7 Isu Perlindungan Konsumen Ini akan Diatur dalam POJK Fintech
Berita

7 Isu Perlindungan Konsumen Ini akan Diatur dalam POJK Fintech

OJK menekankan pentingya pelaku usaha jasa keuangan (fintech) menerapkan budaya perlindungan konsumen.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Kusumaningtuti S Setiono (kelima dari kanan). Foto: NNP
Kusumaningtuti S Setiono (kelima dari kanan). Foto: NNP
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menyusun pedoman aturan main bagi pelaku usaha jasa keuangan berbasis online (Financial Technology/Fintech). Berbagai substansi masih terus dikaji agar ketika waktunya terbit nanti, aturan ini bisa diimplementasikan dengan baik (well-impelementated).

Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Kusumaningtuti S Soetiono meyakini bahwa teknologi informasi menjadi salah satu penggerak berkembangnya industri keuangan. Pesatnya teknologi informasi memberikan berbagai kemudahan buat konsumen untuk bertransaksi sehingga dapat mendorong inklusi keuangan baik yang melibatkan lembaga jasa keuangan maupun tawaran yang memanfaatkan fintech.

“Sebagai regulator, kita harus tetap memperhatikan perlindungan konsumen yang beragam. Kita sedang menyiapkan peraturan, jadi sangat hati-hati,” kata Tituk –sapaan akrab Kusumaningtuti- di sela-sela Seminar internasional “Fast Innovation and Development of Fintech: Strikinga Balance between Financial Inclusion and Consumer Protection” di Jakarta, Kamis (17/11).

Menurutnya, upaya meningkatkan inklusi keuangan mesti diimbangi dengan regulasi dan peningkatan literasi keuangan. Di mana, antara inklusi keuangan, regulasi, serta literasi keuangan merupakan bagian penting dari perlindungan konsumen. Tujuannya satu, yakni dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi semua pihak. (Baca Juga: 3 Persoalan Hukum Penghambat Industri Financial Technology)

Namun, perkembangan fintech tidak terlepas dari berbagai tantangan maupun risiko yang dihadapi oleh pihak yang terlibat, baik dari konsumen maupun pelaku fintech. Di Indonesia sendiri, tantangan besar yang mesti dihadapi adalah soal beragamnya tingkat pendidikan yang dimiliki konsumen serta tingkat literasi keuangan yang masih cukup rendah. (Baca Juga: 5 Masukan Aturan Financial Technology untuk OJK)

“Kita ingin antusiasme-nya (fintech) ini tetap berjalan supaya bisa menjawab akses keuangan di daerah terpencil yg unbank dan unbank-able itu bisa terjawab dengan teknologi. Tapi di luar pihak, aspek-aspek perlindungan konsumen itu ingin kita masukan dalam peraturan yang mengikat sehingga mereka (fintech) tetap bisa memperhatikan hak dan kewajiban pengguna,” jelasnya.

Dalam draf rancangan POJK Fintech sementara, setidaknya ada tujuh poin penting mengenai isu perlindungan terhadap konsumen akan diatur mengenai prinsip-prinsip dasar perlindungan konsumen dari penggunaan fintech, antara lain transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta penyelesaian sengketa pengguna fintech secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. (Baca Juga: 6 Poin yang Akan Diatur dalam Peraturan OJK Tentang Fintech)

Salah satu yang juga jadi pokok pengaturan adalah aspek terkait syarat dan ketentuan produk sebelum pengguna fintech menyetujui transaksi atau perjanjian. Pemahaman terhadap syarat dan ketentuan produk dimaksudkan agar konsumen memahami manfaat dan risiko serta mengetahui rincian biaya dan bagaimana cara bertransaksi yang aman, misalnya dengan cara menjaga dan meng-update password maupun keamanan jaringan internet ataupun WiFi.

“Kita tidak ingin membuat regulasi yang kompleks yang justru menghambat,” tegas Tituk.

Selain itu, penyelenggara fintech juga diharapkan memiliki mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi para penggunanya. Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo mendorong agar penyelenggara fintech mempersiapkan sarana penyelesaian sengketa secara internal (Internal Dispute Resolution) sebagai antisipasi terhadap kemungkinan sengketa yang timbul di kemudian hari.

Dijelaskan Anto, wadah penyelesaian sengketa luar pengadilan di sektor jasa keuangan diharapkan dapat menggunakan skema yang telah diatur dalam Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) OJK. Begitu juga dengan penyelenggara fintech. Kata Anto, LAPS OJK diharapkan juga menjadi pilihan (choice of forum) dalam sengketa yang berkaitan dengan fintech sepanjang penyelenggara fintech masuk kategori lembaga (pelaku usaha) jasa keuangan.

“Fintech itu ada 2 (jenis), ada lembaga jasa keuangan yangg menggunakan fintech sebagai produk dan ada yang di luar lembaga jasa keuangan, (namun) berusaha di bidang fintech,” kata Anto.

Perkembangan pembahasan rancangan POJK Fintech sendiri, sementara ini baru sebatas mengatur teknis penyelesaian sengketa terkait penyelenggara fintech yang masuk kategori lembaga jasa keuangan yang mendapat izin dari OJK. Sedangkan, untuk penyelenggara fintech yang tidak mendapat izin OJK alias bukan sebagai lembaga jasa keuangan, norma aturannya masih terus dikaji mana cara penyelesaian sengketa yang terbaik. “Berkembang terus, nanti berubah lagi,” sebutnya. 

Potensi lain yang coba dipetakan oleh OJK adalah persoalan risiko lain terkait transaksi fintech, diantaranya persoalan kerahasiaan data, cyber risk, hingga tandatangan digital. Untuk memitigasi risiko pemanfaatan fintech, sangat penting dengan meningkatkan keamanan atas teknologi yang digunakan yang juga secara berkesinambungan mengutamakan transparansi dan meningkatkan literasi keuangan. (Baca Juga: Antisipasi Tantangan, OJK: Indonesia Perlu Regulasi Bisnis Financial Technology)

Di tempat yang sama, Chair International Financial Consumer Protection Organization (FinCoNet), Lucy Tedesco mengatakan, pengawasan pembayaran digital merupakan salah satu fokus pengawasan market conduct. Mekanisme pengawasan saat ini sudah selayaknya dikaji kembali karena inovasi dan pembayaran digital harus diimbangi dengan mitigasi risiko untuk memastikan bahwa kepentingan konsumen terlindungi.

“Saya adalah regulator, saya sangat suka regulasi. Tapi jangan terlalu banyak aturan itu, makanya butuh keseimbangan antara regulasi,” singkatnya.

Sebelumnya, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan non Bank (IKNB) OJK, Dumoly F Pardede mengatakan, setidaknya ada enam poin yang coba diatur nantinya dalam POJK tentang Fintech. Keenam poin itu, antara lain mengenai kelembagaan, kepengurusan, cakupan usaha, pembinaan dan pengawasan, kewajiban pelaporan, serta permodalan.

Ambil contoh misalnya mengenai permodalan, rapat internal IKNB OJK akhinya menetapkan bahwa  nominal maksimum permodalan untuk pelaku Fintech start-up antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar. Dikatakan Dumoly, pada prinsipnya OJK ingin menyederhanakan permodalan kepada semua pelaku Fintech.

Namun, sulit apabila pelonggaran modal itu dilakukan kepada start-up asuransi. Menurutnya, jasa asuransi mesti tetap mengaju pada batas minimum modal Rp100 miliar. Sebab, dikhawatirkan hal itu berdampak pada gagal bayar klaim pemegang polis oleh pihak asuransi.

Sementara itu, mengenai kewajiban pelaporan, nantinya setiap pelaku Fintech yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan wajib mendaftar kepada OJK. Khusus pelaku Fintech yang aktivitasnya sebagai penyedia jasa keuangan seperti payment gateway, selain harus mendaftar ke OJK juga mesti mendapat izin dari pihak Bank Indonesia (BI). Selain wajib mendaftar kepada OJK, pelaku Fintech yang bersinggungan dengan perdagangan atau UMKM, juga mesti melapor kepada kementerian terkait seperti Kementerian Perdagangan atau Kementerian Koperasi dan UKM.
Tags:

Berita Terkait