Seputar Status Hakim dalam RUU Jabatan Hakim
Kolom

Seputar Status Hakim dalam RUU Jabatan Hakim

Apakah status kepegawaian hakim yang tepat adalah PNS atau Pejabat Negara?

Oleh:
Arsil
Bacaan 2 Menit
Arsil. Foto: istimewa
Arsil. Foto: istimewa
Pertanyaan yang selalu berulang-ulang kitadengar dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim. Pertanyaan yang menurut saya salah sasaran. Mengapa salah sasaran?

Jenis Jabatan Publik
Apakah benar jenis jabatan publik hanyalah terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara? Jika kita merujuk pada UU Kepegawaian sebelum lahirnya UU Aparatur Sipil Negara (UU No. 5 Tahun 2014), yaitu UU No. 8 Tahun 1974 yang diubah oleh UU No. 43 Tahun 1999, Pegawai Negeri Sipil itu sendiri sebenarnya hanyalah 1 (satu) jenis jabatan dari kelompok jabatan yang lebih besar, yaitu Pegawai Negeri. Dalam Pasal 2 UU No. 43/1999, terdapat dua jenis jabatan lainnya yaitu Anggota TNI dan Anggota Polri. Selanjutnya, dalam Pasal 37 UU Kepegawaian tersebut kemudian diatur bahwa pembinaan anggota TNI dan Polri diatur dalam undang-undang tersendiri.

Dengan berlakunya UU ASN, UU ini menghilangkan istilah ‘Pegawai Negeri’ yang sebelumnya merupakan istilah payung bagi 3 (tiga) jenis kepegawaian negara, yaitu Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, dan Anggota Polri. Dalam UU ini, istilah yang dipergunakan adalah Aparatur Sipil Negara yang mana di dalamnya yang menjadi bagian dari ASN hanyalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Hal ini berdampak pada diperlukannya UU tersendiri yang menjadi landasan pengaturan kepegawaian bagi Anggota TNI dan Anggota Polri. Dengan kata lain, hal ini memperkuat landasan bahwa jenis status jabatan publik memang sebenarnya tidak hanya  PNS dan Pejabat Negara, namun dimungkinkan adanya nomenklatur baru.

Mitos Pejabat Negara
Apa itu Pejabat Negara? Sebenarnya tak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang menjelaskan secara jelas tentang apa itu Pejabat Negara. Baik UU Kepegawaian sebelum UU ASN maupun UU ASN memang menyebutkan istilah Pejabat Negara, namun penyebutan tersebut bukan lah dimaksudkan untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Pejabat Negara itu sendiri, penyebutan Pejabat Negara baik dalam UU Kepegawaian (UU No. 8/1974 danUUNo. 43/1999) maupun UU ASN bertujuan untuk mengatur konsekuensi kepegawaian bagi Pegawai Negeri (Sipil) jika diangkat menjadi Pejabat Negara.

Dalam ketidakjelasan istilah tersebut timbul persepsi bahwa jika suatu jabatan disebut sebagai Pejabat Negara maka hak-hak dan kedudukannya dalam sistem keprotokoleran akan lebih tinggi dari jabatan yang bukan pejabat negara. Benarkah demikianmenurut peraturan perundang-undangan?

Sebagai contoh Panglima TNI tidak pernah disebut dalam peraturan perundang-undangan, baik UU Kepegawaian sebelumnya, UU ASN maupun UU TNI (UU No.34/2004) sebagai Pejabat Negara, begitu juga dengan Jaksa Agung sebelum tahun 2004 (UU No. 16/2004)[1]. Namun, untuk kedua jabatan ini,hak keuangan dan administrasinya disetarakan dengan menteri yang mana gaji pokoknya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2000 lebih tinggi dari Ketua Mahkamah Agung yang jelas-jelas disebut sebagai Pejabat Negara setidaknya sejak tahun 1974. Gaji Pokok Panglima TNI dan Jaksa Agung adalah Rp5.040.000,-, sementara gaji pokok Ketua Mahkamah Agung berdasarkan PP No. 9 Tahun 2000 hanyalah Rp5.000.000,-.Gaji pokok Panglima TNI dan Jaksa Agung lebih tinggi sebesar Rp40.000,- dibanding Ketua Mahkamah Agung.

Dalam urusan keprotokoleran, kedudukan Panglima TNI (dan Kapolri) - yang notabene bukan lah Pejabat Negara - lebih tinggi dari beberapa Pejabat Negara seperti Ketua Muda MA, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, gubernur, bupati dan wali kota. Belum lagi soal jaminan keamanan.Tak bisa dipungkiri tentunya jaminan keamanan yang disediakan negara bagi Panglima TNI dan Kapolri lebih ketat dibanding banyak pejabat negara, misalnya anggota DPR, DPD, dan Hakim Agung.

Kesimpulannya, dengan disebutnya suatu jabatan sebagai Pejabat Negara dalam undang-undang,tidak menimbulkan konsekuensi diberikannya fasilitas, kedudukan dan kesejahteraan yang lebih dari jabatan lain. Beberapa jenis jabatan Pegawai Negeri seperti Panglima TNI dan Kepala Polri memiliki hak dan kedudukan yang lebih tinggi dari berbagai jabatan Pejabat Negara.[2]Ternyata, hak dan kedudukan yang diberikan untuk suatu jabatan selama ini tidak ditentukan berdasarkan status jabatan, namun berdasarkan pengaturan hak dan kedudukan dalam masing-masing peraturan yang mengatur hak dan kedudukannya.

Dalam skema jabatan publik, pembedaan utama sebenarnya bukan terletak pada nomenklatur Pegawai Negeri atau Pejabat Negara, bukan juga terletak pada segala macam hak administratif keuangan, dan kedudukan dalam keprotokoleran. Pembedaan utama sebenarnya terletak pada apakah jabatan yang dimaksud adalah jabatan yang memerlukan sistem pembinaan atau tidak, seperti sistem peningkatan kapasitas dan sistem karier. Pembedaan ini sebenarnya yang melatarbelakangi lahirnya UU Pokok-Pokok Kepegawaian maupun UU ASN, dan termasuk di dalamnya pengaturan terkait Pegawai Negeri yang menjabat jabatan non pegawai negeri.Dalam hal ini, untuk ringkasnya dalam Pasal 11 UU No.8/1974 dan UU No. 43/1999 maupun Pasal 88 dan Pasal 121 UU ASN disebut dengan istilah Pejabat Negara[3].

Jika dibedah satu per satu jabatan-jabatan Pejabat Negara yang disebut dalam Pasal 11 UU No. 8/1974, pada dasarnya jabatan-jabatan tersebut bukan lah jabatan yang memerlukan sistem pembinaan. Presiden, anggota DPR, menteri, gubernur, hakim agung bukanlah jabatan yang memerlukan sistem dan manajemen pembinaan. Jabatan-jabatan tersebut tidak memerlukan sistem kepangkatan atau karier. Walaupun dalam jabatan-jabatan tersebut terdapat jenjang jabatan, seperti jabatan ketua, wakil ketua, namun pengisian jabatan tersebut tidak didasarkan pada merit system melainkan political system, baik melalui proses penunjukan langsung atau melalui proses pemilihan.

Anomali dalam konsepsi ini muncul ketika terjadi perubahan atas UU No. 8/1974 oleh UU No. 43/1999. Undang-Undang No. 43/1999 ini kemudian memasukkan jabatan hakim tingkat pertama dan banding sebagai Pejabat Negara. Disebutkannya hakim tingkat pertama dan banding sebagai Pejabat Negara di saat kedua jabatan tersebut masih memiliki sistem pembinaan membuat keduanya menjadi satu-satunya Pejabat Negara yang memiliki sistem kepangkatan, karier dan manajemen pembinaan. Apa yang melatarbelakangi disebutkannya hakim tingkat pertama dan banding sebagai Pejabat Negara belum jelas.[4]

Hakim Sebagai Jabatan
Untuk konteks saat ini, memperdebatkan mana yang lebih tepat status jabatan hakim apakah Aparatur Sipil Negara (ASN)atau Pejabat Negara tidak lah terlalu bermanfaat. Terlebih sebenarnya ketika dimungkinkan membuat suatu nomenklatur status kepegawaian lain yang sama sekali baru selain Aparatur Sipil Negara maupun Pejabat Negara, seperti yang dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Status kepegawaian hakim memang saat ini sudah tidak tepat sebagai ASN atau jenis jabatan apapun dalam Aparatur Sipil Negara, mengingat dalam UU ASN disebutkan pembina tertinggi ASN sementara itu dalam konsep satu atap telah diatur bahwa pembina hakim tertinggi tidak lagi berada di pemerintah (presiden) namun berada dibawah Mahkamah Agung. Di sisi lain, sekedar penyebutan hakim adalah Pejabat Negara juga tidak berarti apa-apa.

Perdebatan apakah hakim sebaiknya ASN atau Pejabat Negara ini memang sebaiknya diakhiri. Dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim hal ini terlihat seakan masih dipersoalkan. Dalam berbagai diskusi terkait RUU Jabatan Hakim ini, isu apakah hakim adalah pejabat negara atau tidak selalu menjadi topik pembahasan. Kalangan yang mempermasalahkan jika hakim dinyatakan sebagai Pejabat Negara selalu mengkaitkan dengan konsekuensi beban anggaran negara yang akan timbul dari status tersebut. Sementara, kalangan yang menghendaki agar dalam RUU ini kata-kata hakim adalah pejabat negara berpandangan status tersebut –selain dalam UU ASN dan UU Kepegawaian sebelumnya telah disebutkan demikian, juga berpandangan bahwa status tersebut penting agar kesejahteraan dan kedudukan hakim lebih diperhatikan.

