar gelap, maka majelis menilai bahwa sianida bisa diperoleh dengan cara tersebut. Hakim juga dengan tegas menolak seluruh isi pembelaan Jessica dan kuasa hukum. Air mata Jessica, kata anggota majelis Binsar, hanya menggambarkan kesedihan atas apa yang menimpa dirinya sendiri. Air mata tersebut tidaklah murni dan jujur.

Bahkan hakim menegaskan memperhatikan secara detail air mata Jessica yang tidak jatuh hingga ke hidung. Air mata Jessica dinilai hakim sebagai sandiwara, sesuai kepribadian Jessica yang diungkapkan di persidangan. “Pemahaman yang digunakan majelis untuk memutus perkara ini perkara ini, menggunakan hati nurani, fakta hukum, dan keterangan ahli,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait