Penangkapan Aktivis HMI, DPR: Polisi Jangan Berlebihan
Berita

Penangkapan Aktivis HMI, DPR: Polisi Jangan Berlebihan

Seharusnya tidak dilakukan proses hukum, tetapi dibina. Polda Metro mestinya bijak melihat persoalan tersebut. Mereka hanya melaksanakan hak konstitusional dalam menyatakan pendapat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Demonstrasi aksi damai Jumat (4/11) yang berakhir rusuh. Foto: RES
Demonstrasi aksi damai Jumat (4/11) yang berakhir rusuh. Foto: RES
Resmi sudah penyidik kepolisian menetapkan tersangka terhadap lima orang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penetapan keputusan tersebut diambil lima orang aktivis HMI itu dicokok aparat kepolisian selang beberapa hari aksi damai 4 November lalu. Namun tindakan kepolisian menuai kritik pedas dari berbagai kalangan.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpandangan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap lima orang aktivis HMI mestinya tidak dilakukan kepolisian. Terlebih, penangkapan tersebut patut dipertanyakan. Misalnya apakah penangkapan sudah sesuai dengan prosedur, yakni pemanggilan terhadap kelima orang aktivis HMI tersebut.

“Kenapa pihak Kepolisian tak melakukan pemanggilan terlebih dulu kepada yang bersangkutan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (9/11). (Baca Juga: PSHK: Gelar Perkara Ahok Secara Terbuka Tak Ada Dasar Hukum)

Kelima aktivis HMI sejatinya bukanlah seorang pelaku teroris maupun bandar narkoba yang melakukan kejahatan luar biasa. Sebaliknya, kelima orang aktivis HMI hanya menggunakan hak konsitusional dalam menyampaikan pendapat terkait dengan lambatnya proses penegakan hukum kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ketimbang mengusut aktivis HMI, kata Fadli, polisi lebih baik mengusut provokator yang memicu aksi kericuhan pada Jumat (4/11) malam. Termasuk orang yang memerintahkan lontaran gas air mata sudah sesuai prosedur atau sebaliknya. Ia pun meminta perlakuan kepolisian terhadap aktivis HMI tak berlebihan, namun mesti proporsional dan profesional.

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat operasi penangkapan terhadap lima aktivis HMI tak proporsional. Bahkan dikhawatirkan menambah keruh tensi politik dalam negeri. “Sebab cara-cara yang dilaksanakan dianggap kurang wajar, dilakukan tengah malam, seperti operasi penangkapan PKI di masa lalu. (Baca Juga: 24 Advokat Ini Siap Bela Ahok)

Ia menilai penanganan aktivis HMI dengan kasus Ahok membuktikan hukum hanya tajam ke bawah, tidak ke atas. Hukum tumpul bagi pejabat negara yang menjadi bagian rezim pemerintahan. Menurutnya, penangkapan tersebut upaya pemerintah mengebiri sikap kritis masyarakat terhadap kasus Ahok.

“Tindakan kepolisian yang sangat cepat melakukan penangkapan terhadap kader HMI padahal kasusnya baru terjadi beberapa hari. Namun, kepolisian lambat dalam menangkap Ahok meskipun bukti dan saksi ahli sudah lengkap semua. Malah kini dipertontonkan transparansi kebodohan soal bahasa,” ujarnya.

Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi menambahkan, penangkapan dan penetapan tersangka terhadap lima orang aktivis HMI patut disesalkan. Hal itu menunjukan arogansi aparat kepolisian. Padahal kepolisian sudah didesain sebagai sipil, tidak lagi menjadi militer seperti halnya era Orde Baru. (Baca Juga:   Ingat! Polisi Tak Berwenang Memukul Massa Demonstrasi, Ini Alasan Hukumnya)

“Sikap tersebut sudauh over acting, apalagi mengerahkan petugas seolah-olah ingin menangkap gembong teroris atau pun pejabat kelas kakap,” ujarnya.

Ia khawatir penangkapan yang tanpa didahului pemanggilan untuk menjalani pemeriksaan sebagai upaya menambah kredit poin dari atasannya. Sehingga, polisi mendaramatisir aksi damai 4 November yang sebagian ricuh seolah kisruh seluruhnya. “Sebaiknya polisi tidak membuat kegaduhan baru,” tandas Wasekjen PPP itu.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan tindakan kepolisian menangkap aktivis HMI bakal berpotensi menimbulkan kegaduhan baru. Terlebih, kata Neta, penangkapan oleh kepolisian dilakukan dengan cara arogan. (Baca Juga: Presiden Minta Penghina Simbol Negara Diproses Hukum)

“Kenapa Polri cenderung menggunakan cara-cara Orde Baru dalam menghadapi aktivis mahasiswa. Polri harusnya menyadari bahwa peran mahasiswa dan aktivis sangat besar dalam menumbangkan kekuasaan Orde Baru hingga nasib Polri bisa seperti sekarang ini,” ujarnya.

Dikatakan Neta, bila Polri bekerja secara profesional dan proporsional, maka penegakan hukum tak ada diskriminasi. Dalam menangani kasus Ahok misalnya, Polri mestinya bekerja cepat secepat melakukan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap aktivis HMI. Ia berharap jajaran Polri bekerja tidak mengedepankan arogansi.

“Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan baru. Jika mengedepankan arogansi dengan cara menangkapi aktivis HMI, Polri bisa dituding tidak independen dan cederung mengalihakn perhatian publik dari kasus Ahok. Dampaknya bukan mustahil akan muncul masalah baru,” tukasnya. (Baca Juga: Gelar Perkara Tingkat Penyelidikan Dilakukan Terbuka, Ini yang Dilanggar Polri)

Lakukan pembinaan
Anggota Komisi Komisi IX Irma Suryani Chaniago mengatakan penegakan hukum memang harus ditegakkan terhadap orang yang melanggar undang-undang. Namun khusus aktivis HMI, kata Irma, sebaiknya diberikan pembinaan. Polda Metro Jaya mestinya tidak menetapkan sebagai tersangka. Sebaliknya, Polda Metro mesti melihat secara arif dan bijak.

“Sebaiknya adik-adik tersebut diberikan pembinaan. Polda harus lebih arif melihat hal ini,” ujarnya.(Baca Juga: Ini Risiko Hukum Bagi yang Melakukan Diskriminasi Ras dan Etnis)

Pembinaan dimaksud Irma terkait dengan program bela negara. Selain itu, kelima orang itu dibina di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Sebab, kata Irma, kelima aktivis HMI merupakan bagian dari generasi masa depan yang mesti dibinda agar memiliki wawasan kebangsaan serta mampu menahan diri agar melihat pesoalan tidak hitam putih di arena politik.

Tags:

Berita Terkait