Sejumlah Tokoh Hukum Bicara Irisan Pelanggaran ‘Teknis Yudisial’ dan ‘Perilaku Hakim’
Berita

Sejumlah Tokoh Hukum Bicara Irisan Pelanggaran ‘Teknis Yudisial’ dan ‘Perilaku Hakim’

Bagi MA persoalan ini sebenarnya sudah selesai sejak terbitnya PB Ketua MA dan KY Tahun 2012.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Simposium yang diselenggarakan Komisi Yudisial membahas masalah teknis yudisial. Foto: ASH
Simposium yang diselenggarakan Komisi Yudisial membahas masalah teknis yudisial. Foto: ASH
Polemik objek pengawasan antara pelanggaran teknis yudisial dan kode etik/perilaku hakim hingga kini masih terus menjadi perdebatan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) ketika menjalankan fungsi pengawasan hakim. Meski sudah ada dua aturan bersama, kedua lembaga kerap masih berbeda pandangan dalam memaknai istilah “teknis yudisial” dan “kode etik/perilaku hakim.

KY berpendapat bisa saja putusan hakim diperiksa untuk mendeteksi adanya penyimpangan. Sedangkan MA berpendapat putusan adalah mahkota hakim. Bila memang ada yang salah dengan putusan maka yang harus ditempuh adalah melakukan upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut. Imbasnya, dari tahun ke tahun, tidak sedikit setiap rekomendasi KY atas penjatuhan sanksi bagi hakim tak sepenuhnya dijalankan MA. (Baca juga: Ukuran Teknis Yudisial Perlu Diperjelas).

Bahkan, Ketua MA M. Hatta Ali pernah menyampaikan salah satu penyebab memburuknya hubungan MA dan KY lantaran KY dinilai kerap memasuki wilayah teknis yudisial (substansi putusan) yang menyangkut independensi hakim ketika mengawasi etik dan perilaku hakim. Selama KY memasuki wilayah teknis yudisial sampai kapanpun hubungan kedua lembaga tidak akan pernah harmonis.

Ternyata, perdebatan soal ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi terjadi beberapa negara lain seperti di Amerika Serikat (AS), Perancis, New South Wales. Namun, perdebatan di negara-negara tersebut tentang batasan/ukuran pelanggaran teknis yudisial dan perilaku semakin bisa dipersempit karena ada kesepakatan terkait rumusan untuk membedakan mana pelanggaran teknis yudisial dan mana pelanggaran perilaku.

Merujuk hasil riset Chintya Grey pada tahun 2004 di AS, garis batas teknis yudisial (legal error) dan pelanggaran perilaku (misconduct) beberapa negara, seperti Amerika umumnya sudah relatif berhasil dicapai kesepahaman antara KY dan MA, sehingga perdebatan tersisa hanya berat ringannya sanksi yang harus dijatuhkan,” ujar Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari saat menjadi keynote speaker di simposium internasional bertemakan “The Line Between Legal Error and Misconduct of Conduct” di Gedung KY, Kamis (10/11).

Simposium ini menampilkan sejumlah narasumber yakni Wakil Ketua KY Sukma Violetta, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial HM Syarifuddin, dan narasumber dari Amerika, Australia (common law system) Perancis (civil law system) sebagai pembanding yakni Marla N Greenstein (Direktur Eksekutif KY Alaska, USA), JD Gingerich (Director of Arkansas Administrative Office of The Court, USA), Margaret Beazley (KY New South Wales, Australia), dan Julien Anfrus (Member of The Conseil d’Etat, France).

Aidul mengatakan adanya kesepahaman antara KY dan MA seperti di Amerika, penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) menjadi lebih efektif, diterima publik dan hakim itu sendiri. Diharapkan dapat diperoleh pemahaman lebih komprehensif atas masalah teknis yudisial dan pelanggaran perilaku berdasarkan best practice berbagai negara.

“Nantinya, simposium internasional ini bukan menentukan pihak mana yang paling benar dalam memahami teknis yudisial atau pelanggaran perilaku, melainkan mencari menemukan kejelasan berkenaan masalah ini. Ini upaya mewujudkan independensi dan akuntabilitas peradilan,” kata dia.

Sukma melansir data hasil penelitian Cynthia di beberapa negara bagian, Amerika, pada periode Januari 1990-Desember 2001, sekitar 110 hakim diberhentikan terkait penegakan disiplin hakim (misconduct). Rinciannya, 69 kasus pemberhentian hakim terkait misconduct (pelanggaran perilaku) terkait tugas dan wewenang hakim; 13 kasus terkait berbagai jenis pelanggaran perilaku, seperti tugas yudisial dan di luar tugas; 28 kasus misconduct di luar dinas dan perilaku personal.

“Studi ini merujuk kode etik yang dikembangkan American Bar Association yang kemudian diadopsi KY di masing-masing negara bagian,” paparnya. (Baca juga: Lembaga Eksaminasi, Cara ‘Menghukum’ Hakim Nakal).

Dia mencontohkan dua pasal misconduct terkait tugas yudisial dan tugas hakim yakni “Hakim harus menegakkan dan mendorong independensi, integritas, dan imparsialitas pengadilan, dan harus menghindari perilaku tidak patut dan kesan ketidakpatutan“. “Hakim dalam melaksanakan tugas-tugas di pengadilan haruslah tidak memihak dengan sepenuh kemampuan dan gigih.”

Pelanggaran teknis yudisial (legal error) hanya bisa dijatuhi sanksi apabila tindakan yang mengandung unsur kesalahan berulang-ulang; motif buruk, seperti keberpihakan atas dasar isu SARA; kesalahan fatal seperti melanggar hak-hak fundamental (mendasar) dan kesalahan prosedur (hukum acara) mendasar.

“Misalnya, tidak diberi kesempatan membela diri atau tidak didampingi penasihat hukum, padahal UU mewajibkan,” lanjutnya.

Menurutnya, garis batas legal error dan misconduct berbeda-beda di setiap negara tergantung situasi, nilai-nilai yang dianut masyarakat, dan kesepakatan lembaga pengawas hakim. Selain itu, peran (putusan) pengadilan banding dan kasasi memberi pengaruh dalam mengatasi ketidakjelasan garis batas antara legal error dan misconduct. “Memahami garis batas keduanya banyak perpektif, kita masih pelajari isu ini dari negara lain. Harapannya, ke depan MA dan KY serta pencari keadilan memiliki pemahaman yang sama,” katanya.

Sudah jelas
Di kesempatan yang sama, Syarifuddin menilai sebenarnya perbedaan pelanggaran teknis yudisial dan perilaku hakim sudah jelas apabila mengacu Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009  tentang Mahkamah Agung  juncto Pasal 39 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebut MA pengawas internal terhadap tingkah laku hakim agung dan para hakim. Hal ini juga berlaku bagi KY dimana objek pengawasannya menyangkut perilaku hakim.

“Semua bentuk pengawasan MA dan KY tidak boleh mengurangi kebebasan para hakim dalam mengadili dan memutus perkara,” ujarnya mengingatkan.

Sementara batasan pelanggaran KEPPH ini merujuk SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 tentang KEPPH yang memuat 10 prinsip. Namun, poin 8 berdisiplin tinggi dan poin 10 bersikap professional menyangkut teknis yudisial sepanjang menyangkut rincian perbuatan, dan batang tubuhnya tetap berlaku sesuai putusan MA No. 36/HUM/2011.

Apalagi, Pasal 15 PB Panduan Penegakan KEPPH menyebutkan “Dalam melakukan pengawasan MA dan KY tidak dapat menyatakan benar atau salahnya pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim.” “Tapi, jika hakim diduga melanggar poin ini, pemeriksaan dilakukan oleh MA atau MA bersama KY sesuai Peraturan Bersama (PB) Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH. Bukankah lebih baik diperiksa bersama?" kata dia.

Dia mengakui sudah tiga kali kepemimpinan KY, domain teknis yudisial dan perilaku hakim masih terus menjadi perdebatan. Padahal, persoalan ini sebenarnya sudah selesai sejak terbitnya PB Ketua MA dan KY Tahun 2012. MA juga tidak bisa mengawasi pertimbangan yuridis dan substansi putusan. “Inilah makna keebebasan (indepedensi) hakim. Kalau ternyata pelaksanaan putusan ini mengandung suap atau keberpihakan, ya tentu ini menjadi kewajiban kita bersama untuk membuktikan.”
Tags:

Berita Terkait