Penodaan Agama atau Hate Speech? Ini Kata 4 Orang Aktivis
Berita

Penodaan Agama atau Hate Speech? Ini Kata 4 Orang Aktivis

Pasal penodaan agama dinilai tidak memberi kepastian hukum

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hate speech. Ilustrator: BAS
Ilustrasi hate speech. Ilustrator: BAS
Empat orang aktivis yang selama ini sering menyuarakan isu hak asasi manusia menganggap Pasal 156a KUHP (dikenal sebagai pasal penodaan agama) tidak memberikan kepastian hukum, dan sudah tak sesuai dengan perkembangan hukum dan HAM internasional. (Baca: Mereka Mengkhawatirkan Arah Penegakan HAM).

Penasihat Senior (Senior Adviser) HRWG, Choirul Anam, mengatakan ada perbedaan pandangan di lapangan mengenai pasal penodaan agama dalam KUHP dihubungkan dengan Penetapan Presiden (PNPS) No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Anam sendiri berpandangan PNPS No. 1 Tahun 1965 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan HAM. Menurut dia, rezim HAM lebih mengenal konsep ujaran kebencian (hate speech), yang salah satu tujuannya melindungi kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama. (Baca juga: Akademisi dan Aktivis Adu Argumen Soal SE Hate Speech).

Choirul juga menilai pasal penodaan agama tidak memberi kepastian hukum karena ukuran yang digunakan adalah perasaan. “Penodaan agama itu lebih menekankan pada perasaan orang bukan sikap (tindakan nyata). Ini tidak memberi kepastian hukum,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (15/11) lalu.

Choirul ia adalah bagian dari masyarakat sipil yang mempersoalkan PNPS tersebut ke Mahkamah Konstitusi pada 2009 silam. Dalam pertimbangannya, Mahkamah meminta agar Pemerintah melakukan perubahan terhadap PNPS (putusan MK No. 140/PUU-VII/2009).

Direktur Setara Institute, Ismail Hasani, berpendapat konsep penodaan agama ditujukan untuk melindungi hal yang abstrak. Menurut dia, berbeda dengan penodaan agama, konsep hate speech dikenal dalam HAM. Konsep itu ditujukan untuk melindungi hak individu yang sifatnya nyata. Dalam HAM, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan itu fundamental. Misalnya, kasus Lia Eden, walau sudah dijebloskan ke penjara berulang kali dengan tudingan penodaan agama, keyakinan Lia Eden tidak berubah.

Hate speechtujuannya melindungi identitas individu atas dasar agama, suku, ras dan lainnya. Menurut Ismail konsep itu lebih terukur ketimbang penodaan agama. “PNPS No. 1 Tahun 1965 perlu segera direvisi agar sesuai zaman, perkembangan hukum dan HAM saat ini,” ujarnya. (Baca juga: Revisi UU Terorisme Menyasar Hate Speech).

Ismail mencatat pasal penodaan agama sering digunakan setelah tahun 1998, sampai sekarang ada lebih dari 50 kasus. Ironisnya, penegakan pasal itu selalu dipengaruhi oleh desakan publik. Itu menyebabkan polisi tidak independen dalam melaksanakan tugasnya. Itulah sebabnya penegakan hukum pasal penodaan agama lebih berat pada aspek politik ketimbang hukum.

Ketua Lakpesdam PBNU, Rumadi Ahmad, menyebut aturan hukum yang mengatur tentang penodaan agama bukan hanya ada di Indonesia tapi juga banyak negara lain seperti Inggris. Namun, kecenderungan di banyak negara, penerapan pasal penodaan agama semakin dipersempit dan diperketat. Pasal penodaan agama yang ada di berbagai negara rata-rata jenisnya sama, ada pasal karet, sehingga ketentuan itu bisa menyasar siapa saja. “Pasal 156a PNPS No. 1 Tahun 1965 itu penerapannya lebih cenderung karena adanya desakan massa,” paparnya.

Rumadi menilai ukuran yang digunakan dalam pasal penodaan agama yaitu rasa. Menurutnya itu yang terjadi di banyak kasus penodaan agama yang pernah ada di Indonesia. “Aparat penegak hukum selalu menuruti selera massa. Kasus penodaan agama sifatnya sangat subyektif,” tukasnya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan negara harus menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama sebagaimana amanat kovenan sipol. Persoalan agama terkait dengan pandangan individu yang tidak bisa diatur dalam sistem hukum. Jika itu diatur maka perkara penodaan agama akan selalu memunculkan kontroversi.

Al berpandangan sistem hukum mestinya tidak mengatur perihal penodaan agama. Kalaupun ada persoalan, tidak melulu harus diselesaikan lewat mekanisme hukum pidana. Daripada menjerat dengan mudah orang atas tuduhan penodaan agama, Al mengusulkan agar pemerintah mengatur ketentuan tentang hate speech.

Secara hukum segala perbuatan dan tindakan yang mengarah pada ujaran kebencian harus dilarang. “Pemerintah perlu lebih kuat mengatur soal hate speech. Faktanya hate speech berkontribusi besar mengancam dan menyerang kebebasan berkeyakinan dan beragama,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait