Pengacara Ungkap 13 Kekeliruan Prosedur Penanganan Perkara Irman Gusman
Berita

Pengacara Ungkap 13 Kekeliruan Prosedur Penanganan Perkara Irman Gusman

Penuntut umum pastikan semua prosedur telah dilaksanakan.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Maqdir Ismail. Foto: Sgp
Maqdir Ismail. Foto: Sgp
Salah seorang pengacara Irman Gusman, Maqdir Ismail, menyebutkan adanya 13 kekeliruan prosedur dalam penanganan perkara Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2014-2019 tersebut. Hal itu diungkapkan Maqdir saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (15/11).

Maqdir mengatakan, surat dakwaan yang dibuat dan dibacakan penuntut umum KPK pada persidangan 8 November 2016 adalah surat dakwaan yang mengandung cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure). "(Sebab surat dakwaan) Dibuat berdasarkan berkas perkara hasil penyidikan yang mengandung kekeliruan beracara yang dibuat penyidik," katanya.

Kekeliruan pertama, terjadi saat pemeriksaan Irman sebagai tersangka di proses penyidikan. Sebagaimana tertuang dalam berkas acara pemeriksaan tersangka tanggal 17 September 2016, Irman tidak didampingi penasihat hukum. Padahal, Pasal 56 ayat (1) KUHAP mewajibkan tersangka didampingi penasihat hukum saat pemeriksaan.

Maqdir berpendapat, apabila ketentuan itu tidak dilaksanakan, berkas perkara hasil penyidikan Irman menjadi cacat hukum. Dan, sudah ada beberapa putusan pengadilan yang membatalkan dakwaan akibat penyidikan yang tidak sah. Sebut saja, putusan hakim Tjokorda Rae Suamba pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 11 Mei 2011. (Baca Juga: Demi Fee, Irman Gusman Disebut Manfaatkan Pengaruhnya Terhadap Dirut Bulog)

Dalam putusan itu, hakim Tjokorda membatalkan dakwaan karena pada saat penyidikan tersangka tidak didampingi penasihat hukum. Kemudian, putusan Mahkamah Agung (MA) No.367 K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998 yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum Kejaksaan Negeri Sengkang tidak dapat diterima.

Ada pula putusan MA No.1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993. Putusan itu berbunyi, "Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak
menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima”.


Maqdir menyatakan, selain pernah diperiksa tanpa penasihat hukum, Irman juga sempat dipaksa untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tanpa surat panggilan yang patut. Peristiwa tersebut terjadi pada 11 Oktober 2016. Ketika itu, Irman dijemput petugas KPK untuk dibawa berobat ke Rumah Sakit (RS) Gatot Subroto.

Sebelum menuju RS, petugas KPK mengajak Irman ke kantor KPK, mengurus syarat-syarat administrasi untuk keperluan berobat di RS. "Namun, sesampainya di kantor KPK, terdakwa dipaksa untuk diperiksa sebagai tersangka. Setelah terjadi pertengkaran kecil, akhirnya dibuatkan Berita Acara Penolakan pemeriksaan tersangka oleh penyidik HN Christian, sehingga pemeriksaan tidak jadi dilakukan," ujar Maqdir. (Baca Juga: “Tamu” Irman Gusman Ternyata Berstatus Tahanan Kota)

Menurutnya, jika penyidik hendak melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik seharusnya memenuhi ketentuan yuridia dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Dimana, penyidik harus memanggil tersangka dengan tenggang waktu yang wajar guna tersangka mempersiapkan diri untuk pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud Pasal 51 huruf a dan b KUHAP.

Kekeliruan kedua, sambung Maqdir, terjadi karena penyidik mengabaikan kewajibannya untuk memberitahukan kepada Irman mengenai hak tersangka sebagaimana tertuang dalam Pasal 114 KUHAP, yaitu memberitahukan bahwa Irman berhak mendapatkan bantuan hukum atau bila dalam perkaranya wajib didampingi penasihat hukum.

Kekeliruan ketiga, penyidik telah mengabaikan prosedur tentang hak Irman selaku tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP, yang intinya memberikan hak bagi tersangka untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Akibat pemeriksaan yang dilakukan secara tidak sah, maka terjadi kekeliruan beracara, sehingga berkas perkara menjadi cacat hukum.

Kekeliruan keempat adalah pengabaian prosedur untuk mempersiapkaan pembelaan sebagaimana Pasal 51 huruf a dan b KUHAP. Maqdir mengungkapkan, Irman tidak pernah diberitahukan apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai. Padahal, penyidik wajib memberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tersangka.

Kekeliruan kelima, pengabaian prosedur tentang hak Irman selaku tersangka untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik sebagaimana Pasal 52 KUHAP. Hal ini terjadi karena tidak pernah ada pemanggilan secara sah kepada Irman untuk perkaranya sesuai ketentuan Pasal 112 ayat (1) KUHAP. (Baca Juga: Kronologi Penangkapan Irman Gusman di Kediaman)

Kekeliruan keenam dan ketujuh, lanjut Maqdir, berkaitan dengan hak Irman sebagai tersangka untuk menghadirkan saksi atau ahli meringankan pada tahap penyidikan sebagaimana Pasal 65 KUHAP. Penyidik dianggap telah menghilangkan hak Irman karena mengabaikan prosedur dengan tidak menjalankan kewajibannya memberitahukan hak tersebut kepada Irman.

