Forum Anti Fraud, Wadah Perbankan Bersatu ‘Mengeroyok’ Pembobol Sistem Keuangan
Berita

Forum Anti Fraud, Wadah Perbankan Bersatu ‘Mengeroyok’ Pembobol Sistem Keuangan

OJK telah menyatakan dukungannya dan berharap bank-bank lain ikut bergabung dalam forum ini.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi cyber crime. Foto: kelompokfroud.blogspot.com
Ilustrasi cyber crime. Foto: kelompokfroud.blogspot.com
Kasus fraud di sektor perbankan masih marak terjadi. Dari beberapa kasus yang berhasil diungkap, pembobolan lewat sarana perbankan ini tak hanya merugikan bank semata, melainkan juga para nasabah mesti turut menanggung kerugian. Perbankan tak tinggal diam, begitu pula regulator. Keduanya sama-sama berjuang paling tidak meminimalisir terulangnya fraud.

Semangat itulah yang diusung Forum Anti Fraud dan Investigasi Perbankan, sebuah wadah positif tempat bank-bank menginvestigasi hingga memberantas fraud bersama-sama. Salah satu perwakilan forum, Budi Setio Wibowo mengatakan bahwa setiap kasus yang masuk kategori fraud wajib dilaporkan ke unit fraud investigation pada masing-masing bank terlebih dahulu.

“Fraud tidak bisa ditangani sendiri, karena ini pelaku dari oknum internal dan juga eksternal,” ujarnya dalam acara sosialisasi “Penanganan Dugaan Tindak Pidana Perbankan dan Forum Anti Fraud” yang digelar OJK di gedung Bidakara, Jakarta kemarin (14/11).

Tujuan pelaporan itu sebetulnya lebih pada upaya melakukan investigasi yang terpusat dan terstruktur sesuai dengan ketentuan agar paling tidak menghindari kesalahan penanganan dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Selain itu, pelaporan ke unit khusus penanganan fraud di internal bank masing-masing juga berkaitan erat dengan kepentingan laporan data fraud yang akurat baik dari segi jumlah maupun potensi kerugian.

Dari laporan itu, upaya mencegah fraud di kemudian hari setidaknya bisa lebih diantisipasi. Misalnya dengan melakukan perbaikan pada unit, wilayah, atau cabang bank terkait dengan Standar Operasional (SOP) maupun kebijakan agar pelaku fraud tidak melihat adanya celah untuk mengulangi aksinya kembali. (Baca Juga: Perbankan ‘Digerogoti’ Fraud dari Dalam)

“Pada tahap ini, perlu peningkatan kerjasama dan keselarasan antar unit kerja terkait dalam pencegahan fraud,” ujar Budi yang juga menjabat Kepala Unit Crime & Fraud Investigation Bank Mega.

Sementara itu, Forum Anti Fraud dan Investigasi Perbankan sendiri punya titik tekan lebih kepada bagaimana fraud yang sempat dialami dan terjadi di sebuah bank tidak terulang kembali terhadap bank lainnya. Hal itu sangat mungkin karena kegiatan yang dilakukan dalam forum salah satunya adalah saling tukar menukar informasi antar bank terkait oknum internal dan oknum eksternal dalam rangka upaya pencegahan dini terhadap fraud.

Setelah mengetahui dugaan pelaku fraud, forum selanjutnya bekerjasama dalam melakukan penundaan transaksi untuk sementara waktu dalam rangka penyelamatan aset atau dana bank maupun nasabah. Kemudian, kerjasama dalam penanganan atau investigasi kasus terkait tren dimana pelaku kejahatan bank sering melakukan transaksi lintas bank secara cepat sehingga tanpa kerjasama sulit untuk mengungkap pelaku.

“Selain itu, sharing penanganan kasus fraud dalam proses hukum baik antar bank maupun bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam penuntasan kasus secara efektif dan memberikan efek jera bagi pelaku,” tambahnya.

Di samping itu, forum juga dibentuk dalam rangka membantu regulator baik Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam konteks perumusan kebijakan terutama yang berkaitan dengan pidana. Di sini, masing-masing perwakilan yang ditunjuk bank dapat berkomunikasi secara efektif dan tepat sasaran kepada regulator.

Sejarahnya sendiri, kata Budi, forum ini mulanya digagas oleh delapan bank yakni BNI, Danamon, BII, UIB, Permata Bank, Niaga, ANZ, serta SCB. Pada tahun 2006 itu namanya masih Forum Pencegahan Kejahatan Perbankan (FPKP). Dua tahun berselang, lima bank lain mulai menyatakan bergabung sehingga totalnya menjadi 13 bank. Fase ini, Departemen Investigasi dan Mediasi pada BI sempat melakukan working group yang pertama kalinya.

Working group itu dibentuk untuk meningkatkan kerjasama antar bank dalam menangani fraud sehingga resiko fraud dapat dimitigasi,” kata Budi.

Forum tersebut sempat berubah nama sementara pada tahun 2011 menjadi dari FPKP menjadi Forum Anti Fraud sejalan dengan diterbitkannya SEBI No.13/28/DPNP tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum yang terbit tanggal 9 Desember 2011. Dalam perkembangannya, anggota bank yang awalnya hanya beberapa berkembang menjadi kurang lebih 34 bank.

Empat tahun berturut-turut setelah tahun 2011, puluhan bank bauk bank lokal maupun bank asing rutin menggelar pertemuan rata-rata 2-3 kali pertemuan sejak tahun 2012 sampai 2015. Sejak tahun 2016, seiring beralihnya sebagian kewenangan BI kepada OJK, forum yang kini diikuti oleh 40 bank swasta, BUMN, hingga asing mulai didukung penuh OJK terutama Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan (DKIP) di OJK.

“Dengan dukungan OJK-DKIP dalam memberikan supervisi diharapkan terbangun kerjsama antar anggota PIC Bank khususnya bidang investigasi fraud yang semakin aktif dan bertanggungjawab,” katanya.

Beragam fraud telah ditangani mulai dari yang kecil hingga yang terparah, seperti misalnya card trapping. Modus kejahatan paling yang marak dialami nasabah sejak tahun 2010 hingga saat ini. Mulai dari mengganjal mesin ATM dengan tusuk gigi, lempengan besi tipis, hingga kertas film. Selain mengganjal mesin ATM, modus lainnya yang marak digunakan adalah menukar kartu ATM korban dengan alasan membantu serta memasang stiker call center palsu lalu pelaku meminta pin nasabah dengan bujuk rayu.

Catatan kasus lainnya yang berhasil dipantau forum, seperti kasus yang banyak terjadi di tataran operasional. Modusnya masih serupa, seperti transfer fiktif dengan cara pemalsuan tanda tangan dan pre sign, penggunaan kartu debit hingga pin nasabah. Lalu, pencurian uang di mesin ATM yang melibatkan teller dan satpam. Kemudian, pencurian uang di vault (khasanah) akibat pengendalian internal yang lemah dan rotasi staf yang tidak berjalan.

Temuan lainnya, maraknya kasus kredit, diantaranya rekayasa pemberian kredit bukan kepada pihak yang tepat, rekayasa agunan dengan cara penggelembungan nilai agunan bahkan jaminan tidak sesuai dengan fakta, lalu ada rekayasa dokumen kredit dengan cara pemalsuan identitas serta laporan keuangan, hingga pelanggaran prinsip kehati-hatian yang dengan sengaja menyimpang dari SOP guna kepentingan dan keuntungan pribadi.

“Kasus kredit fiktif adalah salah satu penyumbang kerugian cukup besar pada dunia perbankan dan sebagian besar disebabkan adanya kolaborasi oknum internal dan eksternal,” sebutnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon mengakui bahwa tindakan penyimpangan perbankan masih cukup tinggi. Untuk mengurangi potensi penyimpangan, OJK berharap perbankan dapat menjalankan kegiatan operasional dengan prinsip kehati-hatian. Sehingga kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dana dapat terpelihara.

“Saya apresiasi dengan Forum Anti Fraud,” kata Nelson di tempat yang sama.

Lebih lanjut, kata Nelson, berharap agar bank-bank lainnya yang belum bergabung segera bergabung, terutama Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Menurutnya, fraud di perbankan banyak terjadi di BPR. Jumlahnya cukup fantastis, yakni mencapai 80% penutupan BPR terjadi karena fraud. “Bank tidak hanya terbatas pada 40 bank tersebut, tapi semua bank,” tutup Nelson.

Tags:

Berita Terkait