Seperti telah saya urai sebelumnya, pada dasarnya yang akan menentukan hak terkait kesejahteraan maupun kedudukan (dalam keprotokoleran) bukan lah nomenklatur dari status itu sendiri, ASN (atau Pegawai negeri) atau Pejabat Negara. Namun, hal itu ditentukanolehpengaturan lebih lanjut pada hak-hak apa yang diatur atas jabatan tersebut, dan tentu saja, siapa yang bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak tersebut. Dalam uraian selanjutnya, saya akanjelaskan mengapa hak-hak hakim yang telah disebutkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman tidak terlaksana juga.

Penyebutan apakah hakim adalah pejabat negara atau pegawai negeri atau yang lainnya sebenarnya tidak perlu dipersoalkan jika kita memahami bahwa dengan adanya pengaturan Jabatan Hakim dalam sebuah UU maka Hakim adalah menjadi sebuah status jabatan itu sendiri. Dengan kata lain, status hakim adalah Hakim.

Permasalahan Pemenuhan Hak-Hak Kesejahteraan Hakim dalam UU Kekuasaan Kehakiman
Keluhan kalangan hakim saat ini adalah minimnya kesejahteraan dan jaminan keamanan bagi hakim, walaupun hal tersebut (seakan) telah secara tegas diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) seperti tertuang dalam Pasal 48 di bawah ini:

Pasal 48
(1) Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraanhakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugasdan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaankehakiman.
(2) Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakimkonstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatursesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari rumusan Pasal 48 UU No. 48/2009di atas, sekilas terdapat jaminan yang tegas atas keamanan dan kesejahteraan hakim.Namun,sebenarnya terdapat ketidakjelasan dalam rumusan di atas yang membuat pemenuhan keduanya terkendala.

Permasalahannya terletak pada ayat kedua Pasal 48 UU No. 48/2009 yang hanya menyebutkan bahwa jaminan keamanan dan kesejahteraan tersebut diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tanpa kejelasan apa bentuk peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Ketidakjelasan bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan menyebabkan ketidakjelasan institusi mana yang bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban untuk membuat aturan pelaksana dari Pasal 48 UU No. 48/2009 tersebut.Apakah menjadi tanggung jawab Presiden(Perpres), Pemerintah (PP), Menteri (Permen)? Atau Mahkamah Agung (Perma)? Ketidakjelasan pendelegasian kewenangan tersebut sudah tentu mengakibatkan tak ada satu pun instansi yang merasa bertanggung jawab untuk membuat pengaturan lebih lanjut.

Jadi, yang harus dipastikan dalam penyusunan UU Jabatan Hakim saat ini adalah, selain tentu saja adanya pengaturan hak-hak jaminan kesejahteraan dan keamanan hakim yang lebih memadai, adanya aturan pembinaan karier yang lebih menjaga prinsip independensi Hakim. Kemudian,hal lain yang tak kalah penting adalah kejelasan bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan untuk mengatur permasalahan-permasalahan tersebut lebih lanjut.

*) Arsil, Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)


[1]Jaksa Agung baru disebut sebagai Pejabat Negara pada 2004, melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
[2]Dalam skema UU 43/1999 anggota TNI dan Polri adalah Pegawai Negeri, dan di dalam UU TNI maupun Polri baik Panglima TNI maupun Kapolri berasal dari anggota TNI dan Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang karir. Dengan demikian maka Panglima TNI dan Kapolri pada dasarnya adalah Pegawai Negeri.
[3]Dalam Pasal 88 UU ASN selain Pejabat Negara diperkenalkan lagi suatu jabatan yang bukan jabatan Pegawai Negeri dan bukan jabatan Pejabat Negara yaitu Komisioner atau anggota lembaga nonstruktural. Lahirnya pengaturan ini disebabkan oleh karena secara faktual banyak jabatan yang bukan jabatan karier pegawai negeri dan juga dalam undang-undang yang mengatur jabatan tersebut tidak secara tegas disebutkan apakah jabatan tersebut merupakan Pejabat Negara atau tidak. Ketidakjelasan ini berdampak pada ketidakjelasan status kepegawaian PNS yang diangkat atau ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Sebagai contoh, UU Komisi Informasi maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak menyebutkan komisioner KIP maupun anggota LPSK adalah pejabat negara, hal ini menimbulkan permasalahan bagaimana status kepegawaian seorang Pegawai Negeri yang menjabat sebagai komisioner KIP atau anggota LPSK, apakah status kepegawaiannya sebagai Pegawai Negeri akan hilang atau tidak.
[4]Jika ditelusuri lebih jauh lagi bahkan dapat dikatakan dimasukannya jabatan Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung dalam penjelasan pasal 11 UU 8/74 juga cukup janggal. Dalam penjelasan pasal disebutkan Pegawai Negeri yang menjadi ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung tidak dibebastugaskan dari jabatan organiknya. Ketentuan ini mengasumsikan bahwa yang dapat menjadi hakim agung hanyalah hakim karier, sehingga menjadi wajar ketika disebutkan pegawai negeri yang menjadi hakim agung tidak dibebaskan dari jabatan organiknya, karena jabatan organik hakim dan hakim agung adalah sama. Menjadi permasalahn ketika jabatan organik pegawai negeri tersebut bukanlah hakim, misalnya jaksa.
Tags: