Awas! Ini Jerat Hukum Bagi Pembuat dan Penyebar Isu “Hoax” Rush Money
Berita

Awas! Ini Jerat Hukum Bagi Pembuat dan Penyebar Isu “Hoax” Rush Money

Bisa Dijerat Pasal Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infornasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Oleh:
NNP/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi cyber crime. Foto: kelompokfroud.blogspot.com
Ilustrasi cyber crime. Foto: kelompokfroud.blogspot.com
Belakangan ini ramai beredar ajakan untuk melakukan penarikan uang secara besar-besaran (Rush Money) melalui media sosial. Gerakan tersebut muncul berkaitan dengan rencana aksi lanjutan pada 25 November 2016 mendatang di tengah situasi perkara dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

Belum jelas dari mana asal-muasal seruan itu, namun yang pasti di berbagai media sosial tanda tagar #RushMoney2511 telah menjadi viral. Antar pengguna media sosial dengan pengguna media sosial lain pun saling meneruskan informasi yang belakangan telah dikonfirmasi sejumlah pimpinan institusi terkait adalah tidak benar. (Baca Juga: Presiden Jokowi Sedih Lihat Kehidupan Medsos di Indonesia)

Lantas, adakah ada dampak hukum bagi pembuat maupun penyebar isu hoax itu?

Ketua Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Josua Sitompul dalam rubrik klinik hukum menyebutkan, bahwa ketentuan dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infornasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dipakai menjadi instrumen hukum buat pelaku pembuat serta penyebar informasi yang tidak benar dalam media sosial. Pasal 28 ayat (2) UU ITE bisa menjadi dasar buat aparat penegak hukum menindak pelaku. (Baca Juga: Pikir Ulang Bila Mau Sebarkan Berita Bohong, Ini Peringatan dari Polisi)

Menurut Josua, perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 28 ayat (2) UU ITE
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Sebenarnya, lanjut Josua, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil. (Baca Juga: Gadgetmu, Harimaumu! Tetap Eksis di Media Sosial Tanpa Takut Dipidana)

Contoh penerapannya, lanjut Josua, adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku atau agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.

Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). (Baca Juga: Polri Ingatkan Masyarakat Tidak Salah Gunakan Medsos)

Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya. (Baca Juga: Potensi Ujaran Kebencian Pilkada DKI Jakarta, Polisi Diminta Awasi Medsos)

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta aparat penegak hukum segera menindak pelaku yang menyebarkan pesan hasutan untuk melakukan penarikan uang secara massal dari bank. Dia menegaskan, uang masyarakat yang disimpan di bank dijamin keamanannya sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

"Saya berharap mereka yang melakukan penghasutan seperti itu ditindak secara tegas karena melakukan suatu ancaman terhadap kepentingan masyarakat bersama," ujarnya di Jakarta, Senin (21/11).

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo meminta masyarakat tidak terpengaruh oleh isu penarikan uang secara massal. Menurutnya, penarikan massal (rush) itu tidak berdasar apapun dalam sistem keuangan dan perbankan Indonesia saat ini. sebaliknya, kata Agus, keadaan sistem keuangan di Indonesia saat ini tengah dalam kondisi baik.

“Sistem keuangan, sistem perbankan sehat, jadi tidak ada dasar untuk ada kegiatan yagn disebut rush,” kata Agus, Jumat (18/11) pekan lalu.

Agus mengimbau masyarakat dan media massa tidak terpengaruh isu rush karena keadaan ekonomi Indonesia dalam keadaan baik dan stabil. Dia menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di atas 5 persen ketika negara lain di bawah itu, sedangkan inflasi pada kisaran 3 persen, transaksi berjalan dan neraca pembayaran juga berjalan baik.

"Mohon jangan memberitakan yang membikin masyarakat menjadi tidak tenang. Kami ingin menyampaikan bahwa dengan otoritas yang lain, kita confirm (pastikan) kondisi stabilitas ekonomi Indonesia terjaga baik," tegas Agus.

Imbauan serupa juga dikatakan oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution. Ia meminta masyarakat tidak termakan isu rush karena kondisi perekonomian Indonesia dalam keadaan baik. Dia mengatakan pemerintah beserta otoritas lainnya tengah menjaga ekonomi dari berbagai faktor dan meminta masyarakat menjaga situasi agar kondusif.

"Jangan terlalu sensitif terhadap isu macam-macam. Enggak ada alasan untuk terjadi rush. Kalau ada yang hembuskan itu dalam situasi seperti ini normal saja," kata Darmin.

Sementara itu, Direktur Keuangan PT Bank BRI Persero Tbk, Haru Koesmahargyo menegaskan bahwa kondisi industri perbankan saat ini cukup baik di mana pada BRI sendiri kondisi likuiditas atau dana tersedia pun terjaga. Ia juga memastikan sekalipun penarikan dana tunai secara masif itu terjadi, BRI telah memiliki kecukupan cadangan likuiditas sehingga dampak dari aksi itu tidak akan menganggu BRI.

"Sebagai bank, kita sudah memiliki sistem, jika sewaktu-waktu ada penarikan dana tunai yang besar. Ada cadangan likuiditas baik di bank, uang tunai, maupun cadangan di Bank Indonesia," kata dia.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid berharap isu penarikan uang secara massal (rush money) yang belakangan beredar di masyarakat tak menghadirkan konflik atau bahkan ketegangan. "Saya berharap bahwa ini bukan masalah yang kemudian ditunggangi untuk kemudian menghadirkan konflik, ketegangan, kondisi yang semakin tidak kondusif untuk menyelesaikan masalah di negara kita," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait