Ahli Pajak Dukung Kebijakan Tax Amnesty, Begini Alasannya
Utama

Ahli Pajak Dukung Kebijakan Tax Amnesty, Begini Alasannya

Kebijakan pengampunan pajak dinilai sejumlah ahli tidak bertentangan dengan konstitusi. Beda dengan pemohon.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Diskusi tentang akses data nasabah bank. Dari kiri ke kanan mantan Ketua KIP Ahmad Alamsyah Saragih, Managing Director Tax Center Danny Darussalam, dan ekonom INDEF Enny Sri Hartati. FOTO: RES
Diskusi tentang akses data nasabah bank. Dari kiri ke kanan mantan Ketua KIP Ahmad Alamsyah Saragih, Managing Director Tax Center Danny Darussalam, dan ekonom INDEF Enny Sri Hartati. FOTO: RES
Sidang lanjutan pengujian UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak kembali digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (31/10). Sidang kali, Pemerintah menghadirkan beberapa ahli yang mendukung kebijakan pengampunan pajak, yakni Darussalam, Yustinus Prastowo, mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri.

Dalam keterangannya, Darussalam memaparkan kebijakan pengampunan pajak seperti tertuang dalam UU Pengampunan Pajak merupakan pilihan kebijakan yang tepat di tengah kondisi tingkat kepatuhan pembayaran pajak yang masih rendah. Misalnya, apabila ditinjau dari sisi ketimpangan penerimaan sektor perpajakan karena masih didominasi pajak penghasilan (Pph) dan pajak pertambahan nilai (Ppn) dari badan usaha. (Baca juga: Dinilai Masih Rendah, Pemerintah Kejar Penerimaan dari Perusahaan Minerba).

Dia mencatat sejak 2012-2014, penerimaan pajak pribadi hanya menyumbang 0,4-0,5 persen dari total penerimaan pajak. Hal ini yang menjadi salah satu rasionalitas terbitnya UU Pengampunan Pajak yang menyasar orang pribadi yang tidak patuh membayar pajak. Padahal, di banyak negara maju, penerimaan pajak dari orang pribadi lebih besar daripada badan usaha. (Baca juga: Advokat Profesi yang ‘Malas’ Ikut Tax Amnesty? Ini Komentar Peradi Fauzie).

“Kondisi perpajakan kita justru terbalik dengan negara-negara maju,” kata Darussalam dalam persidangan.     

Dia menegaskankondisi tersebut awalnya membuat Pemerintah menghadapi tiga pilihan seperti penegakan hukum, tax amnesty, dan pertukaran informasi keuangan pada 2018 dalam tataran global. Menurutnya, upaya penegakan hukum di bidang perpajakan tidak akan efektif jika tidak ada basis data perpajakan yang baik. “Segala upaya penegakan hukum sudah dilakukan ditjen pajak, tetapi buktinya target tidak tercapai, kecuali tahun 2008,” ungkapnya.

“Kalau pendekatan penegakan hukum diterapkan lagi, kendalanya kita belum memiliki basis data yang kuat. Ini makanya kenapa kita butuh kebijakan pengampunan pajak karena dengan sendiri bisa mengkoleksi basis data perpajakan yang kuat agar bisa terintegrasi dengan data keuangan dan kependudukan,” lanjutnya.

Terlebih, kata dia, kebijakan tax amnesty sudah banyak diterapkan di banyak negara menjadi terobosan sekaligus masa transisi sebelum menuju era baru perpajakan yakni era keterbukaan informasi keuangan 2018 untuk perpajakan. Faktanya, sudah 38 negara yang sudah menerapkan kebijakan tax amnesty. “Kalau ini disebut inkonstitusional kenapa banyak negara yang mengadopsi kebijakan pengampunan pajak?

Lagipula, kata dia, UU Pengampunan Pajak ini sudah berdasarkan asas keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan bagi negara. Apalagi, faktanya pelaksanaan tax amnesty ini menimbulkan antusiasme dari sebagian masyarakat. Seperti, ditemukan seorang ibu rumah tangga yang ingin tahu dan ingin mengikuti program pengampunan pajak. Karena itu, basis data perpajakan harus dikelola dengan baik untuk kesinambungan  penerimaan pajak dan untuk kesinambungan NKRI. “Kenapa? faktanya 70 persen lebih penerimaan pajak sebagai ‘tulang punggung’ penerimaan negara,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, dia mencontohkan kasus uji materi UU Pengampunan Pajak oleh MK Jerman pada 1990 yang dinilai melanggar nilai keadilan bagi wajib pajak patuh dan tidak patuh yang diberi hak privillege (istimewa). Alhasil, MK Jerman menyatakan kebijakan pengampunan pajak ini konstitusional. MK Jerman mengakui ada perbedaan perlakuan antara wajib pajak patuh dan tidak patuh. Namun, apabila kebijakan ini tidak diterapkan justru akan lebih merugikan wajib pajak patuh.

“Kalau tidak ada tax amnesty, saat itu hanya segelintir wajib pajak yang patuh saja yang bayar pajak. Sehingga banyak wajib pajak yang tidak patuh padahal memiliki kemampuan membayar pajak.”

“Artinya, MK Jerman telah menjustifikasi ketidakadilan dengan tujuan tax amnesty ini mendorong wajib pajak tidak patuh ke depannya membayar pajak bersama-sama wajib pajak patuh,” kata Pendiri Danny Darussalam Tax Center ini.

Tingkat kepatuhan rendah
Hal senada disampaikan Yustinus Prastowo yang menilai tingkat penghindaran pajak cukup tinggi dalam 10 tahun terakhir. Hal ini dilihat dari tingkat kesadaran atau kepatuhan membayar pajak sangat rendah baik mendaftakan diri atau menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahunan. “Rasio penyampaian SPT tidak melebihi 60 persen. Faktanya, banyak aset WNI di luar jumlahnya berkisar 4.500 triliun. kontribusi penerimaan pajak tidak pernah melebihi 0,5 persen. Tentu, ini mengindikasikan ketidakadilan,” kata Yustinus.

Baginya, adanya kebijakan tax amnesty ini adalah momentum untuk memperbaki sistem perpajakan yang komprehensif. Karena itu, kebijakan tax amnesty paling mungkin diambil (reasonable) bertitik tolak dari problem empirik yakni kesulitan mendapatkan data perpajakan sebagai langkah awal mereformasi sistem perpajakan secara menyeluruh.

“Di tengah kompleksitas penarikan pajak, tax amnesty kesempatan memulihkan wajib pajak untuk patuh dan menambah daftar wajib pajak baru yang selaras dengan kondisi global,” kata pendiri Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) ini.

Menurutnya, tax amnesty bersifat mengampuni yang tidak bertentangan sifat memaksanya pemungutan pembayaran pajak. Sebab, dalam dunia perpajakan tidak ada konsep tunggal dalam penerimaan pajak. Pencapaian tax amnesty saat ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah karena sejatinya program tax amnesty bermanfaat bagi bangsa ini sebagai realisasi pembiayaan APBN. “Jadi, kebijakan tax amnesty ini tidak bertentangan dengan konstitusi.”

UU Pengampunan Pajak ini dipersoalkan kelompok empat pemohon yang berbeda. Pemohon I yakni Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani; Pemohon II yakni Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK); Pemohon III yakni Leni Indrawati Dkk; dan Pemohon IV yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), DPP Partai Buruh.

Keempat kelompok Pemohon itu menguji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3; Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23 yang meminta untuk dibatalkan atau ditafsirkan bersyarat. Inti keempat permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif terutama kalangan buruh sebagai pembayar pajak yang taat, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang  dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait