Revisi PP Penyelenggaraan Telekomunikasi Tak Perlu Buru-Buru
Berita

Revisi PP Penyelenggaraan Telekomunikasi Tak Perlu Buru-Buru

Berapa lama pun jangka waktu uji publik tetap sah.

Oleh:
MR25
Bacaan 2 Menit
Margarito Kamis (paling kanan) dalam diskusi kelompok terfokus revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000. Foto: ZAIM
Margarito Kamis (paling kanan) dalam diskusi kelompok terfokus revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000. Foto: ZAIM
Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit tak perlu dilakukan terburu-buru. Jika uji publiknya tak maksimal, dikhawatirkan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Demikian intisari diskusi kelompok terfokus yang berlangsung di Jakarta, Kamis (17/11). Asisten Deputi Koordinator Informasi dan Telematika Menko Polhukam, Prakoso, mengatakan revisi kedua PP perlu mempertimbangkan hal-hal strategis yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Jika UU Telekomunikasi sudah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebaiknya revisi PP menunggu perubahan UU Telekomunikasi selesai. Prakoso meminta agar para penyusun revisi kedua benar-benar memerhatikan pasal-pasal yang berpotensi abuse of power.

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga menaruh perhatian pada masalah ini. Komisioner ORI, A. Alamsyah Saragih, meminta materi revisi PP yang tak sesuai Undang-Undang ditunda lebih dahulu, atau ditarik. Jika memang aka nada perubahan besar-besaran, sebaiknya RPP menunggu perubahan UU Telekomunikasi. “Kami minta agar Kominfo mencabut RPP No. 52 dan 53 karena bertentangan dengan UU di atasnya. Lebih baik mengubah atau merevisi UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,” ungkapnya.

Pemerintah memang melakukan uji publik atas revisi itu. Uji publik berlangsung hingga 20 November kemarin. Mengenai batas waktu uji publik ini, pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan tak ada pembatasan waktu uji publik suatu rancangan PP dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jadi, berapapun hari yang ditetapkan untuk uji publik suatu rancangan peraturan tetap sah.

Ini adalah salah satu ‘bolong’ dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang bisa dimanfaatkan untuk membatasi waktu uji publik. Margarito khawatir pembatasan itu dilakukan agar semakin sedikit masyarakat yang bisa memberikan masukan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan berpotensi hanya menguntungkan satu pihak. “Saya sangat mengkhawatirkan apabila nanti cara berpikir Pemerintah seperti itu,” ungkapnya di depan peserta diskusi kelompok terfokus.
Tags:

Berita Terkait