Kekeliruan kedelapan terjadi karena tindakan penyidik KPK, HN Christian yang memaksa Irman untuk diperiksa pada 11 Oktober 2016. Maqdir menilai, tindakan Christian bertentangan dengan Pasal 117 ayat (1) KUHAP. Terlebih lagi, sesuai Pasal 112 ayat (1) dan (2) KUHAP, harus disebutkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggat waktu yang wajar.

Kekeliruan kesembilan masih berkaitan dengan tenggat waktu pemanggilan yang wajar. Maqdir berpendapat, walau Irman berada dalam tahanan, penyidik tetap wajib mengirimkan panggilan sesuai tenggat waktu yang wajar, yaitu tiga hari jika merujuk Pasal 146 ayat (1) KUHAP. Mengingat Irman berada dalam tahanan, surat seharusnya disampaikan melalui pejabat rumah tahanan.

Kekeliruan kesepuluh, yaitu mengenai berkas perkara hasil penyidikan yang tidak memenuhi syarat-syarat yuridis sebagaimana ketentuan KUHAP. Hal ini akibat tidak adanya Berita Acara Pemeriksaan tersangka berisikan jawaban-jawaban tersangka yang diberikan secara bebas dan didampingi penasihat hukum, sehingga membuat hasil penyidikan perkara Irman menjadi tidak sah.

Kekeliruan kesebelas, menurut Maqdir, adalah penyidik dengan sengaja menghilangkan hak tersangka untuk mempersiapkan pembelaan yang dijamin Pasal 51 huruf a KUHAP. Kemudian, kekeliruan kedua belas adalah penyidik tidak memberikan hak tersangka untuk menyampaikan keterangan secara bebas. Sebab, tersangka tiba-tiba diperiksa saat menuju RS Gatot Subroto, sehingga tidak diberikan kesempatan untuk mempersiapkan diri guna diperiksa penyidik dengan didampingi penasihat hukum.

Terakhir, kekeliruan ketiga belas terletak pada tahap penuntutan. Dimana, terjadi pengabaian hak terdakwa untuk mendapatkan Surat Pelimpahan Perkara. "Yang juga memuat Surat Dakwaan yang seharusnya diterima tersangka tanggal 28 Oktober 2016, bersamaan dengan pelimpahan perkara ke Pengadilan, yaitu tanggal 28 Oktober 2016, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (4) KUHAP," terang Maqdir. (Baca Juga: Pengacara Irman Gusman: Kasus Ini Lucu)

Dengan adanya error in procedure, serta beberapa materi keberatan lainnya, tim penasihat hukum menganggap surat dakwaan penuntut umum cacat hukum. Salah seorang penasihah hukum Irman, Yusril Ihza Mahendra meminta majelis hakim yang diketuai Nawawi Pomolango untuk menerima seluruh eksepsi Irman.

Yusril juga meminta majelis untuk menyatakan surat dakwaan Irman tidak memenuhi syarat formal dan materil, dengan memutuskan bahwa surat dakwaan tidak dapat diterima karena berkas perkara yang error in procedure dan surat dakwaan batal karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

Selain itu, Yusril meminta majelis membebaskan Irman dari tahanan, menyatakan sidang tidak dilanjutkan, serta memulihkan nama baik, harkat, dan martabat Irman. Atas eksepsi tersebut, penuntut umum Ahmad Burhanudin meminta waktu satu minggu untuk menyiapkan tanggapan.

Usai sidang, Ahmad yang dimintai tanggapan mengenai error in procedur, menyatakan tidak ada kekeliruan dalam proses penyidikan maupun penuntutan. Ia memastikan semua prosedur sudah dilaksanakan. Adapun saat pemeriksaan pertama, memang Irman tidak didampingi penasihat hukum.

"Dia tidak mau. Ada didampingi, ada. Pertama kan tidak, tapi didampingi penasihat hukum. Dia tidak mau diperiksa karena mau praperadilan. Jadi, silakan Pak Irman menggunakan haknya untuk praperadilan dan tidak mau diperiksa. Kami pun sama. Hukum kan punya hak juga, hak untuk segera disidangkan perkaranya dia itu," tuturnya.

Ahmad menambahkan, selain hak-hak tersangka yang disebut penasihat hukum dalam eksepsinya, ada hak tersangka lain yang diatur dalam KUHAP. "Dia hanya bicara hak-haknya dia, tapi ada hak dia yang harus kita laksanakan, untuk segera diadili di persidangan. Pasal 50 (KUHAP) kalau tidak salah itu. Kenapa tidak dibahas itu," tandasnya.

Tags:

Berita Terkait